Friday, October 20, 2017


Terbit di jogjareiew.net 22 Juni 2014

Pohon yang Tumbuh di Kepalaku



Pagi itu, rumahku benar-benar gempar. Keponakanku yang baru berusia satu setengah tahun menjerit histeris sewaktu melihatku. Aku kira cuma mimpi, tapi kepalaku benar-benar benjol sewaktu Mama memukulku dengan batang sapu.
“Pergilah kau, Setan!” pekiknya.
Wah, kacau! Seumur hidup, baru sekali ini aku dipanggil Setan. Gila!
“Ini aku, Ma!” kataku.
“Agung? Apa yang terjadi pada dirimu?”
Yang terjadi padaku? Entahlah, aku bingung. Sejak bangun tidur tiba-tiba saja sudah tumbuh daun di kepalaku. Tak ada rambut. Semuanya daun.
“Itu pasti hasil eksperimen gilamu lagi ya, Om?” kata keponakanku yang satunya. “Aku bisa maklum kalau Om habis depresi karena putus cinta, tapi ya jangan mengubah diri sendiri sebagai kelinci percobaan, dong! Itu melawan kodrat Tuhan namanya.”
Keponakanku itu ... ingin sekali kucekik dia. Meskipun aku sempat pusing tujuh keliling karena hasil Botanical Experiment-ku untuk tugas akhir kuliah belum di-goal-kan dosen, aku masih belum cukup sinting untuk mengubah diriku sendiri menjadi spesies aneh di muka bumi.
Gara-gara peristiwa naas yang menimpaku itu, selama dua minggu aku mengurung diri di rumah. Tidak kuliah dan mogok kerja. Tak dapat kutanggung beban mental nanti bila ketemu dengan orang-orang di jalan. Terakhir kali aku keluar rumah, bisik-bisik tetangga sudah tidak sedap di telinga.
“Pasti dia kebanyakan berbuat maksiat sehingga kena adzab,” kata ibu-ibu tetangga dekat rumah.
Aku mengelus dada, meskipun aku jarang pergi ke masjid, tapi salat lima waktu tak pernah absen di rumah. Aku juga bukan anak yang durhaka pada orang tua. Maksiat? Maksiat apa? Seenak perutnya saja mereka menyebarkan fitnah. Jika kebanyakan dosa, itu seharusnya para suami mereka, semua pohon-pohon di hutan habis dibabat mereka. Pohon yang dibiarkan tetap hidup hanyalah pohon randu di batas desa, itu pun karena mereka takut berurusan dengan jin penunggunya.
“Atau jangan-jangan dia kena kutukan jin penunggu pohon randu itu?” timpal salah satu ibu-ibu yang lain. “Kata suamiku, si Agung pernah kencing di pohon keramat itu.”
“Bisa juga itu ...,” yang lain menanggapi.
Hadew, entah jin penunggu atau setan alas macam apalah, jika masalahku bermuncul dari situ aku tidak bisa percaya. Apa-apa harus bisa dijelaskan dengan sains agar bisa diterima logika. Ngawur sekali ucapan mereka! Lama-lama bisa terkena darah tinggi aku karena ucapan ibu-ibu itu. Aku jadi sebal keluar rumah, tapi karena kebutuhan yang mulai menuntut, sekaligus dosen yang mengancam tidak akan sudih mengizinkanku ikut ujian perbaikan nilai, aku terpaksa menampakkan diri kembali, sekaligus melatih kesabaran untuk menerima kenyataan.
Kesabaranku ternyata harus di mulai sejak membuka pintu rumah. Waktu itu kulihat Papa sedang mengecat rumah. Aku kaget. Pemandangan rumahku kacau sekali. Anak-anak nakal para tetangga rupanya mencoret-coreti rumahku dengan tulisan tak sopan, seperti: “Agung makhluk jadi-jadian”, “Agung titisan jin pohon randu” dan ada yang lebih kurang ajar lagi yang tentu saja tidak akan kukatakan padamu. Dan kau tahu? Setelah bertekad untuk belajar bersabar, hari pertama itu aku sudah menjawab ujian kesabaran itu dengan misuh-misuh tak keruan. Menyebalkan!
Di kampus, semua mata tertuju padaku. Aku jadi buah bibir yang sampai dower dibicarakan. Dosen pembimbing ekperimenku malah tertarik padaku. Beliau ingin menjadikanku boneka analisanya. Awalnya sih aku ogah, tapi karena dapat gratisan uang semester sebagai imbalannya, aku bersedia. Toh, ada untungnya juga buatku untuk mengetahui gejala fenomena apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku.
Hampir satu bulan berlalu, dan dosenku yang sudah menyandang rentetan titel itu ilmu dan pengetahuannya tak kunjung bisa memecahkan masalah yang ada pada diriku.
“Mungkin kamu perlu menemui orang pintar, Bro,” kata Norky, sahabatku.
“Maksudmu aku harus mendatangi dukun? No way, Man! Itu tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat agama. Demi Allah, dunia-akhirat, aku tidak akan minta tolong ke dukun!” sahutku, mantap!
Tapi, waktu memang kadang dapat membolak-balikkan perkataan. Tiga hari setelah sumpahku terlontar, daun-daun di kepalaku tumbuh semakin lebat. Bahkan muncul ranting dan dahan. Ini bukan sembarang daun-daun lagi namanya, tapi pohon. Kadang-kadang serangga hinggap untuk makan atau menjadikannya habitat. Sungguh benar-benar menggangu. Rasanya gatal dan risih sekali. Aku jengkel. Kutarik keras-keras pohon di kepalaku itu, tapi—aduh! sakitnya ... masya Allah, luar biasa! Sepertinya ada akar-akar kecil dari pohon di kepalaku yang menancap sampai ke dalam otak, dan bagian daun yang terputus itu meninggalkan nyeri yang membuatku menjerit-jerit. Ini benar-benar siksaan bagiku. Aku tak tahan. Maka, apa boleh dibuat, aku pergi ke dukun.
Sepanjang perjalanan menuju rumah terkutuk itu, yakni kediaman sang dukun, aku mengucapkan istighfar berkali-kali, takut kalau-kalau laknat Allah disambarkan dari langit untuk menimpa orang munafik sepertiku yang telah melanggar sumpah. Norky, kawan baik hati yang mengantarkanku itu, selama perjalanan terkikik-kikik menahan tawa. Sungguh kurang ajar betul!

