Friday, March 13, 2015



Sebuah Dongeng Tentang Perempuan Pendosa


            Rembulan perlahan tertelan oleh awan-awan hitam. Langit berubah suram. Suara serangga tak terdengar. Angin riuh seperti suara setan. Daun-daun pepohonan bergemerisik ketakutan. Segerombolan kelelawar terbang di atas bubungan—menjadi beliung yang membumbung ke langit, lalu pecah, berhamburan ke segala arah.
            Para lelaki bergerak menuju hutan. Masing-masing di tangannya menggenggam sabit dan parang. “Tidak ada tempat bagi pendosa! Tidak ada tempat bagi pendosa!” pekik mereka.
            Di depan gerombolan lelaki itu, seorang perempuan berlari dengan nafas tersengal-sengal. Darah segar mengalir di kakinya. Darah yang berasal dari liang rahimnya. Dengan menahan sakit di perutnya yang luar biasa, ia terus berlari, berlari menyelamatkan diri.
            “Tidak ada tempat bagi pendosa!” Para lelaki semakin menyusul perempuan itu.
            Lelah merajam diri, perempuan itu sudah tak sanggup lagi berlari. Ia berjalan dengan terlunta-lunta menyusuri tepi hutan. Ranting-ranting pepohonan seakan menjadi tangan-tangan  yang berusaha menghalangi jalannya. Dan ia terus menyibak ranting-ranting itu, berusaha membuka jalan yang baru: suatu tempat yang memberinya perlindungan—atau sekedar mengadu.
            Entah di mana ada tempat seperti seperti yang diharapkannya itu. dunia seolah menyempit, dan di manapun perempuan itu berpijak, ia selalu terjajah oleh para lelaki yang memburunya.
            Akhirnya, perempuan malang itu pun terjatuh.
            “Robek perutnya! Robek perutnya!” Para lelaki berhasil mengepungnya. Kilat berdenyar, memperjelas wajah mereka: penuh borok berlumur nanah. Mereka  memandangi perempuan itu dengan mata serigala. Salah seorang di antaranya maju, mengencinginya. Lalu yang lain datang, mengangkat parang.
            Dan sebuah jerit panjang membuncah, jerit sakit yang membelah angkasa.
***
            “Sudahlah,” kata seorang pemuda, “itu hanya mimpi belaka, Eriza.”
            “Tapi ini sudah yang ketiga kalinya,” kata Eriza. Ia bangkit dari duduknya dan memunggungi pemuda tersebut. Cahaya bulan yang keemasan jatuh di wajahnya. Sambil menatap benda langit itu, ia teringat pada kakeknya, lelaki tua yang tinggal di desa di mana sekarang ia kunjungi. Kepada Kakek ia merasakan kasih sayang. Sebuah perlakuan yang tidak ia dapatkan dari ayahnya sendiri. Mungkin Kakek dapat membantu menghilangkan ketakutannya—setelah ia menceritakan mimpi yang ia alami. Atau justru ia akan semakin ketakutan. Kakek sering menceritakan sebuah dongeng kepada Eriza setiap kali berkunjung ke rumahnya. Sebuah dongeng tentang perempuan pendosa. Ada kerisauan di benak Eriza setiap kali mendengar cerita itu, bukan karena isi ceritanya, tetapi karena Kakek seolah menyimpan kepedihan yang teramat  dalam setelah bercerita. Entah kenapa.
            Lamunan Eriza segera sirna setelah tangan pemuda itu tiba-tiba berada pada bahunya. Eriza menoleh dan menatapnya. Dalam. Pemuda itu memiliki sorot mata yang hampir sama dengan Kakek. Mungkin karena itulah sebabnya, setiap kali menatapnya, Eriza merasa sesuatu yang… entah kenapa.
            “Sudahlah, semua akan baik-baik saja,” kata pemuda tersebut.
            “Menurutmu, mengapa perempuan dalam mimpiku itu harus dibunuh?” tanya Eriza. Lelaki itu hanya diam menatapnya dengan pandangan yang tak dapat ia mengerti. “Ah, sejak awal kau memang tak…”
            Eriza tak  dapat meneruskan perkataannya. Bibirnya telah sibuk dikulum pemuda itu. Perlahan, satu persatu kancing bajunya di buka. Gadis itu hanya membiarkannya saja.
            Di celah-celah ranting pepohonan, rembulan mengintip mereka di tepian hutan.
