Monday, March 2, 2015




                Setiap pagi dan sore wanita itu sering duduk di bangku halaman, dekat pohon imboh samping rumahku. Sering kutemukan ia membawa secarik kertas dan menulis sesuatu di sana. Katanya yang ditulis adalah surat untuk suaminya tercinta, seorang pelaut yang sudah sangat lama tidak pernah terlihat lagi.
                Aku bertanya padanya, bagaimana ia dapat mengirimkan surat itu pada suaminya. Sambil menunjuk pada burung-burung gereja yang sering bertengger di pohon imboh, dia berkata bahwa merekalah si makhluk baik hati yang senantiasa mengirimkan suratnya.
                Entah sudah tahun yang ke berapa dia masih tetap menulis surat, hingga pada suatu hari dia terlihat sangat murung di bangku itu. Dengan berusaha menyembunyikan isaknya, ia bilang padaku bahwa ia sudah lelah menunggu surat balasan dari suaminya yang tak kunjung datang. Aku hanya bisa iba dan membimbingnya pulang.
                Dan kemarin, ketika aku sepulang kerja, dia menghampiriku. Wajahnya berseri-seri di bawah langit senja yang hampir meredup.
                 “Aku mendapatkan balasan surat dari suamiku,” katanya sambil menitikkan air mata. “Ia akan datang dan membawaku ke puncak menara Eifel yang tinggiiiiiiiii sekali,” imbuhnya dengan sangat antusias. Aku tersenyum melihat ia sebahagia itu. Tiba-tiba aku terbersit sesuatu:
                “Siapa yang mengantarkan suratnya padamu?” tanyaku.
                “Tentu saja seekor burung yang ia mintai tolong. Itu burungnya,” ia menunjuk ke pohon imboh.
                Aku terperanjat. Itu burung gagak.

                                                                                                  Rumah, Lamongan_14 Januari 2013

Sumber: majalah FRASA edisi 10 tahun 2013


7:32 PM   Posted by Unknown in , , , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search