• Setiap Hari Adalah Kesempatan

    Setahun berisi 365 hari, setiap hari yang datang adalah hari baru, maka dalam setahun hiduopmu disuguhkan 365 kesempatan oleh Tuhan. Jangan menyerah, jangan berputus asa. Kegagalan hari ini adalah milik hari ini, esok hari adalah kesempatan bagimu untuk membuat perubahan. Lihatlah matahari, sekali waktu ia terbit tertutup awan, namun matahari tak pernah menyerah untuk te3rus terbit esok hari.
    Manfaatkan waktumu. gunakan kemampuanmu. Rayakan hidupmu. Tunjukkan pada dunia betapa besar arti dirimu bagi kehidupan #arulight.

  • Ketika aku merasa tidak bisa

    Ketika aku merasa tidak bisa, aku akan diam sejenak dan memeriksa: ya, aku memang tidak bisa. Lalu aku akan menarik nafas dan merenungkan. Lalu aku sadar, jika aku memang TIDAK BISA, mengapa tidak kugunting saja Tidak-nya sehingga yang tersisa hanyalah AKU BISA?
    Semua orang yang tidak bisa sebenarnya bisa Anda mereka cukup punya keinginan dan kesungguhan untuk membuang tidaknya #arulight.

  • Berpikir positif dan positif

    Kapanpun kau merasa letih dan muak pada dirimu, atau pada sekelilingmu, jangan terkecoh! Jika kau bisa berpikir negatif, kau juga bisa berpikir positif.
    Berpikir negatif hanya akan membuatmu letih dan tidak bergerak kemana-mana, berpikir positif membuatmu keuat dan sanggup mengambil langkah untuk membuat perubahan. Benua baru tidak akan pernah ditemukan jika para pelaut tidak berani meninggalkan pelabuhan menuju lautan #arulight.

