Tuesday, December 8, 2015




 dapat kiriman email tanggal 4 desember 2015 dari redaktur Koran Madura, katanya beliau, cerpen ini diterbitkan di sana pada tanggal tersebut. well, selamat membaca


Siapakah Pahlawan itu Sebenarnya?

Kota Gotham bergejolak akibat ulah Batman. Euforia kabar yang kami dengar, dia telah mencuri celana dalam Superman. Akibatnya, ketika ada panggilan SOS datang dari seorang warga yang sedang dalam bahaya, Superman jadi kelabakan hingga terpaksa menyambar celana dalam Tarzan—yang kebetulan sedang menumpang jemur di halaman belakang rumahnya—untuk dipakai beraksi. Dan hasilnya, aksi heroik sang pahlawan menyelamatkan warga dari ancaman penjahat, justru membuat para saksi mata hampir mati tertawa. Maka, peristiwa bersejarah tersebut membuat the Human of Steel1 itu ingin melumat-lumat Manusia Kelelawar kebanggaan Gotham.
Entah apa motif jahil Batman. Entah bagaimana pula Superman bisa mengetahui bahwa Batmanlah pelakunya. Aku belum tahu gosipnya, yang jelas—selanjutnya dari kabar yang kudengar—Superman melayang di atas gedung pencakar langit di Gotham, lalu dengan bantuan megaphone, dia mengumumkan pernyataan yang ditujukan pada sang Kelelawar. Dan—seperti naluri kejantanan lelaki pada umumnya—Superman memilih pengakhiran masalah dengan cara yang paling singkat: Perang.
Warga kota yang semuanya menjadi tahu tindakan kriminal Batman, tidak langsung kecewa akan sikap ngawur yang dilakukan oleh seorang pahlawan. Meskipun demikian, mereka juga tidak gregetan dengan sikap Superman yang menolak menggunakan cara diplomatik--cara yang selalu berhasil seperti yang selalu dilakukan oleh para pejabat—untuk  menyelesaikan konflik. Yang jelas, hal itu membuat seluruh warga berbondong-bondong mengelilingi menara jam Gotham—tempat di mana perjanjian duel mereka akan tercatat sejarah—untuk menyaksikan secara langsung tanpa sensor pertarungan maut antara dua jagoan.
Barangkali karena sudah wajib hukumnya bagi pahlawan untuk pantang mundur, atau mungkin karena demi menjaga image-nya, Batman pun menerima tantangan Superman, meskipun dia tidak mempunyai kekuatan super seperti calon lawannya. Terbukti dia berani menyorotkan sinyal kelelawar ke langit. Namun dengan kekayaan dan kejeniusannya, Batman datang dengan perlengkapan Bat Robo yang mejadi armour2 sekaligus senjata penghancurnya. Selanjutnya, peristiwa maha dahsyat itu pun berlangsung—disiarkan secara live dari seluruh stasiun TV lokal dan tersebar ke seluruh dunia lewat yuotube—dengan hasil yang sangat menyedihkan: kota Gotham berubah jadi reruntuhan.
Entah Mereka pahlawan sejati atau tidak, bagiku itu tidak terlalu penting, namun ketika bersama Jared Leto, hal yang remeh-temeh pun bisa diubah mengesankan dengan mulutnya.
“Kaulihat, kawan, Gotham telah dihuni oleh para orang berpenyakit otaknya!” kata Jared, setelah menunjukkan streaming video pertarungan Batman VS Superman itu.
“Mengapa demikian?” tanyaku.
“Yang benar saja, mereka mengidolakan Batman dan Superman yang keduanya bahkan amoral sebab memakai pakaian ketat serta celana dalam di luar celana panjang.” Dia tertawa cekikikan, “Aku tak sanggup membayangkan, bagaimana rasanya anuku jika mengenakan kostum seperti itu.”