***
            Setiap  petang menjelang, para penduduk dukuh geragapan mengunci pintu dan jendela rumah. Malam berubah menjadi kuburan. Seluruh keluarga menggerombol di ruang tengah. Anak-anak meringkuk dalam sarung bapaknya. Para perempuan bersandar pada bahu lelakinya. Para lelaki hanya diam, diam memendam tulah yang menggelisahkan. Sementara para ibu gemetaran mengulang-ulang doa tolak bala. “Pergilah kau, Pendosa, pergilah jauh-jauh…” Saat itulah, saat ketika kesunyian terasa sangat panjang dan menggelisahkan, sayup-sayup terdengar suara rebab dari kejauhan. Suaranya menyayat-nyayat, setiap gesekannya seolah mengiris-iris orang yang sekarat. Di luar sanalah, sesosok bayangan tertatih-tatih keluar dari kelimut kabut. Seakan begitu saja muncul dari ketiadaan. Dengan terseok-seok, dia menyeret rebab. Rambutnya hitam panjang tergerai berantakan, sesekali berkibaran sama seperti selendang di lehernya. Ujung gaunnya hitam, penuh bercak lumpur.1)
            Di perbatasan dukuh, sosok itu akan berhenti. Lantas bersimpuh, lalu bersandar pada sebatang kayu. Sesudah itu ia akan menengadah ke langit. Menunjukkan liang matanya yang hitam. Tak ada isinya. Seseorang telah mencongkel biji matanya. Sebab ia pendosa. Sebab ia berzinah.
            “Begitulah, Eriza,” ujar Kakek, “apakah Kakek membosankan karena sering kali menceritakan dongeng ini padamu?” Eriza menggeleng-geleng. “Aku hanya ingin kau mengambil pelajaran dari kisah tadi.”
            Dan seperti sebelumnya, wajah kakek pun murung. Entah mengapa.
            Itu hanyalah dongeng, batin Eriza. Perlahan ia meraba perutnya, sesuatu tengah menggeliat di dalamnya. Sebuah kehidupan. Ataukah kutukan?
            Dari luar rumah, samar-samar terdengar bisik-bisik tetangga, “mereka benar-benar mirip.” Eriza mengernyit, lalu ia menoleh pada Kakeknya. Lelaki tua itu dalam keadaan hampa.
            Malam mulai larut, mereka pun memasuki kamarnya masing-masing. Tidur.
            “Bruakk..!!” Tiba-tiba saja, gebyok2) kamar Eriza porak-poranda. Wajah-wajah penuh borok bernanah menerjang masuk dalam kamar Eriza dan mengepung ranjangnya. “Tak ada tempat bagi pendosa! Tak ada tempat bagi pendosa!”
            Gadis itu terperanjat. Nafasnya megap-megap. Keringat mengalir deras dari pelipisnya. “Hanya mimpi, hanya mimpi,” gumamnya, gemetaran. Ia keluar dari kamar, menuju ke teras rumah. Tengah malam itu, ia menengadah, memandang bulan dengan sinar kuning keemasan. Warna yang sama dengan sorot cahaya yang keluar dari mata perempuan dalam dongeng Kakek.
            Adakah rembulan menyimpan banyak rahasia? pikir Eriza. pastinya rembulan itu tahu semuanya, tentang rahasia yang dimiliki oleh perempuan itu. Ya, bukankah perempuan itu sering menengada jikalau malam tiba? Saat itulah ia bercerita, bercerita tentang semuanya lewat kupu-kupu yang keluar dari lubang matanya, yang sekaligus mengeluarkan cahaya keemasan dan menyorot ke langit.  Sorot cahaya itu kemudian menjadi jalan bagi kupu-kupu untuk sampai pada  rembulan. Kepadanyalah makhluk-makhluk bersayap itu menyampaikan rahasia perempuan tersebut. Ya, rembulan. Sebab, kadang seseorang menghilang ketika ia dibutuhkan, seperti kekasihnya. Tapi tidak dengan rembulan, Ia akan selalu ada untuk siapa saja dan dengan sabar mendengarkan kisah seseorang yang dimabuk gulana sepanjang malam. Dan, Eriza bertanya, apakah rembulan akan berkenan menceritakan rahasia hidup perempuan malang itu? Ah, mengapa berharap demikian, bukankah itu hanyalah dongeng?
            Tapi keesokan harinya, Kakek telah menceritakan bagian yang lebih awal dari dongeng tentang perempuan tersebut.