Friday, October 20, 2017


Terbit di jogjareiew.net 22 Juni 2014

Pohon yang Tumbuh di Kepalaku



Pagi itu, rumahku benar-benar gempar. Keponakanku yang baru berusia satu setengah tahun menjerit histeris sewaktu melihatku. Aku kira cuma mimpi, tapi kepalaku benar-benar benjol sewaktu Mama memukulku dengan batang sapu.
“Pergilah kau, Setan!” pekiknya.
Wah, kacau! Seumur hidup, baru sekali ini aku dipanggil Setan. Gila!
“Ini aku, Ma!” kataku.
“Agung? Apa yang terjadi pada dirimu?”
Yang terjadi padaku? Entahlah, aku bingung. Sejak bangun tidur tiba-tiba saja sudah tumbuh daun di kepalaku. Tak ada rambut. Semuanya daun.
“Itu pasti hasil eksperimen gilamu lagi ya, Om?” kata keponakanku yang satunya. “Aku bisa maklum kalau Om habis depresi karena putus cinta, tapi ya jangan mengubah diri sendiri sebagai kelinci percobaan, dong! Itu melawan kodrat Tuhan namanya.”
Keponakanku itu ... ingin sekali kucekik dia. Meskipun aku sempat pusing tujuh keliling karena hasil Botanical Experiment-ku untuk tugas akhir kuliah belum di-goal-kan dosen, aku masih belum cukup sinting untuk mengubah diriku sendiri menjadi spesies aneh di muka bumi.
Gara-gara peristiwa naas yang menimpaku itu, selama dua minggu aku mengurung diri di rumah. Tidak kuliah dan mogok kerja. Tak dapat kutanggung beban mental nanti bila ketemu dengan orang-orang di jalan. Terakhir kali aku keluar rumah, bisik-bisik tetangga sudah tidak sedap di telinga.
“Pasti dia kebanyakan berbuat maksiat sehingga kena adzab,” kata ibu-ibu tetangga dekat rumah.
Aku mengelus dada, meskipun aku jarang pergi ke masjid, tapi salat lima waktu tak pernah absen di rumah. Aku juga bukan anak yang durhaka pada orang tua. Maksiat? Maksiat apa? Seenak perutnya saja mereka menyebarkan fitnah. Jika kebanyakan dosa, itu seharusnya para suami mereka, semua pohon-pohon di hutan habis dibabat mereka. Pohon yang dibiarkan tetap hidup hanyalah pohon randu di batas desa, itu pun karena mereka takut berurusan dengan jin penunggunya.
“Atau jangan-jangan dia kena kutukan jin penunggu pohon randu itu?” timpal salah satu ibu-ibu yang lain. “Kata suamiku, si Agung pernah kencing di pohon keramat itu.”
“Bisa juga itu ...,” yang lain menanggapi.
Hadew, entah jin penunggu atau setan alas macam apalah, jika masalahku bermuncul dari situ aku tidak bisa percaya. Apa-apa harus bisa dijelaskan dengan sains agar bisa diterima logika. Ngawur sekali ucapan mereka! Lama-lama bisa terkena darah tinggi aku karena ucapan ibu-ibu itu. Aku jadi sebal keluar rumah, tapi karena kebutuhan yang mulai menuntut, sekaligus dosen yang mengancam tidak akan sudih mengizinkanku ikut ujian perbaikan nilai, aku terpaksa menampakkan diri kembali, sekaligus melatih kesabaran untuk menerima kenyataan.
Kesabaranku ternyata harus di mulai sejak membuka pintu rumah. Waktu itu kulihat Papa sedang mengecat rumah. Aku kaget. Pemandangan rumahku kacau sekali. Anak-anak nakal para tetangga rupanya mencoret-coreti rumahku dengan tulisan tak sopan, seperti: “Agung makhluk jadi-jadian”, “Agung titisan jin pohon randu” dan ada yang lebih kurang ajar lagi yang tentu saja tidak akan kukatakan padamu. Dan kau tahu? Setelah bertekad untuk belajar bersabar, hari pertama itu aku sudah menjawab ujian kesabaran itu dengan misuh-misuh tak keruan. Menyebalkan!
Di kampus, semua mata tertuju padaku. Aku jadi buah bibir yang sampai dower dibicarakan. Dosen pembimbing ekperimenku malah tertarik padaku. Beliau ingin menjadikanku boneka analisanya. Awalnya sih aku ogah, tapi karena dapat gratisan uang semester sebagai imbalannya, aku bersedia. Toh, ada untungnya juga buatku untuk mengetahui gejala fenomena apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku.
Hampir satu bulan berlalu, dan dosenku yang sudah menyandang rentetan titel itu ilmu dan pengetahuannya tak kunjung bisa memecahkan masalah yang ada pada diriku.
“Mungkin kamu perlu menemui orang pintar, Bro,” kata Norky, sahabatku.
“Maksudmu aku harus mendatangi dukun? No way, Man! Itu tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat agama. Demi Allah, dunia-akhirat, aku tidak akan minta tolong ke dukun!” sahutku, mantap!
Tapi, waktu memang kadang dapat membolak-balikkan perkataan. Tiga hari setelah sumpahku terlontar, daun-daun di kepalaku tumbuh semakin lebat. Bahkan muncul ranting dan dahan. Ini bukan sembarang daun-daun lagi namanya, tapi pohon. Kadang-kadang serangga hinggap untuk makan atau menjadikannya habitat. Sungguh benar-benar menggangu. Rasanya gatal dan risih sekali. Aku jengkel. Kutarik keras-keras pohon di kepalaku itu, tapi—aduh! sakitnya ... masya Allah, luar biasa! Sepertinya ada akar-akar kecil dari pohon di kepalaku yang menancap sampai ke dalam otak, dan bagian daun yang terputus itu meninggalkan nyeri yang membuatku menjerit-jerit. Ini benar-benar siksaan bagiku. Aku tak tahan. Maka, apa boleh dibuat, aku pergi ke dukun.
Sepanjang perjalanan menuju rumah terkutuk itu, yakni kediaman sang dukun, aku mengucapkan istighfar berkali-kali, takut kalau-kalau laknat Allah disambarkan dari langit untuk menimpa orang munafik sepertiku yang telah melanggar sumpah. Norky, kawan baik hati yang mengantarkanku itu, selama perjalanan terkikik-kikik menahan tawa. Sungguh kurang ajar betul!