“Tapi pahlawan tetap saja pahlawan bukan? Jasa-jasanya yang membuat gelar itu selalu tersemat pada mereka.”
Well, meskipun sang pahlawan akhirnya membuat kota jadi kiamat dengan celana dalamnya? Jika memang demikian, berarti semua pejabat negara yang korup pun tetap harus dihormati sebagai pahlawan, sebab telah mengabdi pada negara.”
Aku tak bisa mendebatnya, tepatnya malas. Dan Jared melanjutkan dalilnya:
“Di Indonesia beberapa bulan lalu, seorang nenek miskin yang mengambil kayu dari tanah milik orang kaya saja dipenjara, bukan? Padahal nilai kayu yang dicuri tersebut—bagi si pemilik tanah— sama dengan kita membeli permen. Itu memang karena melanggar hukum. Tak peduli si nenek itu miskin, tak bisa cari makan, dan kayu yang dicurinya adalah penyelamat jiwanya. Tapi namanya orang salah ya salah. Harus dihukum. Soal berperasaan atau tidak, itu tugas humanisme agar menyelamatkan nenek tersebut, bukan hukum. Jika hukum selalu memihak uang, itu perkara uangnya. Bukan soal hukum lagi. Maka, seharusnya Superman dan Batman harus dipenjara pula sebagai tanggungjawab atas kehancuran yang diperbuatnya. Jangan karena jasa-jasa maka tindakannya dilumrahkan begitu saja. Rakyat macam apa Gotham itu?!”
“Ya, ya ... terserah kau saja,” komentarku.
What? Bagaimana bisa seorang penulis bisa apatis seperti dirimu? Entah kau ingin menulis topik ini atau tidak, tetapi apa kau tidak membayangkan seandainya profesimu menertawakan dirimu sendiri? Ini memang bukan urusanmu, kawan, tetapi sudah seharusnya seorang penulis menajamkan intuisinya agar selalu peka pada persoalan hidup ...”
Aku menghembuskan napas yang terasa berat oleh kata-kata Jared. Dan tiba-tiba saja kawanku seperti Jean Marais3 yang memberikan wejangan pada Minke4—yang tak lain penulis seperti aku. “Seorang terpelajar sudah harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” begitu wejangan Marais yang selanjutnya dipegang teguh oleh Minke untuk selalu menciptakan keadilan lewat tulisannya. Keadilan melawan Belanda pada masa penjajahan. Bisa dikatakan, Minke adalah sosok lain Superman, yang bisa menjadi pahlawan tanpa harus memiliki otot kawat tulang baja.
Hanya saja—jika kupikir—antara aku dan Minke, kami mengalami kenyataan sosial yang tak jauh berbeda. Dulu, Indonesia sedang dijajah Belanda, sedangkan sekarang setelah merdeka, banyak “Belanda-belanda” dari belahan lain bermunculan, bahkan lebih sakti sebab mereka melakukan penjajahan tanpa menggunakan senjata. Yang lebih menyedihkan lagi, pribumi kami sekarang giat mendidik diri mereka bermental “Belanda”, sebagiannya lagi menjadi pribumi sejati namun tak mengenal bangsanya sendiri—sehingga tak pernah sadar sekarang mereka sedang dijajah.
Kuaduk-aduk gelas minumanku dan membiarkan pikiranku ikut berputar ke dalamnya.
Kulirik Jared, tangannya sibuk dengan pena dan secarik kertas. Beberapa menit kemudian ia memberikan isi kertasnya itu padaku:
We are the kings and quens of the promise. We were the victims of ourselves. Maybe the children of a lesser God, between heaven and hell.... 5
“Apa ini? Lirik lagu?” tanyaku.
“Ya. Bersama 30 Second to Mars6, kami akan menggemakan kritik sosial itu ke penjuru dunia lewat sebuah lagu. Itu karena kami adalah musisi. Namun sebagai bagian dari manusia, kami menyuarakan kemanusian lewat musik.”
