Monday, March 2, 2015




Sastra hanyalah sebatas narasi teks setelah ia tercipta. Sebaliknya sastra itu hidup ketika ada pembaca yang menghidupinya. Menurut Maman S. Mahayana, dari sebuah pembacaan itulah makna sastra akan meneyeruak, lalu menyelusup dan menjalari hati dan pikiran pembaca.  Dari situ, sastra seolah menjelma virus yang mengganggu serta menggugat hati nurani. Karya yang baik akan menanamkan nilai-nilai positif kehidupan.
Adapun karya-karya klasik seperti Hamlet yang ditulis oleh Shakespeare berabad-abad silam bisa tetap ada sampai sekarang adalah salah satu buktinya bahwa pembacalah yang menjaga kelangsungan hidup karya tersebut.
Dalam hal ini antara pembaca dan penulis memiliki peran dalam sebuah karya. Penulis bertugas untuk melahirkan karya sastra, sedangkan pembaca yang memeliharanya—dalam artian bahwa pembacalah yang memaknai sebuah karya, dan ia punya hak mutlak mau diarahkan ke mana nanti sebuah karya itu. Sedangkan penulis yang telah melahirkan karya tersebut, sudah tidak mempunyai peran lagi terhadap karya yang dilahirkannya, sebab dalam teks karya tersebut sudah lengkap membangun elemennya sendiri. Ia hanya sebatas mesin penulis saja. Hal ini sejalan dengan Roland Barthes dalam artikelnya The Death of the Author yang menyatakan pengarang sudah mati ketika ia melahirkan karyanya.
Pesan Roland barthes di atas memilki dukungan masa yang kuat bagi para sastrawan. Tetapi reaksi kontra yang muncul pun banyak.
Seorang sastrawan peraih Hadiah Nobel berdarah Yahudi, Imre Kartesz, pernah menyatakan bahwa tindak penciptaan sastra merupakan kegiatan privat, sesuatu yang pribadi. Artinya tindak penciptaan sastra seorang sastrawan dilakukan untuk melayani atau memenuhi kebutuhan seorang sastrawan itu sendiri. Ini disebabkan karena seorang sastrawan menulis bukan untuk siapa-siapa melainkan untuk dirinya sendiri.
Bagi seorang penulis, dunia adalah kenyataan objektif yang senantiasa berada di luar dirinya. tetapi, sedangkan ia menulis kenyataan itu dengan cara subjektif. Pandangannya tentang kehidupan, dinamika sosiologis, kebudayaan, atau ideologinya tentu berbeda dan bisa saja tidak dipahami oleh pembaca. Lantas jika penulis tersebut “mati” setelah menciptakan karya, lalu bagaimana bisa karyanya tersebut sampai ke dalam hati pembaca? Dalam hal ini, penulislah yang lebih memungkinkan untuk menjadi jalan penghubung antara karyanya ke pembaca.


Sumber referensi:
Mahayana, Maman S. 2013. Makhluk Sastra. Dalam Majalah Surah edisi ketiga.
7:50 PM   Posted by Unknown in , , , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search