• Setiap Hari Adalah Kesempatan

    Setahun berisi 365 hari, setiap hari yang datang adalah hari baru, maka dalam setahun hiduopmu disuguhkan 365 kesempatan oleh Tuhan. Jangan menyerah, jangan berputus asa. Kegagalan hari ini adalah milik hari ini, esok hari adalah kesempatan bagimu untuk membuat perubahan. Lihatlah matahari, sekali waktu ia terbit tertutup awan, namun matahari tak pernah menyerah untuk te3rus terbit esok hari.
    Manfaatkan waktumu. gunakan kemampuanmu. Rayakan hidupmu. Tunjukkan pada dunia betapa besar arti dirimu bagi kehidupan #arulight.

  • Ketika aku merasa tidak bisa

    Ketika aku merasa tidak bisa, aku akan diam sejenak dan memeriksa: ya, aku memang tidak bisa. Lalu aku akan menarik nafas dan merenungkan. Lalu aku sadar, jika aku memang TIDAK BISA, mengapa tidak kugunting saja Tidak-nya sehingga yang tersisa hanyalah AKU BISA?
    Semua orang yang tidak bisa sebenarnya bisa Anda mereka cukup punya keinginan dan kesungguhan untuk membuang tidaknya #arulight.

  • Berpikir positif dan positif

    Kapanpun kau merasa letih dan muak pada dirimu, atau pada sekelilingmu, jangan terkecoh! Jika kau bisa berpikir negatif, kau juga bisa berpikir positif.
    Berpikir negatif hanya akan membuatmu letih dan tidak bergerak kemana-mana, berpikir positif membuatmu keuat dan sanggup mengambil langkah untuk membuat perubahan. Benua baru tidak akan pernah ditemukan jika para pelaut tidak berani meninggalkan pelabuhan menuju lautan #arulight.

Sunday, June 28, 2015



hai, hai ... berjumpa lagi di kelas menulis bersama saya, saudaranya Brad Pitt. Kali ini segmen teori menulis cerpen adalah tentang latar cerita atau setting. selamat belajar


“Lukisan latar itu harus natural, jangan dipaksakan.”
#Edi Akhiles, penulis dan pendiri #KampusFiksi



Pelataran cerita atau setting dapat Anda terangkan sendiri dengan sebebas-bebasnya. Suatu latar yang absurd yang digunakan lewat aliran surealisme pun sah-sah saja digunakan. Begitu pula latar imajiner seperti dalam dongeng-dongeng fantasi, tidak masalah, asalkan tetap alami dan logis.
Film layar lebar berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” pernah dikritik pedas dalam majalah Surah edisi ketiga tahun pertama oleh seorang penulis, salah satunya sebab menyangkut cacatnya setting. Di film yang bersetting zaman penjajahan dulu itu menampakkan produk snack dari garuda food—yang tentu saja produksinya belum ada pada zaman itu—demi kepentingan komersial. Di situlah terdapat ketidaklogisan setting. Ketidaklogisan ini disebut juga dengan istilah anakronisme.
Bedanya, anakronisme sah digunakan dalam fiksi asalkan dengan syarat itu merupakan bagian penting pada cerita. Sebagai contoh dari hal ini adalah serial animasi “Inuyasha”. Dalam serial itu terdapat ketidak-logisan waktu, yakni tokoh Kagome dari masa depan masuk dalam dunia feudal zaman dahulu. Ketidak-logisan ini tidak termasuk cacat, justru menjadi bagian pembangun pada cerita itu sendiri.
Setting mencakup tiga hal: tempat, waktu, dan keadaan sosial.
Menurut saya, setting yang baik adalah setting yang berperan dalam tiga hal, yakni: untuk melukiskan potret kehidupan, menghidupkan suasana, dan memberikan informasi terkait suatu tempat yang digunakan.

Setting Sebagai Potret Kehidupan Sosial
Setting yang baik adalah pelukisan latar yang berjalan secara beriringan antara tempat dan waktu. Maksud saya, latar tersebut tidak hanya memiliki detail fisik tempat saja, namun sekaligus menampakkan kehidupan sosial masyarakatnya. Tetralogy Buruh karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu contohnya. Novel tersebut bersetting pada zaman kolonial Belanda, yang tidak hanya bertumpuh pada lukisan tempat-tempat di Indonesia waktu dulu, melainkan melukiskan pula sosiohistoris pribumi serta fakta sejarah yang berkaitan dengan pemerintahan Belanda. Y.B. Mangunwijaya pun tidak kalah hebat dalam melukiskan potret sosial suatu lingkungan, sebagai contoh, silakan Anda simak kutipan novel berikut ini:

             Aku keluar rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali manggis dengan air seperti jenang soklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang yang sekotor itu ironis sekali diberi nama kali Bening. Di negeri ini, air yang begitu kotor penuh berak dan basil itu toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal seperti itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma apa bening dan kotor itu harus kita ukur?masih ada juga yang mencuci beras di selokan itu. Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun, membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa bola merka itu dicelup di dalam air; sambil omong-omong denga rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus halus. Yang putih dan halus rupa-rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor dan busuk. Apa artinya mandi bagi mereka? sering kadang keluar juga sepasang susu besar yang sama coklatnya dan diseka seolah mau melototnya. Bersih sudah. Sering tanpa sabun. Bangsa begini mau merdeka. Bah!
(“Burung-burung Manyar”, Y.B. Mangunwijaya)   

