Sunday, March 1, 2015

alhamdulillah, mulai 1 maret blog ini tercipta, salam kenal semuanya, senang sekali ada yang membaca tulisan saya, semoga dengan ini kita bisa saling bersilaturrahmi. Dan tepat di tanggal ini, ada cerpen saya yang termuat di Metro Riau yang mana selanjutnya saya post di blog ini sabagai tulisan yang pertama. selamat membaca.



Produk Cinta yang Terakhir



“Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” sambut si pelayan toko. Masih terlalu pagi waktu itu, toko tersebut baru saja buka pintu. Aku satu-satunya pembeli yang datang. Dia itu menyuguhkan hangat mentari lewat senyumnya.
“Saya ingin memesan cinta, yang paling manis,” kataku. Dan wajah gadis yang bermentari tadi, seketika itu di selimuti mendung karena permintaanku, dia melirik seseorang  lelaki yang berdiri di sudut ruangan, mungkin itu bosnya, dan dia menatapku. Mata kami beradu. Pandangannya menyelami seluruh diriku. Lalu ia mengangguk pada rekannya tadi, membuat bibir gadis pelayan itu tertarik melengkung. Aku rasa  itu senyum yang dipaksakan, tapi tetap hangat.
“Akan segera kami siapkan, mohon tunggu sebentar.”
Lelaki di sudut ruangan itu segera memberi isyarat pada semua rekannya, lalu mereka  memasuki ruangan khusus. Pintunya segera ditutup. Tergantung papan tulisan di pintunya, “Kecuali karyawan dilarang masuk”.
Saat itu, di luar toko yang menjual cinta tersebut diselimuti bunyi riuh dari sekumpulan orang-orang di tengah kota. Suasana pagi yang benar-benar rusak. Perbedaan selera kriteria calon pemimpin negara membuat kota ini menjadi ribut sekali. Aku bertanya-tanya, seperti apakah wujud keharmonisan dalam negeriku setelah ini?
“Seperti apa seharusnya cinta itu harus diberikan?” tanya Ibu kemarin terngiang di kepalaku.
Aku belum memiliki jawaban yang tepat. Mungkin karena aku punya banyak dosa.
Beberapa jam aku duduk di toko itu. Pesananku belum juga jadi. Kakiku mulai gugup. Aku harus segera menemui seorang gadis setelah ini, membawa cinta yang paling manis sebagai hadiah untuk melamarnya, sebelum dia meninggalkan Indonesia. Kurai remot, menyalakan TV. Berita-berita pertikaian, perbedaan dan pengkhianatan beruntut disiarkan. Mengapa semua tempat sering terdengar kabar demikian? Hanya di toko ini sajalah seakan-akan tempat yang tenang. Dan aku sendiri heran, mengapa satu-satunya toko yang menjual cinta ini berada di tempat yang sepi, bukan di jantung kota?
Beberapa menit kemudian, pelayan tadi menghampiriku dengan tertatih-tatih. Seragamnya yang semula berwarna merah muda, kini berubah menjadi merah tua. Darah membuatnya basah.
“Ini pesanan Anda, Tuan.” Ia menyerahkan cinta dalam bingkisan kotak yang menarik padaku, lalu tubuhnya segera roboh di lantai. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya dan berteriak minta tolong. Namun tak ada seorang pun yang datang. Di mana orang-orang tadi?
“Apa yang terjadi padamu?”
“Itu produk cinta kami yang terakhir, Tuan. Kami membuatnya dengan nyawa kami. Dan itu asli. Bukan imitasi. Karena kami tulus.” Ia tersenyum lemas. “Semoga Anda bahagia menikmatinya.”
Belum sempat kubayar cinta itu, tapi mereka semua telah mati. Entah berapa harganya. Pastinya itu bukanlah harga yang murah.