            Penduduk dukuh telah merajam perempuan itu, sebab ia berzinah. Ia diseret di tengah lapangan. Dipukuli. Dijambak-jambak rambutnya. Dicakar mukanya. Namun ia tetap bungkam bilamana mereka bertanya siapa lelaki yang telah berbuat nista dengannya. Ia lebih memilih dirajam ketimbang harus mengatakan siapa lelaki tersebut, lelaki pengecut yang tengah bersembunyi ketika ia disiksa. Perutnya yang buncit ditendang. Ia mengerang kesakitan. Lalu penduduk melemparinya  batu. Mukanya tak lagi ayu, darah melumuri wajahnya hingga semua orang tak lagi dapat mengenal ia siapa. Setelah itu, seseorang datang dengan sebilah pisau lalu mencongkel kedua bola matanya. Tak ada pemakaman. Setelah mati, mayatnya dibuang begitu saja di hutan.
            Hingga pada suatu malam, ketika penduduk keluar rumah, sertiap muka mereka dipenuhi borok berlumur nanah. “Kutukan, ini kutukan!” kata mereka satu sama lain dan meyakini bahwa semua itu disebabkan oleh perempuan pendosa itu. Maka, mereka pun kembali ke hutan, mencari mayat perempuan itu. Dia harus dibakar, lalu abunya ditaburkan pada borok mereka agar kutukan tersebut hilang. Namun, mayat perempuan itu hilang.
***
            “Kau mau pergi?” tanya Eriza pada seorang lelaki, pemuda dukuh itu.
            “Aku ada urusan,” katanya, sambil mengancingkan baju.
            Eriza menarik pakaiannya yang tertanggal di tanah dan menutupkannya ke dada. “Kau pergi begitu saja setelah apa yang kita lakukan? Baru tiga puluh menit kita bertemu, kau langsung menyetubuhiku dan setelah itu kau tinggalkan aku sendirian begitu saja?” ia mendesah.
            Lelaki itu mengecupnya. “Lain waktu aku akan jadi milikmu sepuasnya. Aku janji.”
            Eriza menarik lengannya. “Aku kangen kamu…”
            Ia melepaskan tangan Eriza. Berlalu. Eriza membeku.
            Ah, betapa lelaki memang selalu mengutamakan kemauannya sendiri. Tetapi, bagaimana bisa seorang perempuan masih tetap mencintainya?
            Senja mulai terbenam. Eriza berjalan pulang sendirian. Dalam hatinya berkata, ia takkan kembali ke dukuh itu dalam waktu yang lama. Setidaknya sampai lelaki itu membutuhkannya.
            Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu. Empat, lima, enam, tujuh. Tujuh minggu hingga tujuh bulan berlalu dan lelaki itu tak menghubunginya. Eriza direndam dilema. Perutnya sudah seukuran bola basket. Sang Ayah kecewa, tak mau bicara lagi padanya. Ingin ia kembali pada Kakek, mungkin pada lelaki tua itu ia akan merasa bebannya berkurang. Tapi, alangkah sedihnya ia jika seandainya mengetahui cucunya hamil tanpa seorang ayah. Lelaki tua itu selalu mewanti-wantinya3), tetapi Eriza tetap melanggarnya juga. Tidak ada tempat bagi Eriza. Tidak ada tempat.
            Sayangnya, berita tentang Eriza telah sampai ke telinga Kakek. Dengan cepat menyebar pula ke penduduk dukuh di sana. Sayangnya lagi berita itu terdengar ketika Kakek sedang sakit parah. Entah dari siapa berita itu tersebar. Mengetahui kondisi Kakek, Eriza bergegas menjenguknya.
            Sampai di sana, rumah Kakek tengah dirubung banyak orang. Semuanya perempuan berbaju hitam. Eriza heran, separuh ketakutan. Semua mata menyorotinya ketika ia memasuki rumah itu. Dia melangkah dengan ragu-ragu melewati orang-orang satu persatu hingga ia memasuki kamar Kakek. Lelaki tua itu dijaga oleh kedua bibi Eriza.
            “Kenapa kamu ke sini?” kata salah satu bibinya, tatapannya ganjil—terlihat seperti bertanya, membenci, dan khawatir.
            “Aku… aku hanya ingin melihat Kakek.”
            Sang Kakek menoleh ke Eriza. Tangannya menunjuk cucunya. Seolah tercekik, ia tersiksa ketika hendak mengucapkan sepatah kata. Setengah berlari, Eriza lalu meraih tangannya. Namun, lelaki tua itu menarik tangannya dari genggaman Eriza. “Pergi!” kata Kakek.