Pada contoh di atas jelas sekali setting tersebut dimanfaatkan penulis untuk menunjukkan sosio-cultural suatu masyarakat yang sering terjadi saat itu di tempat tersebut.
Memang relatif susah jika membuat setting seperti di atas, penulis harus mengenal baik lingkungan yang dipilihnya sebagai setting, sebab ini menunjukkan potret sosial kehidupan masyarakatnya pula. Penulis harus mendapatkan data-data secara akurat, bahkan mungkin sebuah riset perlu dilakukan untuk mendapatkan suatu informasi. Namun hasilnya hebat.

Setting Sebagai Penghidup Suasana
Keberhasilan lain penulis dalam menciptakan setting adalah sebab tempat atau waktu yang dilukiskan dapat menghidupkan imaji suasana, bukan hanya visual saja. Misalnya:

Jadi begitulah, Eriza, sebagaimana sering kau dengar dari mulut orang-orang, ketika bulan perlahan-lahan terbenam gumpalan awan hitam dan langit menjadi gulita, angin pun seketika mengendap, senyap merayap, dan nun entah dari arah mana, gema suara burung hantu yang sendu bagai menidurkan rerumputan dan perdu, sementara sisa cahaya purnama yang melekat di dedaunan perlahan sesap terhisap gelap. Lalu sunyi menambah resah ke hamparan sawah, dan suara-suara serangga berhenti seketika. Sampai kemudian tak ada lagi angin berdesir, dan segala suara diam tersihir bayangan pohon-pohon perlahan raib. Lesap. Malam menjelma kuburan tua yang menganga.
(“Kupu-kupu Kuning Kemilau”, Agus Noor)

Pada kutipan cerpen di atas, penulis mampu menghidupkan suasana sunyi yang mencekam dengan memanfaatkan waktu kejadian, yakni ketika bulan perlahan-lahan terbenam, suasana tempat tersebut mendadak mengalami perubahan pada tempat-tempat di sekitarnya hingga menjadi sunyi dan mencekam.

Setting Sebagai Penyampaian Informasi
                Setting di sini hanya berfungsi untuk menyuguhkan informasi kepada pembaca tentang suatu tempat beserta sesuatu yang berkaitan dengannya. Informasi yang disampaikan memiliki tujuan untuk membuat latar cerita seolah menjadi nyata dan alami. Sebagai contoh, mari kita simak paragraf di bawah ini:

Cafe des Amateurs tak ubahnya seperti kubangan kakus di salah satu bagian rue Mouffetard, yakni jalan pasar yang sempit dan sesak yang mengarah ke Place Contrescarpe. Di jalan itu ada sejumlah rumah apartemen kuno, yakni bangunan bertingkat dengan tangga samping dari semen yang di bangun miring seperti sepatu sehingga penghuninya tidak terpeleset. Kakus-kakus jongkok dari rumah-rumah apartemen itu dikuras pada malam hari dengan cara memompakannya ke tangki sebuah kereta besar yang diseret kuda. Jika musim panas, saat semua jendela rumah dibuka, orang bisa mendengar jelas suara pompa penguras kakus itu. Baunya, sungguh, sangat kuat menusuk hidung. Sementara itu, tangki-tangki yang berisi kotoran manusia itu dicat warna coklat dan safron. Saat sedang bekerja di rue Cardinal Lemoine, tangki-tangki silinder di atas kereta yang ditarik kuda ini tampak seperti lukisan braque.
(“A Moveable Feast”, Ernest Hemingway)

                Untuk menyuguhkan informasi pada setting cerita, Anda harus mendapatkan data-data yang berhubungan dengan tempat tersebut terlebih dulu. Browsing di internet adalah cara praktis dan murah untuk dilakukan.
                Jadi demikianlah, sebuah latar memang seolah terasa sepeleh, sebab yang paling penting adalah isi cerita. Namun jika diperhitungkan seperti apa yang saya sampaikan di atas, pelataran tersebut dapat memberikan daya tarik pada cerita yang akan Anda tulis. []
1:43 AM   Posted by Unknown in , , with 3 comments
Read More
ini dia cerpen beraliran ekspresionisme pertama saya, hasil uji coba yang menyenangkan. hasilnya, selain surealisme dan impresionisme, aliran ini pun masuk kategori dalam aliran menulis yang saya sukai. well, selamat membaca.