***

            Dukun itu membaca mantra seperti orang gagu sakit ayan. Tangannya menari-nari di atas asap kemenyan, mulutnya komat-kamit tak keruan. Secawan air diteguk dan, bruussh...! air kumurnya itu disemburkan di atas kepalaku. Sialan betul metode penyembuhan orang sakti itu. Dalam hati aku mengutuk agar mulut dukun itu bengkak. Ia terkekeh-kekeh dengan lagak menyebalkan.
 “Tenang anak muda, besok pohon di kepalamu itu akan gugur dan tumbuh lagi rambutmu,” katanya.
“Kenapa kepalaku bisa tumbuh pohon, Mbah?”
“Mungkin karena kamu pernah berbuat sembrono pada suatu tempat yang mengakibatkan penunggunya mengutukmu, anak muda.”
Ia mulai menjelaskan banyak hal-hal gaib yang berhubungan denganku, tapi aku tidak terlalu peduli dan mengingatnya. Aku berharap dukun itu benar, agar dosa yang kulakukan dengan berdatang padanya tidak menjadi sia-sia, meskipun jawabannya nonsense bagiku.

***

            Keesokan harinya, pagi-pagi aku malah tambah gusar. Benar-benar kampret si dukun itu! Air jampi-jampinya bukannya melenyapkan pohon di kepalaku tapi justru membuatnya tumbuh subur. Daun-daun pohon sialan itu tambah lebat, malahan  tumbuh sulur-sulur yang menjuntai sampai ke pantat. Mungkin Tuhan telah murka sehingga membuatku nampak sebegini rupa. Aku menyesal sekaligus hilang akal. Aku keluar rumah dan berjalan gontai menuju ke puncak bukit, tempat sepi yang biasanya membuatku merasa tenang. Sepanjang jalan diriku diikuti sorakan anak-anak kecil, gunjingan, serta kambing-kambing penduduk yang bernafsu dengan rambut hijauku. Rasanya aku menjadi seperti orang yang tak bernyawa.
            Sampai di bukit, dari kejauhan kulihat desaku dengan rumah-rumah yang nampak seperti miniatur. Dulu rumah-rumah itu dikelilingi pepohonan hijau. Sekarang yang berwarna hijau hanya pohon randu raksasa di batas desa saja. Kuperhatikan sekumpulan orang mengerumuninya. Benar-benar desa yang lugu, pasti orang-orang itu kembali melanggengkan kebudayaan ritual nenek moyang, yakni melakukan sesembahan pada pohon yang dianggap keramat. Di desa ini kepercayaan terhadap sesuatu yang belum jelas atau mitos begitu sering dipraktekkan ke masyarakat. Misalnya, seorang anak sedang memasukkan kereweng1 dalam sakunya, ketika kutanya, ia menjawab bahwa hal itu dilakukan agar dia tidak kebelet berak. Atau seorang ibu hamil yang enggan makan cumi, katanya ia takut kalau nanti bayinya lahir akan berkulit hitam. Aku ingin tertawa mendengarnya, tapi hatiku ngilu rasanya. Bagaimana jika kebudayaan seperti ini tetap dilanggengkan oleh anak-anak desa generasi ke depan? Kebodohan akan tetap lestari. Maka, semenjak aku menetap di desa ini, impian yang kupunya adalah mengajar. Suatu cara memerangi kebodohan.
            Singkat cerita, tak ada sekolah yang menerimaku menjadi guru. Tapi, kabar baiknya, aku dapat mengumpulkan anak-anak dan mendidik mereka secara non-formal. Pengetahuan umum, keterampilan, budidaya ikan, sampai sastra dan filsafat. Semua itu kuberikan sesuai tingkatan usia, minat, dan daya tangkap mereka. Ibarat pohon, aku senang bisa memberikan buah buat orang lain. Dan aku bersyukur, jika melihat semangat dan antusias mereka sekarang, aku bisa sedikit membaca harapan di desa ini.