            Eriza tersentak. Sedih. Heran. Dan tak mengerti. Telunjuk kakek teracung keluar, mukanya memerah seolah mengumpulkan sekuat tenaga dan ingin mengulang kata yang sama. Tapi ia tak sanggup, diserang  batuk-batuk. Kakek semakin tersiksa oleh keadannya. Tubuhnya mulai mengejang. Eriza semakin ketakutan. Pandangannya mulai kabur oleh air mata yang hampir tumpah. Begitulah, ia memandang tubuh Kakek kesayangannya tak lagi bergerak. Lalu seisi ruangan menjadi gelap.
***
            Eriza merasakan tubuhnya yang berbaring bergerak, seperti di dalam kereta yang melaju. Sayup-sayup, terdengar kerumunan orang berbicara. Matanya mulai terbuka, merayapi seisi ruangan. Masih gelap, pikirnya. Sejurus kemudian, ia terperanjat. Tempat apa ini? Ia mulai meraba sisi-sisi ruangan itu dengan ketakutan.
            “Keluarkan aku dari sini!” teriaknya.
            “Dia sudah sadar, dia sudah sadar,” ujar kerumunan orang dari luar. “Ayo, cepat, cepat! Nanti keburu malam.” Ruangan yang Eriza tempati bergerak lebih cepat. Gadis itu merontah-rontah. Ia tak mengerti, mengapa ia berada di dalam keranda? Apa yang akan orang-orang itu lakukan terhadapnya?
            “Berhenti! Apa yang akan kalian perbuat terhadapku?!”
            Tanpa peduli jeritan Eriza, mereka tetap menggotong keranda itu—entah ke mana.
            Eriza memberontak. Pintu keranda yang diikat terlepas, ia bangkit dan meloncat keluar, terjatuh di antara semak-semak di tepi bukit. Di sana, ia melihat para lelaki yang membawanya. Jumlahnya puluhan. Di tangannya membawa sabit dan parang.
            “Ayo cepat tangkap dia! Tangkap!”
            Sekumpulan lelaki itu segera mengepungnya. Eriza tersudut hingga ke tepi bukit. Hanya ada satu jalan untuk kabur, namun ia takut. Antara mati atau hidup, lembah di bawah itu adalah jawabannya. Tak ada waktu. Dan ia segera memerosokkan diri menuju ke dasar lembah.
            Jari-jari tangannya berdarah-darah mencakar dinding bukit, menahan dirinya agar tidak terlalu keras sewaktu jatuh ke dasar lembah. Tubuhnya berguling-guling sebelum mencapai dasarnya. Enggan untuk bangkit, ia merasakan nyeri dan perih menjalari sekujur tubuhnya. Tangan, kaki, dan mukanya barut-barut.
            “Ayo tangkap, tangkap!” Para lelaki berlari memutari bukit—menuju Eriza. Gadis itu berupaya bangkit. Ia harus segera meloloskan diri. Harus. Sekilas terbesit dalam benaknya tentang Kakek. Lelaki tua itu tidaklah mengusirnya, melainkan memperingatkannya untuk menyelamatkan diri. Tapi, mengapa ia harus pergi dari dukuh ini? Mengapa para lelaki itu memiliki keinginan yang buruk terhadapnya? Apa salahnya?
            “Itu dia,” seru salah seorang kepada yang lainnya. “Jangan biarkan Pendosa itu kabur!”
            Pendosa. Mengapa mereka menyebut Eriza demikian. Apa karena ia telah berzinah dengan penduduk dukuh tersebut? Tapi bukankah tidak ada pihak yang ia rugikan?
            Eriza berlari jumpalitan. Tersandung batu, terinjak duri—tidak ia hiraukan. Lari dan terus berlari menuju hutan, menyingkapi ranting-ranting pohon-pohon yang malang-melintang.
            Bukan hanya untuk bersembunyi, ia berlari ke hutan, melainkan ada seseorang yang ingin ia cari—meskipun itu hanyalah sebuah harapan kosong. Barangkali ia tengah berada di sana, si pemuda dukuh itu, di salah satu sudut-sudut hutan tempat di mana ia memberikan kenyamanan pada Eriza. Mungkin padanya ia akan mendapatkan perlindungan—atau sekedar mengadu. Mungkin padanya pula pertanyaan tentang apa yang menimpa Eriza dapat terkuak. Dia terus memikirkan hal itu di antara ketakutan dan kegelisahannya.
            Tapi, bagaimana jika pemuda itu tidak berada di sana?