***

Begitulah awal kisah dari sejarah yang akan kusampaikan ini. Keluar dari toko itu, aku membawa kotak bingkisan berisi cinta tersebut melewati pinggiran jalan. Papan-papan iklan memapang wajah-wajah orang yang menawarkan kejujuran, kemakmuran, kesehatan, pendidikan, keadilan dan juga hal yang terdengar mustahil sekalipun. Apakah semua itu akan benar-benar dijual? Terbersit pikiran di benakku, entah dari mana mereka bisa memproduksi semua itu. Kadang memang terasa gila, semua hal dapat diperjual-belikan untuk memenuhi kebutuhan. Dan kebutuhan seseorang itu aneh-aneh. Manusia pun akhirnya bisa jadi makhluk aneh. Kehidupan menjadi tak tenang, selalu ramai seperti pasar.
Apakah kehidupan itu adalah sebuah perdagangan? Sebab tak ada yang gratis di dunia ini.
Dari belakangku terdengar suara yang parau. “Anak muda, tunggu!” Seorang kakek-kakek tergopoh-gopoh mengejarku. Napasnya seperti orang sekarat. “Tadi aku melihatmu keluar dari toko, sebelum akhirnya  di dalam tokoh itu kutahu sesuatu yang buruk terjadi dan tempat tersebut tak akan buka lagi.”
“Apa yang Anda inginkan dariku?” tanyaku. Tatapannya melekat pada bingkisanku.
“Aku sudah jauh-jauh kemari. Tolong kasihanilah orang tua yang papa sepertiku, aku ingin merasakan cinta sebelum maut datang menjemput.”
“Jangan...!” pekik seseorang yang muncul tiba-tiba dari belakang. Entah siapa dia, jas hitamnya tampak licin dan mengilat. “Aku akan membayar kotak itu berapapun maumu.”
“Diam, kau, Bajingan!” umpat si Kakek, lalu ia menoleh padaku, “Dia adalah pengusaha yang akan melakukan apapun demi mendapatkan keuntungan pribadinya.”
“Lebih baik kau serahkan itu padaku, Anak muda.” Datang lagi seseorang entah dari arah mana. “Negeri ini perlu kebahagiaan, kau harus memberikan benda yang kau miliki itu demi kepentingan seluruh umat.”
“Jangan!” teriak dua orang itu bersamaan. “Bisa jadi dia politikus kotor.”
Lalu desing-desing peluru mengakhiri pertengkaran mereka. Ketiga orang itu menjadi bangkai jalanan. Dari seberang jalan muncul seseorang berwajah garang dengan senapan laras panjang di tangan. Di belakangnya berderet orang-orang yang sama buruk penampilannya. Mereka berjalan mendekatiku. “Cepat serahkan kotak itu, atau tubuhmu yang berikutnya tumbang!”
Tanganku gemetaran. Kucoba seerat mungkin memegang kotak bingkisanku. Lalu kudengar bunyi sebuah logam menggelinding di antara suara-suara tapak sepatu. Sebuah granat. Meledak, melemparkan tubuhku ke udara. Pandanganku menghitam. Mataku terlumuri darah. Kepalaku seperti terbakar, kulit pelipis kiri mengelupas. Samar-samar kulihat banyak tubuh bergelimpangan. Akibat ledakan tadi, suara-suara teriakan mereka sulit diserap gendang telingaku, hingga beberapa detik kemudian, suara kekacauan itu terdengar sangat menakutkan. Para penjahat tadi melemparkan apapun yang ada di tangan mereka. Batu, parang, peluru, molotov, granat, semuanya berterbangan ke arah seberang. Sebaliknya, dari arah lawan, segerombolan orang sejenis melakukan hal yang sama.
“Telah terjadi kekacauan yang menewaskan banyak korban,” seru seorang reporter kepada cameraman-nya. Liputan siaran langsung di sekitar area. Aku tak habis pikir, kenapa semua ini begitu cepat terjadi? “Diduga malapetaka ini terjadi bersumber dari sekotak cinta yang dibawa oleh seorang lelaki.” Sorot kamera itu mulai menangkapku. Ini akan menjadi buruk dan semua dunia akan tahu.
