Wednesday, October 18, 2017

Dear, Pembaca Budiman... lama gak post, sekarang saya ingin nostalgia dengan cerpen lama, semoga Anda juga terhibur. Sampai jumpa di postingan selanjutnya...


Kita Akan Hidup Untuk Bercerita?


Dalam masa hidupnya, daun-daun merekam semua apa yang ia dengar. Ia mempunyai cerita yang akan selalu tersimpan dalam dirinya, meskipun tak seorang pun ada untuk mau mendengarkan, hingga ia terjatuh, kalah oleh usia, atau dihempas angin.
Di bawah pohon Filicium yang terletak pada sebuah taman kota, kududuk sendiri. Memperhatikan sekeliling tempat, seperti seseorang yang nampak mencari tanda-tanda sebuah kehadiran yang ia harapkan, warna yang nyala di matanya yang kelabu.
Udara basah. Gerimis nampaknya akan turun. Bukan suasana yang indah untuk berada di taman. Jalanan sekitar sepi. Mungkin orang-orang lebih memilih tidur di minggu pagi ini. Mungkin yang lainnya lebih memilih untuk sendiri. Dan aku punya banyak waktu sendiri dengan beberapa batang rokok (sudah beberapa bulan ini aku telah merokok).
Apakah kau memerlukan suatu waktu untuk kaumiliki sendiri? Apakah suatu waktu kau memerlukan semua hal sendiri?
Dulu pernah kudapati cerita tentang lelaki tua yang sedang menunggu kekasihnya dalam keadaan resah di bawah pohon Filicium pada sebuah taman.2 Filicium itu akan menggugurkan daunnya setiap kali tampak seseorang yang murung atau yang berusaha menyembunyikan perasaan gusarnya. Semacam pertanda bahwa di sana tak ada tempat untuk mengembangbiakkan kesedihan. Oleh sebab itu, orang-orang satu sama lain akan saling menaruh curiga ketika mendapati satu-dua daun yang gugur dari Filicium.
Dalam melankolia lelaki tua itu selalu setia menunggu sang kekasih di tempat janji mereka bertemu, di bawah Filicium itu, setiap hari, hingga gugur semua daunnya akibat kemarau dari hati si lelaki. Filicium yang cantik jadi tidak sedap dipandang. Orang-orang jadi membenci lelaki tersebut. Mereka melemparinya dengan batu. Akan tetapi lelaki itu tak ubahnya dengan batu. Ia selalu kembali ke sana, hingga semua orang malas menganiayanya dan memilih tak lagi mengunjungi taman tersebut. Taman itu mati, seiring gugurnya daun terakhir Filicium bersama gerimis.
Aku akan menertawakan sendiri diriku seandaianya nasib membuatku mengalami hal serupa. Karena meskipun tanpa janji, aku ingin berada di sini. Bersamamu.
“Mungkin kita terlalu cepat dan aku tak pernah tahu apa yang nyata,” katamu waktu itu, “tapi aku tahu, aku belum pernah menginginkan sesuatu dengan begitu hebatnya, aku belum pernah menginginkan seseorang sebegitu hebatnya.”
Aku tahu.
“Jika kubiarkan kau mencintaiku, akankah kau pergi ke sepanjang jalan sebagai seseorang yang selalu bisa kulihat?”
Tentu!
Kuhisap rokok dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Kenangan tentangmu seperti rokok yang terbakar. Asap itu memanggil-manggil namamu.
Di sebuah tempat, baik maupun buruk, seseorang tak dapat memilih akan dimana ia dilahirkan. Mungkin suatu saat, mungkin dulu, seseorang akan atau pernah bertanya bagaimana takdirnya. Sedangkan takdir itu gelap. Hanya reka-reka yang membentuk wujudnya. Apakah keyakinan juga termasuk bagian dari kegelapan akan sebuah impian yang indah, impian yang merupakan hasil dari takdir?
“Akan seperti apa kita suatu saat nanti?” tanyamu pada suatu saat.
