Friday, October 20, 2017



terbit di Koran Madura, edisi 24 April 2015

Pulang



            Lagu yang kauputar dari HP-mu seakan menjadi satu-satunya hal yang kau pedulikan. Itu mengiringi perjalananmu dengan tujuan buta. Terasa dirimu adalah orang asing yang tak mengenal tempat tinggal baru, sekalipun pada tempat lama yang begitu familiar dahulu.
            Ketika di terminal Semarang, perut bus yang kita tumpangi begitu cepat dijejali penumpang juga penjual asongan. “Aqua... Aqua...,” “lumpia... lumpia...,” “kacang... kacang...,” dan kita hanya geleng-geleng kepala di hadapan mereka. Dari belakang terdengar sebuah percakapan:
            “Berapa harganya?” tanya seorang lelaki empatpuluhan yang kaulihat waktu itu.
            “Dua ribu, Pak. Mau berapa bungkus?” jawab si penjual, gadis usia belasan.
            “Bukan itu, tapi bungkusan yang itu lho,” ia menunjuk dada gadis itu dan membuat lungset mukanya, tapi tetap berusaha menjaga sikap.
            “Jadi beli tidak, Pak?” Lelaki itu terbahak-bahak diikuti kawan-kawannya. Suaranya membuatmu menoleh kebelakang. Rahangmu menegang.
            “Eh, mau kemana, Dik? Sini lho, aku mau beli kok!”
            “Beli berapa bungkus?”
            “Kalau dua tidak boleh, satu saja bagaimana?” tawa mereka membuncah. Dan wajahmu lebih geram.
             Roda bus mulai berputar. Jarum arloji berputar. Mungkin isi kepalamu pun demikian.
            “Mau pergi ke mana, Mbak?” tanyaku. Kau menoleh, menatapku, lalu berpaling dan bisu. Aku menarik ranselku dan mengeluarkan sebuah buku, sebuah reaksi untuk mengurangi rasa malu atas sikap abaimu padaku.
Seorang wanita muda hamil sedang melewati kita. Ia membawa dua keranjang penuh isi, entah apa, sesuatu yang mungkin membuat bulir-bulir keringat tumbuh subur di keningnya. Semua bangku penuh, dan ia seakan hendak mengeluh. Di kursi-kursi, para penumpang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sebuah tempat yang membudayakan hidup saling mengasingkan diri maupun orang lain.
            “Duduk di sini saja, Mbak,” katamu, segera bangkit dari kursi dan mengambil alih tempat wanita itu.
            Mbak tidak keberatan?” tanyanya. Kau menggeleng. Ia berterimakasih.
            Sepanjang jalan kota menyambut dengan cahaya lampu-lampu yang muram. Seperti ada sesuatu yang menggelisakan hendak muncul di ujung jalan. Kubaca itu dari wajahmu. Entah ada apa denganmu.
            Bus tiba di terminal Tuban, orang-orang keluar-masuk silih berganti. Wanita hamil tadi pamit kepadamu dan turun. Di luar suaminya telah datang menyambut. Kini kau duduk di sampingku. Seorang lelaki berkacamata hitam berhasil memasuki pintu bus dengan bantuan tongkatnya. Kantong plastik bekas bungkusan kacang bermerek disodorkan ke para penumpang. Ia mengiba-iba, namun tak banyak orang-orang yang mempedulikan nasibnya. Kurogoh sakuku dan memasukkan beberapa koin koin ke dalam kantong plastiknya.  Beberapa menit kemudian bus kembali berjalan. Matamu memandang keluar jendela. Mungkin pikiranmu sedang berada jauh di luar sana. Tanpa sengaja mataku ikut mengejar jejak pandanganmu, namun ternyata orang lain yang menarik perhatianku. Kudapati pengemis buta tadi tengah berlari mengejar mobil pick-up tumpangan. Orang-orang di belakangku menggerutu.
            “Bajingan!”
            “Penipu!”
            “Sialan, ternyata orang tadi tidak buta.”
            Hatiku tergelitik, bukankah tadi mereka pura-pura tak melihat kantong plastik yang disodorkan pengemis itu ke hadapannya? Lalu siapa yang buta? Di sampingku, kau mulai menaruh perhatian pada kontak HP-mu. Sebuah nomor kautekan. Namun segera kaubatalkan panggilan.
            Kuputar lagu di MP3 dan mulai menghibur diri. Sebuah simponi mengaliri jalinan sarafku lewat lubang headset. Malam perlahan meninggi, suasana bus mulai sunyi. Samar-samar kudengar nada sendu di sekitarku. Itu suaramu. Kau menangis.
            Aku pura-pura tidur, tapi telingaku semakin jelas menangkap isakmu. Akhirnya kutawarkan saputangan untukmu.
            “Terimakasih,” kau mengambilnya tanpa berani menatapku.
            Malam semakin meninggi. Udara menjadi pasi.
            “Aku mau pulang.” Setengah berbisik kauucapkan kalimat itu.
            Aku terhenyak.
            “Di mana Mbak tinggal?”
            Kau nampak kebingungan, dan menangis lagi sejurus kemudian. Aku tak mengerti.
            “Aku tak bisa...”
            “Kenapa?”
            Isakmu semakin menjadi.
            “Maafkan aku.” Dan kubiarkan kau menuntaskan tangismu. Percakapan kita selesai begitu saja. kau mengakhirinya dengan tanda tanya. Tapi tiba-tiba saja aku merasa jadi lebih dekat denganmu. Entahlah.
            Apakah tangis perempuan selalu membuat hati lelaki luluh?
“Maaf, tidak seharusnya aku kelihatan seperti ini.” Kau buru-buru merapikan wajahmu. Kini kau mulai berani menatapku. Sedikit. Di antara pendar-pendar cahaya lampu jalanan yang menerobos masuk kaca memperlihatkan wajahmu yang sebenarnya nampak ayu. “Kalau boleh tahu, kemanakah tujuanmu?”
“Aku ingin pulang. Rumahku di Lamongan.”
“Oh...” kau berhenti sejenak, lalu... “Apa rumahmu menyenangkan?”
“Mmmp,” aku berhenti sesaat, “ya, kadang. Kadang bisa juga sebaliknya. Tapi apapun suasananya, rumah itu akan selalu menjadi tempat kepulanganku.”
“Jadi begitu,” kau kembali melempar pandang ke luar kaca jendela. “Seandainya aku berada di sekitar sini, bolehkah aku mampir ke rumahmu?”
            Aku tersenyum. “Ya, silakan.”
            “Mas...”
            “Ya?”
            “Namaku ....” kau menyebutkan nama. “Siapa namamu?”[]
           
#Warkop Merpati, Cepokorejo_Tuban, 14 Juli 2014
7:29 AM   Posted by Unknown in with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search