***

Gempar. Lagi-lagi gempar. Aku heran dengan desa ini. Kenapa selalu ada hal yang menggemparkan tiap harinya. Pagi-pagi seusai membuka pintu rumah, sekumpulan penduduk mengepung beranda rumah dan langsung bersila sewaktu aku berdiri di hadapan mereka.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Pohon randu keramat kami telah tumbang, tersambar geledek semalam,” kata ketua perkumpulan mereka.
“Lalu apa kaitannya denganku?”
Belum sempat terjawab, salah satu orang sudah membakar kemenyan dan sebagian yang lain membawa sesajen makanan. []

#Rumah – Lamongan, 2 April 2014 
Catatan:
1.   1.   pecahan genting
8:29 AM   Posted by Unknown in , with No comments
Read More


terbit di Koran Madura, edisi 24 April 2015

Pulang



            Lagu yang kauputar dari HP-mu seakan menjadi satu-satunya hal yang kau pedulikan. Itu mengiringi perjalananmu dengan tujuan buta. Terasa dirimu adalah orang asing yang tak mengenal tempat tinggal baru, sekalipun pada tempat lama yang begitu familiar dahulu.
            Ketika di terminal Semarang, perut bus yang kita tumpangi begitu cepat dijejali penumpang juga penjual asongan. “Aqua... Aqua...,” “lumpia... lumpia...,” “kacang... kacang...,” dan kita hanya geleng-geleng kepala di hadapan mereka. Dari belakang terdengar sebuah percakapan:
            “Berapa harganya?” tanya seorang lelaki empatpuluhan yang kaulihat waktu itu.
            “Dua ribu, Pak. Mau berapa bungkus?” jawab si penjual, gadis usia belasan.
            “Bukan itu, tapi bungkusan yang itu lho,” ia menunjuk dada gadis itu dan membuat lungset mukanya, tapi tetap berusaha menjaga sikap.
            “Jadi beli tidak, Pak?” Lelaki itu terbahak-bahak diikuti kawan-kawannya. Suaranya membuatmu menoleh kebelakang. Rahangmu menegang.
            “Eh, mau kemana, Dik? Sini lho, aku mau beli kok!”
            “Beli berapa bungkus?”
            “Kalau dua tidak boleh, satu saja bagaimana?” tawa mereka membuncah. Dan wajahmu lebih geram.
             Roda bus mulai berputar. Jarum arloji berputar. Mungkin isi kepalamu pun demikian.
            “Mau pergi ke mana, Mbak?” tanyaku. Kau menoleh, menatapku, lalu berpaling dan bisu. Aku menarik ranselku dan mengeluarkan sebuah buku, sebuah reaksi untuk mengurangi rasa malu atas sikap abaimu padaku.
Seorang wanita muda hamil sedang melewati kita. Ia membawa dua keranjang penuh isi, entah apa, sesuatu yang mungkin membuat bulir-bulir keringat tumbuh subur di keningnya. Semua bangku penuh, dan ia seakan hendak mengeluh. Di kursi-kursi, para penumpang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sebuah tempat yang membudayakan hidup saling mengasingkan diri maupun orang lain.
            “Duduk di sini saja, Mbak,” katamu, segera bangkit dari kursi dan mengambil alih tempat wanita itu.
            Mbak tidak keberatan?” tanyanya. Kau menggeleng. Ia berterimakasih.
            Sepanjang jalan kota menyambut dengan cahaya lampu-lampu yang muram. Seperti ada sesuatu yang menggelisakan hendak muncul di ujung jalan. Kubaca itu dari wajahmu. Entah ada apa denganmu.