Kau dan aku... kita seperti daun yang memiliki garis-garis yang sulit diterka. Tapi selembar daun bisa saling bercerita dengan sesama daun lainnya, seperti dalam Cerita Daun2. Mereka hanya menunggu masa tua, jatuh, dan berganti. Tetapi sayangnya, selembar daun yang jatuh tidak akan kembali lagi menjadi daun yang sama. Mereka hanya jatuh sekali di tanah, setelah itu mereka menutup ceritanya sendiri. Karena itu sebuah tanah menjadi penting sebagai tempat untuk mengenang segalanya. Juga tempat untuk menyerahkan kehidupannya.
Kemana nanti kau ‘kan memilih tanah halaman untukmu rebah?
Daun Filicium kini sedang jatuh, terhempas angin, dan menari-nari di mataku.
Pesawat telah mengambil dirimu lagi. Apakah dirimu akan terbang di atas tempat, di mana kehidupan kita berada? Adakah suatu sesal kausimpan sejauh ini?
Akan sangat menyenangkan jika seandainya kita dapat menyimpan dan membuang segalanya tanpa terkecuali apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kadang kenyataan itu begitu kejam. Pada suatu waktu, ku melihatmu tertawa di saat ku menutup mata. Sampai tiba hari di mana aku jatuh pada tidur yang panjang, yakni ketika wajah dengan senyuman harus tinggal bersamaku tanpa kegagalan. Orang-orang bisa bersedih, jadi mereka pergi dan melupakan. Akan tetapi... untuk apa yang kucintai, untuk apa yang memberikanku cinta, akan kulakukan apa yang kubisa untuknya. Atau bila harus sebaliknya, ketika kita berjumpa, semuanya akan terasa dingin. Kita akan saling menjauh, benar, bukan? Kita akan mendapatkan luka, benar, bukan? Sampai tiba hari di mana kita akan tertidur panjang.3
“Apa kau percaya bahwa suatu hari nanti aku akan kembali lagi?” tanyamu.
“Tentu.”
“Bagaimana kalau aku tidak kembali?”
“Itu adalah konsekuensi dari penantian.”
Karena berani mencintai, kita harus berani pula untuk dilupakan.
Kita sudah pernah berpisah sebelumnya.  Saat yang membuat kita mulai memanjakan sunyi dalam ruang yang tak lagi terisi, lalu menghirup nafas dalam-dalam dan mulai mencari makna kata “sendiri”. Setiap kekosongan itu menciptakan rindu: penyakit yang merampas nyala dari matamu. Dan rasa sakitnya itu mengajarimu untuk membenci. Di lain hal, rasa sakit itu membuatku belajar untuk membunuh rindu itu sendiri, beserta kenangan di dalamnya.
Tapi kau dan aku selalu gagal melakukannya.
“Aku hanya ingin bahagia saat ini, bersamamu,” katamu. Seketika itu oktitosin4 yang telah sekarat di dalam tubuh berlesatan ke udara, membuat tubuhku terasa ringan. Aku seperti terlahir kembali dan amnesia terhadap segala kemungkinan yang buruk. “Kita lakukan saja yang terbaik. Biarkan esok menjadi esok.”
“Kita akan hidup untuk bercerita?” kataku.
Kulihat warna Kalipso5 menyembul di pipimu.
Gerimis telah jatuh ke tanah. Aku akan membiarkan tubuhku basah dan mulai berjalan pulang. Besok adalah besok. Cerita ini masih panjang. []

>>Untuk Amelia
#Rumah_Lamongan, 5 Oktober 2014

________________
Catatan:
1.      Cerita selengkapnya ada pada cerpen “Melankolia Filicium”, karya Fahmin, bersumber di Jogjareview.net, 27 Juli 2014.
2.      Cerpen yang terdapat pada buku “Satu Hari Bukan di Hari Minggu” karya Yetti A. KA. 2011. Gress Publishing.
3.      Terjemahan dari lagu “Dearest” yang dinyanyikan oleh Ayumi Hamasaki, dengan sedikit perubahan.
4.      Hormon yang bertanggung jawab memancing apa yang disebut para ilmuwan dengan ‘sepasang ikatan’.
5.      Anggrek yang bunganya kemerah-merahan.

NB: Sumber, Metro Riau, 28 Desember 2014. 
       ilustrasi dari Google
8:32 AM   Posted by Unknown in , , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search