            Senja ditelan petang. Berjam-jam sekumpulan lelaki itu memburu Eriza di hutan. Seseuatu yang aneh telah mengubah mereka.
            Layaknya serdadu, sepanjang jalan mereka menyeruhkan dengan lantang sebuah kalimat yang seolah menjadi yell-yell, sembari mengangkat sabit atau parang yang mereka bawa. “Tak ada tempat bagi pendosa! Tak ada tempat bagi pendosa!”
            Rembulan perlahan tertelan oleh awan-awan hitam. Langit berubah suram. Suara serangga tak terdengar. Angin riuh seperti suara setan. Daun-daun pepohonan bergemerisik ketakutan. Segerombolan kelelawar terbang di atas bubungan, seperti beliung yang membumbung ke langit, lalu pecah, berhamburan ke segala arah.
            Eriza belum juga menemukan ‘tempat bernaungnya’—si pemuda itu. Kakinya tak sanggup lagi berlari. Ia berjalan dengan terlunta-lunta menyusuri hutan. Darah tumpah, merambati kakinya. Darah yang keluar dari liang rahim. Ranting-ranting pepohonan semakin keras menghalangi, tapi ia terus berjuang menembusnya—berusaha membuka jalan yang baru; suatu tempat yang memberinya perlindungan atau sekedar mengadu. Dan di manakah pemuda itu? Di manakah dia, lelaki yang selalu berjanji akan selalu ada untuknya? Eriza terus berlari. Berlari dan berlari sembari memanggil-manggil namanya dengan putus asah.
            Eriza yang malang. Eriza yang sendu.  Gadis cantik itu pun terjatuh. Menangis tersedu-sedu. Pemuda harapannya tidak ditemukan. Tak ada sisa tenaga lagi untuk bangkit. Dia menggelinjang, perutnya kesakitan.
            Samar-samar, ia mendengar derap kaki yang semakin dekat padanya, hingga para pemilik kaki-kaki itu mengelilinginya. “Tak ada tempat bagi pendosa! Tak ada tempat bagi pendosa!” Cahaya kilat berdenyar, menyoroti wajah mereka; penuh borok dan nanah. Tatapan matanya seperti serigala.
            “Robek perutnya! Robek perutnya!”
            Salah satu di antaranya maju, mengencinginya. Lalu yang lain datang, mengangkat parang.
            Tidak! Pekik Eriza dalam hati. Bayi dalam perutnya adalah peninggalan dari pemuda itu, seseorang yang sangat ia cintai. Ia tidak boleh mati. Tidak!
            Perlahan waktu mulai membeku. Suara-suara keributan meredam. Semuanya seperti dalam mimpinya. Barangkali mimpi itu terulang kembali. Dan kini ia benar-benar dapat mengenali wajah perempuan yang dalam mimpinya. Wajah yang basah oleh air kencing dan air mata. Wajah yang begitu mirip dengan dirinya. Dalam benaknya ia bertanya, mungkinkah saat ini hanyalah mimpi? Ya, barangkali Eriza bermimpi lagi.
***
            Beberapa hari hingga beberapa tahun kemudian, tak ada lagi penyakit borok bernanah yang menghinggapi setiap penduduk dukuh apabila berada di luar rumah pada malam hari. Semua itu hanya dongeng untuk menakuti-nakuti anak nakal. Namun tetap saja malam masih menjelma kuburan. Seluruh keluarga menggerombol di ruang tengah. Para bapak mendekap erat tubuh anak-anaknya. Para istri bersandar pada bahu lelakinya. Para lelaki hanya diam. Diam memendam gelisah yang mencekam. Sementara para ibu gemetaran mengulang-ulang doa pengusir setan.
            Setiap kali ada anak yang berada di luar rumah ketika malam menjelang, maka keesokan  paginya tidak akan lagi tampak batang hidungnya. Konon, saat itu, seorang perempuan jelita selalu datang mengitari dukuh sembari menyanyikan sebuah lagu penidur yang menuntun para anak-anak untuk mengikutinya masuk ke dalam hutan. []

                                                                                                #Lamongan, 13 Mei 2013
_______________________________
1)       Mengambil bagian cerita dalam cerpen “Kupu-kupu Kuning Kemilau” karya Agus Noor. Cerpen tersebut pula. yang sekaligus menjadi inspirasi cerpen ini.
2)       Dinding rumah dengan bahan lapisan kayu yang tipis.
3)       Berasal dari kata “wanti” (jawa): memperingatkan.


3:52 AM   Posted by Unknown in , , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search