            Bus tiba di terminal Tuban, orang-orang keluar-masuk silih berganti. Wanita hamil tadi pamit kepadamu dan turun. Di luar suaminya telah datang menyambut. Kini kau duduk di sampingku. Seorang lelaki berkacamata hitam berhasil memasuki pintu bus dengan bantuan tongkatnya. Kantong plastik bekas bungkusan kacang bermerek disodorkan ke para penumpang. Ia mengiba-iba, namun tak banyak orang-orang yang mempedulikan nasibnya. Kurogoh sakuku dan memasukkan beberapa koin koin ke dalam kantong plastiknya.  Beberapa menit kemudian bus kembali berjalan. Matamu memandang keluar jendela. Mungkin pikiranmu sedang berada jauh di luar sana. Tanpa sengaja mataku ikut mengejar jejak pandanganmu, namun ternyata orang lain yang menarik perhatianku. Kudapati pengemis buta tadi tengah berlari mengejar mobil pick-up tumpangan. Orang-orang di belakangku menggerutu.
            “Bajingan!”
            “Penipu!”
            “Sialan, ternyata orang tadi tidak buta.”
            Hatiku tergelitik, bukankah tadi mereka pura-pura tak melihat kantong plastik yang disodorkan pengemis itu ke hadapannya? Lalu siapa yang buta? Di sampingku, kau mulai menaruh perhatian pada kontak HP-mu. Sebuah nomor kautekan. Namun segera kaubatalkan panggilan.
            Kuputar lagu di MP3 dan mulai menghibur diri. Sebuah simponi mengaliri jalinan sarafku lewat lubang headset. Malam perlahan meninggi, suasana bus mulai sunyi. Samar-samar kudengar nada sendu di sekitarku. Itu suaramu. Kau menangis.
            Aku pura-pura tidur, tapi telingaku semakin jelas menangkap isakmu. Akhirnya kutawarkan saputangan untukmu.
            “Terimakasih,” kau mengambilnya tanpa berani menatapku.
            Malam semakin meninggi. Udara menjadi pasi.
            “Aku mau pulang.” Setengah berbisik kauucapkan kalimat itu.
            Aku terhenyak.
            “Di mana Mbak tinggal?”
            Kau nampak kebingungan, dan menangis lagi sejurus kemudian. Aku tak mengerti.
            “Aku tak bisa...”
            “Kenapa?”
            Isakmu semakin menjadi.
            “Maafkan aku.” Dan kubiarkan kau menuntaskan tangismu. Percakapan kita selesai begitu saja. kau mengakhirinya dengan tanda tanya. Tapi tiba-tiba saja aku merasa jadi lebih dekat denganmu. Entahlah.
            Apakah tangis perempuan selalu membuat hati lelaki luluh?
“Maaf, tidak seharusnya aku kelihatan seperti ini.” Kau buru-buru merapikan wajahmu. Kini kau mulai berani menatapku. Sedikit. Di antara pendar-pendar cahaya lampu jalanan yang menerobos masuk kaca memperlihatkan wajahmu yang sebenarnya nampak ayu. “Kalau boleh tahu, kemanakah tujuanmu?”
“Aku ingin pulang. Rumahku di Lamongan.”
“Oh...” kau berhenti sejenak, lalu... “Apa rumahmu menyenangkan?”
“Mmmp,” aku berhenti sesaat, “ya, kadang. Kadang bisa juga sebaliknya. Tapi apapun suasananya, rumah itu akan selalu menjadi tempat kepulanganku.”
“Jadi begitu,” kau kembali melempar pandang ke luar kaca jendela. “Seandainya aku berada di sekitar sini, bolehkah aku mampir ke rumahmu?”
            Aku tersenyum. “Ya, silakan.”
            “Mas...”
            “Ya?”
            “Namaku ....” kau menyebutkan nama. “Siapa namamu?”[]
           
#Warkop Merpati, Cepokorejo_Tuban, 14 Juli 2014
7:29 AM   Posted by Unknown in with No comments
Read More

Wednesday, October 18, 2017

Dear, Pembaca Budiman... lama gak post, sekarang saya ingin nostalgia dengan cerpen lama, semoga Anda juga terhibur. Sampai jumpa di postingan selanjutnya...


Kita Akan Hidup Untuk Bercerita?