Aku segera berlari dan harus meninggalkan kota yang terkutuk itu. 
“Dia kabur!” seru beberapa penjahat tadi.“Tangkap dia!”
Desing-desing peluru berloncatan di telingaku. Dua kelompok penjahat sedang  memburuku dengan saling menyerang satu sama lain. Di jalanan, telunjuk-telunjuk orang menuding padaku. “Itu dia! Orang yang di dalam berita, si pembawa cinta. Kejar! Kejar!”
Sekarang aku menjadi buronan, si “Pelarian Cinta”.
            Sebuah tank muncul, memuntahkan kesaktiannya. Orang-orang yang memburuku itu porak-poranda. Mati karena cinta. Aku sedikit lega, ternyata militer datang untuk menyelamatkanku. Tapi rupanya aku salah. Dari udara, seseorang dalam helikopter tengah mengincarkan senapan M-16 padaku. Aku berlari mati-matian, menghindari maut yang berlesatan dari mulut senapan itu.
“Musnahkan orang-orang itu, basmi semua pengacau negeri ini beserta benda yang menjadi biang-keladinya,” suara komando dari dalam helikopter.
Sekarang bukan hanya orang-orang gila karena cinta yang memburuku. Setan pun ikut-ikutan.
Peluru dan meriam terus saja dimuntahkan ke arahku. Gedung-gedung ambruk. Anak-anak dan perempuan menjerit-jerit. Orang-orang yang tak bersalah berlari seperti kerumunan semut diusik raksasa. Satu meriam berdentum beberapa meter dariku, membuat udara membantingku. Kotak cinta itu terlepas dariku, terinjak-injak oleh kaki-kaki yang sibuk menyelamatkan diri. Pontang-panting, aku bergegas mengambilnya, lalu menyelusup masuk ke dalam reruntuhan bangunan.
Ruangan itu kecil. Gelap dan pengap. Kusandarkan punggung dan menikmati momen untuk bernapas sepuas-puasnya. Tiba-tiba muncul sorot cahaya menggerayangi seisi ruangan. Seseorang menemukanku.
“Aku mengenalimu lewat saluran TV beberapa jam tadi,” katanya. “Kondisimu sekarang buruk sekali.”
Kurasakan perih dan panas membakar kulitku, juga nyeri yang meminta tubuhku dikasihani.
“Sebaiknya berikan cinta itu padaku, akan kujagakan baik-baik untukmu.”
Dari apa yang kualami sepanjang hari ini, membuatku sulit percaya pada siapapun. Semua orang menyimpan rahasia dalam matanya. Dan sebelum dapat kubaca sorot mata orang itu, sebuah kilau lebih dulu menarik pandanganku. Craassh...!!
Dia menyayatkan sebilah pisau ke tanganku. Kotak cinta itu terjatuh. Dia melesat untuk meraihnya. Kulemparkan tubuhku dan berguling-guling ke tanah, bergulat dan berebut cinta dengannya.
“Itu dia!” terdengar bunyi seorang tentara. Selanjutnya senjata mereka yang bersuara. Lelaki yang bergelut denganku itu mati tertembak. Sedangkan aku berhasil melarikan diri dari ruangan tersebut. Di luar sana, orang-orang saling berseteru dengan para tentara. Balas dendam atas anggota keluarga dan sekawanan yang tewas karena perburuan ini. Sebuah granat dijatuhkan, dan tubuhku terlempar bersama beberapa tubuh yang lain. Seluruh badanku menolak untuk kugerakkan. Dari beberapa meter, kulihat kotak yang kubawa tadi telah keluar isinya. Berantakan. Lalu molotov jatuh. Dan habis sudah...
Cinta terakhir di dunia ini telah musnah.

***

            Seperti apakah cinta itu?
Aku merasa sangat sedih jika suatu saat nanti anak-cucu kita bertanya tentang apa itu cinta. Sebab cinta hanya ada dalam sejarah. Maka ceritakanlah mereka tentang kisah ini, agar mereka tahu, apa pentingnya sejarah itu.
#Rumah_Lamongan, 1 Ramadhan 2014


 
6:43 AM   Posted by Unknown in , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search