 Ucapannya itu seakan ditusukkan padaku, dengan maksud bahwa aku adalah penulis melempem yang tak peka terhadap lingkungannya dan tidak dapat memberikan perubahan berarti terhadap pembaca. Sedangkan Jared beserta grup bandnya telah melakukan hal itu.
“Kau bicara seakan pahlawan saja,” gumamku.
“Apa?”
“Ah, tidak,” jawabku, lalu dengan mengalihkan pembicaraan, kulanjutkan, “menurutmu seperti apa kedamaian itu?”
“Ada banyak versi, kawan. Setiap orang pasti punya jawaban yang berbeda. Yang jelas itu tidak dapat terpisah dari kekacauan atau ketakseimbangan.”
“Sama,” sahutku, “pahlawan pun tidak akan ada jika tidak ada kejahatan, bukan? Sebab dunia dipenuhi kontradiksi.”
“Bukan dunia, kawan. Tapi kehidupannya.” Ia meneguk minuman, lalu melanjutkan, “Sebenarnya kita hidup untuk menghilangkan kontradiksi, menurutku.  Dengan menekan keluar sekuat mungkin segala sisi buruk kehidupan. Karena manusia selalu mengutamakan nilai humanisme. Bahkan semua Tuhan dari berbagai agama pun menjunjung nilai kemanusiaan. Maka, tidak pantas untuk hidup rasanya jika kita tidak dapat menjadi pahlawan bagi sesama manusia.”
“Namun faktanya banyak orang hidup tetapi tidak memiliki sisi kemanusiaan. Bahkan banyak yang membunuh atau memperjual-belikan sisi kemanusiaannya sendiri, bukan?”
Well, kurasa mereka hidup untuk dunianya sendiri. Bukan untuk berbagi dunia bersama.” Dia tersenyum. “Kita patut kasihan terhadap mereka, sebab dunia yang sebenarnya tak pernah menerima mereka.”
Kami mulai diam. Suasana cafe pun ikut-ikutan diam dan malam sudah beranjak tua. Aku dan Jared harus segera berpisah. Besoknya Jared akan pulang ke Amerika. Di depan pintu cafe kami berjabat tangan.
“Ini bukan perpisahan,” katanya. “Aku akan kembali menemuimu untuk membaca buku solomu.”
Aku tersenyum, “Tentu. Datanglah bersama 30 Second to Mars untuk memeriahkan launching bukuku kelak.” Dia menepuk bahuku. “Oh, ya, seperti apakah orang yang pantas disebut pahlawan—menurutmu?” tanyaku.
“Kita semua adalah pahlawan, Gung. Kita bisa memulainya dari diri sendiri, setelah itu dunia akan membutuhkan kehebatan kita. Penjahat adalah seseorang yang tak dapat melihat kepahlawanan dalam cermin dirinya sendiri.”
Kami tersenyum, lalu berpaling dan berjalan ke arah kami masing-masing. Lampu-lampu jalanan membuat hidup bayanganku. Di tengah jalan aku berpaling dan berteriak:
“Hey, Jared!” dia menoleh. “Buatkan aku kostum yang lebih keren dan beradab dari Superman dan Batman jika kau datang nanti. Aku tidak mau jika nanti orang-orang menertawakan kepahlawananku kelak.”  
Dia tertawa, berbalik dan melambaikan tangan padaku, seraya menjaga langkah kakinya.
# Tuban, 27 Maret 2015
 ~ Lamongan, 4 April 2015
Catatan:
____________________
1.      Julukan Superman
2.      Baju pelindung besi
3.      Salah satu tokoh dalam tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
4.      Tokoh utama dalam tetralogi Buru.
5.      Lirik lagu 30 Second to Mars berjudul “Kings and Quens”.
6.      Grup band Rock asal Amerika yang beranggotakan Jared Leto, Shanon Leto, dan Tomo Milicevic.
4:16 AM   Posted by Unknown in with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search