Sunday, June 28, 2015



hai, hai ... berjumpa lagi di kelas menulis bersama saya, saudaranya Brad Pitt. Kali ini segmen teori menulis cerpen adalah tentang latar cerita atau setting. selamat belajar


“Lukisan latar itu harus natural, jangan dipaksakan.”
#Edi Akhiles, penulis dan pendiri #KampusFiksi



Pelataran cerita atau setting dapat Anda terangkan sendiri dengan sebebas-bebasnya. Suatu latar yang absurd yang digunakan lewat aliran surealisme pun sah-sah saja digunakan. Begitu pula latar imajiner seperti dalam dongeng-dongeng fantasi, tidak masalah, asalkan tetap alami dan logis.
Film layar lebar berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” pernah dikritik pedas dalam majalah Surah edisi ketiga tahun pertama oleh seorang penulis, salah satunya sebab menyangkut cacatnya setting. Di film yang bersetting zaman penjajahan dulu itu menampakkan produk snack dari garuda food—yang tentu saja produksinya belum ada pada zaman itu—demi kepentingan komersial. Di situlah terdapat ketidaklogisan setting. Ketidaklogisan ini disebut juga dengan istilah anakronisme.
Bedanya, anakronisme sah digunakan dalam fiksi asalkan dengan syarat itu merupakan bagian penting pada cerita. Sebagai contoh dari hal ini adalah serial animasi “Inuyasha”. Dalam serial itu terdapat ketidak-logisan waktu, yakni tokoh Kagome dari masa depan masuk dalam dunia feudal zaman dahulu. Ketidak-logisan ini tidak termasuk cacat, justru menjadi bagian pembangun pada cerita itu sendiri.
Setting mencakup tiga hal: tempat, waktu, dan keadaan sosial.
Menurut saya, setting yang baik adalah setting yang berperan dalam tiga hal, yakni: untuk melukiskan potret kehidupan, menghidupkan suasana, dan memberikan informasi terkait suatu tempat yang digunakan.

Setting Sebagai Potret Kehidupan Sosial
Setting yang baik adalah pelukisan latar yang berjalan secara beriringan antara tempat dan waktu. Maksud saya, latar tersebut tidak hanya memiliki detail fisik tempat saja, namun sekaligus menampakkan kehidupan sosial masyarakatnya. Tetralogy Buruh karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu contohnya. Novel tersebut bersetting pada zaman kolonial Belanda, yang tidak hanya bertumpuh pada lukisan tempat-tempat di Indonesia waktu dulu, melainkan melukiskan pula sosiohistoris pribumi serta fakta sejarah yang berkaitan dengan pemerintahan Belanda. Y.B. Mangunwijaya pun tidak kalah hebat dalam melukiskan potret sosial suatu lingkungan, sebagai contoh, silakan Anda simak kutipan novel berikut ini:

             Aku keluar rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali manggis dengan air seperti jenang soklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang yang sekotor itu ironis sekali diberi nama kali Bening. Di negeri ini, air yang begitu kotor penuh berak dan basil itu toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal seperti itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma apa bening dan kotor itu harus kita ukur?masih ada juga yang mencuci beras di selokan itu. Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun, membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa bola merka itu dicelup di dalam air; sambil omong-omong denga rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus halus. Yang putih dan halus rupa-rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor dan busuk. Apa artinya mandi bagi mereka? sering kadang keluar juga sepasang susu besar yang sama coklatnya dan diseka seolah mau melototnya. Bersih sudah. Sering tanpa sabun. Bangsa begini mau merdeka. Bah!
(“Burung-burung Manyar”, Y.B. Mangunwijaya)   

Pada contoh di atas jelas sekali setting tersebut dimanfaatkan penulis untuk menunjukkan sosio-cultural suatu masyarakat yang sering terjadi saat itu di tempat tersebut.
Memang relatif susah jika membuat setting seperti di atas, penulis harus mengenal baik lingkungan yang dipilihnya sebagai setting, sebab ini menunjukkan potret sosial kehidupan masyarakatnya pula. Penulis harus mendapatkan data-data secara akurat, bahkan mungkin sebuah riset perlu dilakukan untuk mendapatkan suatu informasi. Namun hasilnya hebat.