Rembulan Merah


“Aku ingin menikah denganmu,” ujar seorang lelaki, malam itu.  
Mendadak kafe terbuka yang mereka tempati menjadi taman bunga dan perempuan itu menari di sana, dihujani guguran kelopak bunga. Tak bisa ia tahan keluarnya rona merah di pipi, sekaligus titik air mata. Maka ia berdiri dari tempat duduknya dan memunggungi lekaki itu, berusaha menyembunyikan perasaan yang tak karuan dalam hatinya.
“Kau begitu cepat menyatakannya,” kata perempuan itu, setelah mendapatkan kembali kontrol dirinya. “Apa yang membuatmu yakin melakukannya?”
Lelaki di hadapannya diam sejenak, melempar pandang, lalu menjawab, “Aku memang ingin melakukannya denganmu.”
Musik jazz terdengar merdu dan suasana kafe begitu tenang malam itu. Adalah hal yang sangat romantis bagi seorang perempuan mendengar tawaran menikah dengan lelaki yang telah memikat hatinya.
Di atas meja, di antara gelas minuman mereka, tangan perempuan itu sedikit dijulurkan ke depan, berharap agar lelaki itu segera menyentuhnya. Namun, tangannya bagaikan sesosok makhluk yang kesepian—tak ada perhatian sedikit pun dari tangan lain dari seberang meja. Ia menatap wajah lelaki itu sedang memandang ke suatu tempat, sangat jauh tampaknya, entah di mana. Mendadak perempuan itu menjadi sedih, mengapa yang dilihat lelaki itu bukan wajahnya yang kini berada dekat dengannya. Dengan suatu cara absurd, ia mengerti, bahwa ada wajah perempuan lain di tempat yang jauh itu. Suatu cara yang ia sebut “naluri”.
Akhirnya tangan yang kesepian itu menarik gelas minuman sebagai tindakan pelarian. Perempuan itu menenggak minuman dengan kesal, di samping berusaha mencairkan tenggorokannya yang beku akibat suasana dingin muncul begitu saja tanpa diharapkan. Lalu ia bicara:
“Kau sudah kenal siapa aku, bukan?”
Kedua alis lelaki itu menjadi bergelombang ketika pertanyaan tersebut terlontar. Secara tak diinginkan, ia menjadi agak gugup dan bingung karena harus menemukan jawaban yang tepat dalam waktu yang cepat.
“Aku menyukai kepopuleran,” sergah perempuan itu, menghentikan kalimat si lelaki di pangkal lehernya sebelum berhasil menjadi suara.
“Lalu siapa dirimu?” sergahnya yang berikutnya, menikam tepat ke jantung lelaki itu.
Tak perlu bingung lagi mencari sebuah jawabanan. Tak perlu pula untuk dijawab. Sudah jelas siapa dirinya: Hanya pekerja biasa di perusahaan ayah si perempuan. Ingin sekali rasanya ia menggebrak meja dan menyiramkan minuman ke muka perempuan itu. Tapi ia sadar bahwa perbuatannya sendirilah yang telah mempermalukan dirinya.
Ah, bagaimana mungkin seorang lelaki bisa menjelma makhluk yang paling tolol sedunia? Meniduri anak bosnya adalah tindakan terbodoh yang pernah ia lakukan seumur hidup. Tetapi mempertanggungjawabkannya merupakan hal yang luar biasa lagi bodohnya. Ia tertawa kecut dalam hati dan memutuskan untuk tidak berkata apa-apa lagi kepada perempuan itu, sambil berusaha membujuk dirinya sendiri untuk menerima kenyataan bahwa sekarang ia menjadi pecundang yang sangat menggelikan.
“Aku mengerti. Maafkan aku,” ujar lelaki itu, lalu bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan kafe tersebut.
Bayangan bulan jatuh di atas permukaan anggur dalam gelas. Warna emasnya seperti cincin yang melingkari warna merah. Secuil wajah perempuan itu tercermin di sana. Ia mendesah. Bagaimana dirinya bisa mengucapkan hal yang paling tidak diinginkan? Betul-betul gila, batinnya. Ingatannya masih begitu hangat pada setiap intonasi bunyi yang keluar dari mulut lelaki ketika melamarnya. Menikah, oh, sungguh benar-benar hal yang sangat membahagiakan, meskipun hanya untuk didengar.
Ia teringat kembali pada kejadian beberapa malam lalu dengan lelaki tersebut. Kekecewaannya masih tersisa akibat tindakan yang tidak hormat dilakukan pada dirinya. Meskipun itu adalah kekhilafan dan dilakukan oleh seseorang yang dicintainya. Tapi terlalu munafik baginya apabila menolak perlakuan itu, hingga akhirnya ia memberikan seluruh tubuhnya untuk dinikmati.
“Pelayan, tolong berikan aku anggur lagi.”
Ia menuangkan anggur itu ke dalam gelas dan menghabiskannya dalam sekali tegukan. Lalu  memandang sendu garis horison antara laut dan langit. Tak akan ada penyesalan, tak akan pernah—gumamnya dalam hati. Namun tetap saja ia menangis,  sepanjang malam.[]

# Rumah_Lamongan, 25 Juli 2013

Sumber: Tabloid Ruang Rekontruksi, edisi Februari 2013 
gambar: google

1:20 AM   Posted by Unknown in , , , , with No comments
Read More

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search