Dalam masa hidupnya, daun-daun merekam semua apa yang ia dengar. Ia mempunyai cerita yang akan selalu tersimpan dalam dirinya, meskipun tak seorang pun ada untuk mau mendengarkan, hingga ia terjatuh, kalah oleh usia, atau dihempas angin.
Di bawah pohon Filicium yang terletak pada sebuah taman kota, kududuk sendiri. Memperhatikan sekeliling tempat, seperti seseorang yang nampak mencari tanda-tanda sebuah kehadiran yang ia harapkan, warna yang nyala di matanya yang kelabu.
Udara basah. Gerimis nampaknya akan turun. Bukan suasana yang indah untuk berada di taman. Jalanan sekitar sepi. Mungkin orang-orang lebih memilih tidur di minggu pagi ini. Mungkin yang lainnya lebih memilih untuk sendiri. Dan aku punya banyak waktu sendiri dengan beberapa batang rokok (sudah beberapa bulan ini aku telah merokok).
Apakah kau memerlukan suatu waktu untuk kaumiliki sendiri? Apakah suatu waktu kau memerlukan semua hal sendiri?
Dulu pernah kudapati cerita tentang lelaki tua yang sedang menunggu kekasihnya dalam keadaan resah di bawah pohon Filicium pada sebuah taman.2 Filicium itu akan menggugurkan daunnya setiap kali tampak seseorang yang murung atau yang berusaha menyembunyikan perasaan gusarnya. Semacam pertanda bahwa di sana tak ada tempat untuk mengembangbiakkan kesedihan. Oleh sebab itu, orang-orang satu sama lain akan saling menaruh curiga ketika mendapati satu-dua daun yang gugur dari Filicium.
Dalam melankolia lelaki tua itu selalu setia menunggu sang kekasih di tempat janji mereka bertemu, di bawah Filicium itu, setiap hari, hingga gugur semua daunnya akibat kemarau dari hati si lelaki. Filicium yang cantik jadi tidak sedap dipandang. Orang-orang jadi membenci lelaki tersebut. Mereka melemparinya dengan batu. Akan tetapi lelaki itu tak ubahnya dengan batu. Ia selalu kembali ke sana, hingga semua orang malas menganiayanya dan memilih tak lagi mengunjungi taman tersebut. Taman itu mati, seiring gugurnya daun terakhir Filicium bersama gerimis.
Aku akan menertawakan sendiri diriku seandaianya nasib membuatku mengalami hal serupa. Karena meskipun tanpa janji, aku ingin berada di sini. Bersamamu.
“Mungkin kita terlalu cepat dan aku tak pernah tahu apa yang nyata,” katamu waktu itu, “tapi aku tahu, aku belum pernah menginginkan sesuatu dengan begitu hebatnya, aku belum pernah menginginkan seseorang sebegitu hebatnya.”
Aku tahu.
“Jika kubiarkan kau mencintaiku, akankah kau pergi ke sepanjang jalan sebagai seseorang yang selalu bisa kulihat?”
Tentu!
Kuhisap rokok dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Kenangan tentangmu seperti rokok yang terbakar. Asap itu memanggil-manggil namamu.
Di sebuah tempat, baik maupun buruk, seseorang tak dapat memilih akan dimana ia dilahirkan. Mungkin suatu saat, mungkin dulu, seseorang akan atau pernah bertanya bagaimana takdirnya. Sedangkan takdir itu gelap. Hanya reka-reka yang membentuk wujudnya. Apakah keyakinan juga termasuk bagian dari kegelapan akan sebuah impian yang indah, impian yang merupakan hasil dari takdir?
“Akan seperti apa kita suatu saat nanti?” tanyamu pada suatu saat.
Kau dan aku... kita seperti daun yang memiliki garis-garis yang sulit diterka. Tapi selembar daun bisa saling bercerita dengan sesama daun lainnya, seperti dalam Cerita Daun2. Mereka hanya menunggu masa tua, jatuh, dan berganti. Tetapi sayangnya, selembar daun yang jatuh tidak akan kembali lagi menjadi daun yang sama. Mereka hanya jatuh sekali di tanah, setelah itu mereka menutup ceritanya sendiri. Karena itu sebuah tanah menjadi penting sebagai tempat untuk mengenang segalanya. Juga tempat untuk menyerahkan kehidupannya.