Setting Sebagai Penghidup Suasana
Keberhasilan lain penulis dalam menciptakan setting adalah sebab tempat atau waktu yang dilukiskan dapat menghidupkan imaji suasana, bukan hanya visual saja. Misalnya:

Jadi begitulah, Eriza, sebagaimana sering kau dengar dari mulut orang-orang, ketika bulan perlahan-lahan terbenam gumpalan awan hitam dan langit menjadi gulita, angin pun seketika mengendap, senyap merayap, dan nun entah dari arah mana, gema suara burung hantu yang sendu bagai menidurkan rerumputan dan perdu, sementara sisa cahaya purnama yang melekat di dedaunan perlahan sesap terhisap gelap. Lalu sunyi menambah resah ke hamparan sawah, dan suara-suara serangga berhenti seketika. Sampai kemudian tak ada lagi angin berdesir, dan segala suara diam tersihir bayangan pohon-pohon perlahan raib. Lesap. Malam menjelma kuburan tua yang menganga.
(“Kupu-kupu Kuning Kemilau”, Agus Noor)

Pada kutipan cerpen di atas, penulis mampu menghidupkan suasana sunyi yang mencekam dengan memanfaatkan waktu kejadian, yakni ketika bulan perlahan-lahan terbenam, suasana tempat tersebut mendadak mengalami perubahan pada tempat-tempat di sekitarnya hingga menjadi sunyi dan mencekam.

Setting Sebagai Penyampaian Informasi
                Setting di sini hanya berfungsi untuk menyuguhkan informasi kepada pembaca tentang suatu tempat beserta sesuatu yang berkaitan dengannya. Informasi yang disampaikan memiliki tujuan untuk membuat latar cerita seolah menjadi nyata dan alami. Sebagai contoh, mari kita simak paragraf di bawah ini:

Cafe des Amateurs tak ubahnya seperti kubangan kakus di salah satu bagian rue Mouffetard, yakni jalan pasar yang sempit dan sesak yang mengarah ke Place Contrescarpe. Di jalan itu ada sejumlah rumah apartemen kuno, yakni bangunan bertingkat dengan tangga samping dari semen yang di bangun miring seperti sepatu sehingga penghuninya tidak terpeleset. Kakus-kakus jongkok dari rumah-rumah apartemen itu dikuras pada malam hari dengan cara memompakannya ke tangki sebuah kereta besar yang diseret kuda. Jika musim panas, saat semua jendela rumah dibuka, orang bisa mendengar jelas suara pompa penguras kakus itu. Baunya, sungguh, sangat kuat menusuk hidung. Sementara itu, tangki-tangki yang berisi kotoran manusia itu dicat warna coklat dan safron. Saat sedang bekerja di rue Cardinal Lemoine, tangki-tangki silinder di atas kereta yang ditarik kuda ini tampak seperti lukisan braque.
(“A Moveable Feast”, Ernest Hemingway)

                Untuk menyuguhkan informasi pada setting cerita, Anda harus mendapatkan data-data yang berhubungan dengan tempat tersebut terlebih dulu. Browsing di internet adalah cara praktis dan murah untuk dilakukan.
                Jadi demikianlah, sebuah latar memang seolah terasa sepeleh, sebab yang paling penting adalah isi cerita. Namun jika diperhitungkan seperti apa yang saya sampaikan di atas, pelataran tersebut dapat memberikan daya tarik pada cerita yang akan Anda tulis. []
1:43 AM   Posted by Unknown in , , with 3 comments

3 comments:

  1. Sangat bermafaat. Terima kasih...

    ReplyDelete
  2. ulasan yang mengalir, mudah dipahami dan tentu menambah pengetahuan bagi saya yang sedang belajar menulis. terima kasih

    ReplyDelete
  3. terima kasih atas apresiasinya, mbak nurul dan mbak siwi... :-)

    ReplyDelete

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search