Monday, March 16, 2015



Reading Society:
Sebuah Cara Membangun Kebudayaan Intelektualitas



Gerakan intelektualitas adalah awal suatu kebangkitan bangsa. Sejarah telah mencatatnya. Itu membuktikan bahwa kebudayaan berpengaruh dalam hal tersebut. Akan sangat membantu jika dalam suatu masyarakat terdapat kelompok yang mengamalkan gerakan tersebut. Jadi, kemajuan demi kemajuan dalam berbudaya dapat berkesinambungan dari masa ke masa. Otomatis secara lambat laun akan terbentuk masyarakat yang cerdas gemilang.
Terlepas dari argumen di atas, lalu beralih pandangan pada kebudayaan yang tumbuh di Indonesia; bagaimana taraf pendidikan di suatu daerah, sejauh apa kecerdasan mereka, tentu perlu diperhatikan.
Faktor yang paling berperan dalam perkembangan intelektualitas individu adalah keluarga dan lingkungan. Faktor itu pula yang sekaligus menjadi kemerosotan suatu nilai intelektual, bahkan dapat menyebabkan kebudayaan yang menyimpang. Jadi, keadaan lingkungan sangatlah berpengaruh.
Sebagai orang tua atau lingkungan terdekat individu diharuskan untuk mendidik individu dengan baik, serta mampu memberi contoh langsung dalam tindakan-tindakan setiap saat. Sedangkan untuk lingkungan luar, sekolah tentu menjadi tempat yang sangat membantu untuk menyerap pengetahuan dan pemahaman, sekaligus aktivitas bersosialisasi secara intelektual antar individu lainnya. Pertanyaannya adalah, sudah cukup baguskah standar pendidikan di lingkungan sekolah ini untuk mencetak calon cendekiawan? Semuanya kembali pada meteri ajar dan intensitas pemahaman siswa dan penerapannya di masyarakat.
Secara umum, hasil dari dua ligkungan di atas, yakni keluarga dan sekolah, dapat dijadikan sebagai bayangan yang muncul dari cermin kebudayaan masyarakat.
Namun masih terlalu picik jika dikatakan sekolah, orang tua, maupun masyarakat setempat sudah cukup untuk membuat kebudayaan intelektual di tempat tersebut hanya dari pandangan mereka akan pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, perkembangan akan menuntut pengetahuan-pengetahuan tentang segala macam aspek kehidupan. Untuk itu, tentu pengetahuan tentang dunia harus sering didapatkan. Dan membaca adalah alternatif bijak, sebab buku adalah sarana untuk berinteraksi antara individu dengan dunia. Maka, masyarakat aktif membaca atau reading society perlulah untuk dibentuk.
Sebagai salah satu perbandingan yang mencolok antara kemajuan negara satu dengan yang lainnya bisa dilihat dari aktifitas keseharian masyarakatnya, yakni membaca. Bahkan, ada suatu negara dengan masyarakatnya yang begitu bangun tidur, saat sarapan, atau berangkat kerja, sudah terbiasa dengan membaca. Membaca buku apa saja, terutama sekali novel. Mereka terbiasa dengan kegiatan membaca di mana pun mereka berada, bahkan di kereta api, bus, pesa­wat, taman-taman, dan semua tempat yang bisa diduduki dengan nyaman. Bandingkan dengan masyarakat kita saat ini!
 Untuk menciptakan reading society, melibatkan dua komponen utama, yakni orang tua dan peran pendidikan formal.
Orang tua, sebagai lingkungan terdekat individu harus memberi contoh sebagai orang yang aktif membaca. Orang tua atau dewasa harus memantau dan mengarahkan individu pada tujuan atau maksud dari buku yang dipelajarinya. Bagaimana seorang individu tiba-tiba bisa suka membaca jika sejak dini orang tua tidak menerapkan disiplin ini? Tentu jarang terjadi.
Di pendidikan formal, membaca perlu dijadikan sebagai mata pelajaran yang tetap, seharusnya. Suatu topik bacaan harus bisa dipahami dan diceritakan oleh siswa secara kesluruhan. Tujuannya adalah agar siswa menjadi terbiasa dengan membaca. Otomatis dengan kebiasaan ini, aktifitas untuk belajar pada mata pelajaran lainnya pun bisa mudah dilakukan sebab terbiasa membaca.
Di negara-negara maju, membaca sudah dari dulu memnjadi mata pelajaran pokok. Biasanya berbasis sastra. Di Inggris, misalnya, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak SD. Tujuannya untuk menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakatnya. Di Swedia, beragam spanduk dibentangkan di hari raya. Isinya kutipan dari karya-karya kesusastraan. Di Malaysia dan Jepang, warga usia sekolah diwajibkan membaca sedikitnya dua puluh lima karya sastra. Di indonesia sendiri, sejak jaman kolonial belanda, saat memasuki awal tingkat menengah atas, siswa diharuskan menamatkan membaca lima belas karya sastra yang semuanya dalam bahasa Inggris, Belanda dan Melayu. Di tingkatan kedua malah sampai tiga puluh karya sastra. Hanya saja setelah Indonesia merdeka, kebijakan itu dihapus dan difokuskan pada ilmu pengetahuan umum saja, dengan alasan agar dapat menciptakan pelajar yang terampil dalam suatu bidang untuk pembangunan Indonesia.
            Sedangkan, dari hasil yang didapat dari reading society adalah setelah terciptanya individu yang cerdas, akan timbul komunitas yang aktif membicarakan suatu permasalahan dalam bidang-bidang tertentu, progresifnya teraplikasikan kedalam tatanan kehidupan. Semakin luas jaringan itu terbentuk, kebodohan akan dengan mudah hilang dari masyarakat. Nah!

#Rumah_Lamongan, 16/04/2014

Sumber rujukan:
Nur, Arafat. 2012. Sastra dan Minat Baca yang Suram. Dalam Majalah Frasa edisi keempat, September 2012

T.H, Agung Yuli. 2013. Sastra: Sebuah Alternatif Untuk Pendidikan Karakter. Dalam Majalah Bong-Ang edisi kedua, Desember 2013

Widarmanto, Tjahjono. 2013. Masa Depan Sastra. Sidoarjo: Satukata Book@art Publisher
2:08 AM   Posted by Unknown in , , , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search