Kemana nanti kau ‘kan memilih tanah halaman untukmu rebah?
Daun Filicium kini sedang jatuh, terhempas angin, dan menari-nari di mataku.
Pesawat telah mengambil dirimu lagi. Apakah dirimu akan terbang di atas tempat, di mana kehidupan kita berada? Adakah suatu sesal kausimpan sejauh ini?
Akan sangat menyenangkan jika seandainya kita dapat menyimpan dan membuang segalanya tanpa terkecuali apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kadang kenyataan itu begitu kejam. Pada suatu waktu, ku melihatmu tertawa di saat ku menutup mata. Sampai tiba hari di mana aku jatuh pada tidur yang panjang, yakni ketika wajah dengan senyuman harus tinggal bersamaku tanpa kegagalan. Orang-orang bisa bersedih, jadi mereka pergi dan melupakan. Akan tetapi... untuk apa yang kucintai, untuk apa yang memberikanku cinta, akan kulakukan apa yang kubisa untuknya. Atau bila harus sebaliknya, ketika kita berjumpa, semuanya akan terasa dingin. Kita akan saling menjauh, benar, bukan? Kita akan mendapatkan luka, benar, bukan? Sampai tiba hari di mana kita akan tertidur panjang.3
“Apa kau percaya bahwa suatu hari nanti aku akan kembali lagi?” tanyamu.
“Tentu.”
“Bagaimana kalau aku tidak kembali?”
“Itu adalah konsekuensi dari penantian.”
Karena berani mencintai, kita harus berani pula untuk dilupakan.
Kita sudah pernah berpisah sebelumnya.  Saat yang membuat kita mulai memanjakan sunyi dalam ruang yang tak lagi terisi, lalu menghirup nafas dalam-dalam dan mulai mencari makna kata “sendiri”. Setiap kekosongan itu menciptakan rindu: penyakit yang merampas nyala dari matamu. Dan rasa sakitnya itu mengajarimu untuk membenci. Di lain hal, rasa sakit itu membuatku belajar untuk membunuh rindu itu sendiri, beserta kenangan di dalamnya.
Tapi kau dan aku selalu gagal melakukannya.
“Aku hanya ingin bahagia saat ini, bersamamu,” katamu. Seketika itu oktitosin4 yang telah sekarat di dalam tubuh berlesatan ke udara, membuat tubuhku terasa ringan. Aku seperti terlahir kembali dan amnesia terhadap segala kemungkinan yang buruk. “Kita lakukan saja yang terbaik. Biarkan esok menjadi esok.”
“Kita akan hidup untuk bercerita?” kataku.
Kulihat warna Kalipso5 menyembul di pipimu.
Gerimis telah jatuh ke tanah. Aku akan membiarkan tubuhku basah dan mulai berjalan pulang. Besok adalah besok. Cerita ini masih panjang. []

>>Untuk Amelia
#Rumah_Lamongan, 5 Oktober 2014

________________
Catatan:
1.      Cerita selengkapnya ada pada cerpen “Melankolia Filicium”, karya Fahmin, bersumber di Jogjareview.net, 27 Juli 2014.
2.      Cerpen yang terdapat pada buku “Satu Hari Bukan di Hari Minggu” karya Yetti A. KA. 2011. Gress Publishing.
3.      Terjemahan dari lagu “Dearest” yang dinyanyikan oleh Ayumi Hamasaki, dengan sedikit perubahan.
4.      Hormon yang bertanggung jawab memancing apa yang disebut para ilmuwan dengan ‘sepasang ikatan’.
5.      Anggrek yang bunganya kemerah-merahan.

NB: Sumber, Metro Riau, 28 Desember 2014. 
       ilustrasi dari Google
8:32 AM   Posted by Unknown in , , with No comments
Read More

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search