Sunday, June 28, 2015

ini dia cerpen beraliran ekspresionisme pertama saya, hasil uji coba yang menyenangkan. hasilnya, selain surealisme dan impresionisme, aliran ini pun masuk kategori dalam aliran menulis yang saya sukai. well, selamat membaca.



Rembulan Merah


“Aku ingin menikah denganmu,” ujar seorang lelaki, malam itu.  
Mendadak kafe terbuka yang mereka tempati menjadi taman bunga dan perempuan itu menari di sana, dihujani guguran kelopak bunga. Tak bisa ia tahan keluarnya rona merah di pipi, sekaligus titik air mata. Maka ia berdiri dari tempat duduknya dan memunggungi lekaki itu, berusaha menyembunyikan perasaan yang tak karuan dalam hatinya.
“Kau begitu cepat menyatakannya,” kata perempuan itu, setelah mendapatkan kembali kontrol dirinya. “Apa yang membuatmu yakin melakukannya?”
Lelaki di hadapannya diam sejenak, melempar pandang, lalu menjawab, “Aku memang ingin melakukannya denganmu.”
Musik jazz terdengar merdu dan suasana kafe begitu tenang malam itu. Adalah hal yang sangat romantis bagi seorang perempuan mendengar tawaran menikah dengan lelaki yang telah memikat hatinya.
Di atas meja, di antara gelas minuman mereka, tangan perempuan itu sedikit dijulurkan ke depan, berharap agar lelaki itu segera menyentuhnya. Namun, tangannya bagaikan sesosok makhluk yang kesepian—tak ada perhatian sedikit pun dari tangan lain dari seberang meja. Ia menatap wajah lelaki itu sedang memandang ke suatu tempat, sangat jauh tampaknya, entah di mana. Mendadak perempuan itu menjadi sedih, mengapa yang dilihat lelaki itu bukan wajahnya yang kini berada dekat dengannya. Dengan suatu cara absurd, ia mengerti, bahwa ada wajah perempuan lain di tempat yang jauh itu. Suatu cara yang ia sebut “naluri”.
Akhirnya tangan yang kesepian itu menarik gelas minuman sebagai tindakan pelarian. Perempuan itu menenggak minuman dengan kesal, di samping berusaha mencairkan tenggorokannya yang beku akibat suasana dingin muncul begitu saja tanpa diharapkan. Lalu ia bicara:
“Kau sudah kenal siapa aku, bukan?”
Kedua alis lelaki itu menjadi bergelombang ketika pertanyaan tersebut terlontar. Secara tak diinginkan, ia menjadi agak gugup dan bingung karena harus menemukan jawaban yang tepat dalam waktu yang cepat.
“Aku menyukai kepopuleran,” sergah perempuan itu, menghentikan kalimat si lelaki di pangkal lehernya sebelum berhasil menjadi suara.
“Lalu siapa dirimu?” sergahnya yang berikutnya, menikam tepat ke jantung lelaki itu.
Tak perlu bingung lagi mencari sebuah jawabanan. Tak perlu pula untuk dijawab. Sudah jelas siapa dirinya: Hanya pekerja biasa di perusahaan ayah si perempuan. Ingin sekali rasanya ia menggebrak meja dan menyiramkan minuman ke muka perempuan itu. Tapi ia sadar bahwa perbuatannya sendirilah yang telah mempermalukan dirinya.
Ah, bagaimana mungkin seorang lelaki bisa menjelma makhluk yang paling tolol sedunia? Meniduri anak bosnya adalah tindakan terbodoh yang pernah ia lakukan seumur hidup. Tetapi mempertanggungjawabkannya merupakan hal yang luar biasa lagi bodohnya. Ia tertawa kecut dalam hati dan memutuskan untuk tidak berkata apa-apa lagi kepada perempuan itu, sambil berusaha membujuk dirinya sendiri untuk menerima kenyataan bahwa sekarang ia menjadi pecundang yang sangat menggelikan.
“Aku mengerti. Maafkan aku,” ujar lelaki itu, lalu bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan kafe tersebut.
Bayangan bulan jatuh di atas permukaan anggur dalam gelas. Warna emasnya seperti cincin yang melingkari warna merah. Secuil wajah perempuan itu tercermin di sana. Ia mendesah. Bagaimana dirinya bisa mengucapkan hal yang paling tidak diinginkan? Betul-betul gila, batinnya. Ingatannya masih begitu hangat pada setiap intonasi bunyi yang keluar dari mulut lelaki ketika melamarnya. Menikah, oh, sungguh benar-benar hal yang sangat membahagiakan, meskipun hanya untuk didengar.
Ia teringat kembali pada kejadian beberapa malam lalu dengan lelaki tersebut. Kekecewaannya masih tersisa akibat tindakan yang tidak hormat dilakukan pada dirinya. Meskipun itu adalah kekhilafan dan dilakukan oleh seseorang yang dicintainya. Tapi terlalu munafik baginya apabila menolak perlakuan itu, hingga akhirnya ia memberikan seluruh tubuhnya untuk dinikmati.
“Pelayan, tolong berikan aku anggur lagi.”
Ia menuangkan anggur itu ke dalam gelas dan menghabiskannya dalam sekali tegukan. Lalu  memandang sendu garis horison antara laut dan langit. Tak akan ada penyesalan, tak akan pernah—gumamnya dalam hati. Namun tetap saja ia menangis,  sepanjang malam.[]

# Rumah_Lamongan, 25 Juli 2013

Sumber: Tabloid Ruang Rekontruksi, edisi Februari 2013 
gambar: google

1:20 AM   Posted by Unknown in , , , , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search