***

            Dukun itu membaca mantra seperti orang gagu sakit ayan. Tangannya menari-nari di atas asap kemenyan, mulutnya komat-kamit tak keruan. Secawan air diteguk dan, bruussh...! air kumurnya itu disemburkan di atas kepalaku. Sialan betul metode penyembuhan orang sakti itu. Dalam hati aku mengutuk agar mulut dukun itu bengkak. Ia terkekeh-kekeh dengan lagak menyebalkan.
 “Tenang anak muda, besok pohon di kepalamu itu akan gugur dan tumbuh lagi rambutmu,” katanya.
“Kenapa kepalaku bisa tumbuh pohon, Mbah?”
“Mungkin karena kamu pernah berbuat sembrono pada suatu tempat yang mengakibatkan penunggunya mengutukmu, anak muda.”
Ia mulai menjelaskan banyak hal-hal gaib yang berhubungan denganku, tapi aku tidak terlalu peduli dan mengingatnya. Aku berharap dukun itu benar, agar dosa yang kulakukan dengan berdatang padanya tidak menjadi sia-sia, meskipun jawabannya nonsense bagiku.

***

            Keesokan harinya, pagi-pagi aku malah tambah gusar. Benar-benar kampret si dukun itu! Air jampi-jampinya bukannya melenyapkan pohon di kepalaku tapi justru membuatnya tumbuh subur. Daun-daun pohon sialan itu tambah lebat, malahan  tumbuh sulur-sulur yang menjuntai sampai ke pantat. Mungkin Tuhan telah murka sehingga membuatku nampak sebegini rupa. Aku menyesal sekaligus hilang akal. Aku keluar rumah dan berjalan gontai menuju ke puncak bukit, tempat sepi yang biasanya membuatku merasa tenang. Sepanjang jalan diriku diikuti sorakan anak-anak kecil, gunjingan, serta kambing-kambing penduduk yang bernafsu dengan rambut hijauku. Rasanya aku menjadi seperti orang yang tak bernyawa.
            Sampai di bukit, dari kejauhan kulihat desaku dengan rumah-rumah yang nampak seperti miniatur. Dulu rumah-rumah itu dikelilingi pepohonan hijau. Sekarang yang berwarna hijau hanya pohon randu raksasa di batas desa saja. Kuperhatikan sekumpulan orang mengerumuninya. Benar-benar desa yang lugu, pasti orang-orang itu kembali melanggengkan kebudayaan ritual nenek moyang, yakni melakukan sesembahan pada pohon yang dianggap keramat. Di desa ini kepercayaan terhadap sesuatu yang belum jelas atau mitos begitu sering dipraktekkan ke masyarakat. Misalnya, seorang anak sedang memasukkan kereweng1 dalam sakunya, ketika kutanya, ia menjawab bahwa hal itu dilakukan agar dia tidak kebelet berak. Atau seorang ibu hamil yang enggan makan cumi, katanya ia takut kalau nanti bayinya lahir akan berkulit hitam. Aku ingin tertawa mendengarnya, tapi hatiku ngilu rasanya. Bagaimana jika kebudayaan seperti ini tetap dilanggengkan oleh anak-anak desa generasi ke depan? Kebodohan akan tetap lestari. Maka, semenjak aku menetap di desa ini, impian yang kupunya adalah mengajar. Suatu cara memerangi kebodohan.
            Singkat cerita, tak ada sekolah yang menerimaku menjadi guru. Tapi, kabar baiknya, aku dapat mengumpulkan anak-anak dan mendidik mereka secara non-formal. Pengetahuan umum, keterampilan, budidaya ikan, sampai sastra dan filsafat. Semua itu kuberikan sesuai tingkatan usia, minat, dan daya tangkap mereka. Ibarat pohon, aku senang bisa memberikan buah buat orang lain. Dan aku bersyukur, jika melihat semangat dan antusias mereka sekarang, aku bisa sedikit membaca harapan di desa ini.

***

Gempar. Lagi-lagi gempar. Aku heran dengan desa ini. Kenapa selalu ada hal yang menggemparkan tiap harinya. Pagi-pagi seusai membuka pintu rumah, sekumpulan penduduk mengepung beranda rumah dan langsung bersila sewaktu aku berdiri di hadapan mereka.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Pohon randu keramat kami telah tumbang, tersambar geledek semalam,” kata ketua perkumpulan mereka.
“Lalu apa kaitannya denganku?”
Belum sempat terjawab, salah satu orang sudah membakar kemenyan dan sebagian yang lain membawa sesajen makanan. []

#Rumah – Lamongan, 2 April 2014 
Catatan:
1.   1.   pecahan genting
8:29 AM   Posted by Unknown in , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search