Wednesday, December 30, 2015

Beraliran surealisme, cerpen ini adalah cerpen buatanku yang paling aku sukai. telah termuat di jogjareview.net 19 )ktober 2014 silam. ( http://jogjareview.net/fiksi/bulan-oh-bulan/ ) well, check it out:


Cerpen Agung Yuli TH*


Bulan, Oh Bulan...



Satu: Padang Bulan di Lapangan Kampung

Malam yang gempita. Di tengah lapangan, anak-anak kampung berkumpul. Mereka melempari bulan yang termangu di langit. BLUG...! benda bulat itu pun jatuh, seukuran bola sepak, menggelinding ke tanah dan langsung diserbu puluhan kaki, menggiringnya ke kiri dan ke kanan, menendangnya ke arah gawang. GOL...! sorak sebagian mereka. Lalu giring lagi dan lagi, tendang ke sana kemari. Bulan menjadi bulan-bulanan.
PRAAANG!! Terdengar kaca jendela pecah. Sebuah tendangan meluncurkan bulan masuk ke dalam kamar rumah yang telah lama kosong. Ruangan yang tiap malam gelap itu kini menjadi terang benderang. Konon rumah itu milik seorang pejabat daerah yang disita pemerintah.
Anak-anak bergegas menghampiri rumah itu untuk mengambil bulan mereka. Dan betapa terkejutnya atas apa yang mereka dapatkan: pasangan mesum sedang asyik-masyuk dalam kamar rumah tersebut. Gerombolan anak-anak itu berteriak. “Itu Presiden! Itu Presiden!”
Orang-orang yang mendengarnya langsung mengepung lokasi kejadian. Secara kebetulan ada seorang wartawan di yang hadir di sana dan tanpa ampun menjepret-jepretkan kameranya pada sepasang tubuh telanjang itu. Penduduk  semakin banyak yang berdatangan. Rumah tersebut seakan mau pecah saja.
Di tengah kehebohan malam itu, salah satu bocah sedang sibuk merangkak dan  menyelusupi kaki orang-orang dalam kamar rumah tersebut untuk mencari bulan. Ia hanya peduli pada benda angkasa itu agar segera bisa main sepak bulan kembali. Namun keinginannya tak dapat terpenuhi. Tak akan ada lagi permainan yang namanya sepak bulan. Bulan yang ia temukan telah pecah terbelah. Hanya separuh belahan ia dapatkan. Karena kasihan, anak itu melepaskan bulan untuk kembali ke langit.
Tapi, di mana lagi separuh belahan bulan?

Dua: Bulan Biru di Ambang Jendela Kamar Hotel

Kamar 217. Dari ambang jendela, seorang penyair telah lama memandangi bulan dalam kamarnya yang hening. Tanggal 5 Maret ini bulan berubah warna menjadi biru, membuat penyair itu merasakan sesuatu yang membuatnya terpaku, entah apa itu, ia tak dapat menjelaskannya. Namun, waktu itu ia teringat pada seorang gadis yang menyukai warna biru.
Secarik kertas tertoreh. Dan sebuah puisi pun tercipta:
Angin termangu di pohon asam. Bulan tertusuk lalang. Tapi malam yang penuh belas kasihan menerima semesta bayang-bayang. Dengan mesra menidurkannya dalam ranjang-ranjang nyanyian.1
Di kamar 227. Seorang anak perempuan pun sedang menatap bulan. Ia meraba kaca jendela kamar hotel, seolah bulanlah yang sedang dielus-elus. “Ibu... Ibu...,” gumamnya. Garis-garis luka melekat di tangannya, bekas pukulan dari sang ayah. Ia membenci lelaki itu, terlebih saat dirinya datang dengan membawakan ibu baru. Dan selalu, esok gonta-ganti ibu yang lain lagi. Sebelum tidur, anak itu sering berdoa agar esok pagi pintu kamar hotelnya tak pernah dibuka lagi oleh ayahnya. Ia harap sebuah truk tronton telah melindas rata tubuhnya. Namun kini ia sangsi akan keberadaan Tuhan, sebab doanya tak pernah dikabulkan.
Anak itu hanya menginginkan ibu yang lama, yang wajahnya mirip bulan. Kata pelayan kamar hotel, orang yang selalu baik kepadanya, ibunya kini telah berada di bulan. Gadis itu tak pernah mengerti mengapa ibunya berada di sana, tapi yang pasti ia ingin sekali menyusulnya ke bulan.

Tiga: Bulan Dalam Foto Hitam-putih 

Sebuah foto dikeluarkan dari dalam saku jas oleh seseorang. Wajah bulan tertera di dalamnya.
“Ini sasaran kita. Lakukan tugasmu dengan benar. Ia harus mati malam ini juga!”
“Baik, Pak.”
TIT!! Sebuah tombol ditekan. WUUUSSH...!! sebuah roket melesat ke angkasa. Lalu, DUAR... WAR...WAR...!! Bulan meledak seketika. Hujan debu turun dari angkasa.
Lembar foto itu dibiarkan jatuh ke tanah. Warnanya berubah menjadi hitam-putih.
“Sekarang kau hanya tinggal kenangan, bulan!”
Nun jauh di sana, terdengar jeritan anak perempuan melengking dari arah hotel, tak lama setelah kejadian itu.
“Ibu...!! Ibu...!!”

Empat: Bulan Dalam Berita

Musim berjalan tak karuan. Suhu udara berubah dengan brutal. Kemarau dan penghujan tak bisa ditebak arahnya. Lahan-lahan pertanian mati. Di laut, gelombang air pasang dan surut jadi tak teratur. Para nelayan kesusahan mencari nafkah. Di hutan, banyak populasi binatang nelangsa; habitat mereka jadi tak senyaman biasanya. Sebagian kelompok binatang mati, sebagian yang lain mempertarukan hidupnya sebagai obyek buruan manusia ketika kelompok binatang itu memutuskan untuk berkelana masuk ke desa, bahkan ke kota, untuk mencari kehidupan baru. Dalam sehari waktu berjalan enam jam lebih cepat dari biasanya, disebabkan rotasi bumi yang semakin cepat berputar tanpa adanya daya tarik gravitasi bulan. Bila malam tiba suasana jadi sangat mencekam. Tak ada lagi cahaya di langit. Bulan telah mati.
Para Ulama berbondong-bondong bersama pengikutnya menggelar acara istighotsah bersama. Para pemuka agama yang lain pun melakukan ritual keagamaannya masing-masing guna meminta ampun pada Yang Maha Kuasa atas tindakan para manusia karena sudah terlampau sering menzalimi bulan: menjadikannya bola sepak, memfitnahnya dengan mengatakan serupa wajah pacarnya, dilempari batu, dan lain sebagainya.
“Bukankah bulan adalah ciptaan Tuhan? Bisa-bisanya manusia bertindak seenak Setan? Dan sekarang malah ada orang sinting yang menghancurkan bulan. Ini betul-betul zaman edan! Kiamat akan segera datang.  Astaghfirullah... Astaghfirullah...!”
Di berbagai media, lembaga-lembaga maupun di jalanan, bulan tak henti-hentinya dijadikan topik pembicaraan. Para aktifis mahasiswa berunjuk rasa agar pemerintah segera bertindak tegas untuk segera menemukan pelaku penghancuran bulan beserta dalangnya. Badan kepolisian dan inteligent negara telah menyebar ke penjuru negeri. Gerakan-gerakan Islam Bawah Tanah2 ‘digali-gali’. Orang-orang Islam yang tak bersalah pun ikut dicurigai, sebagian bahkan disiksa setengah mati.
Maka membaralah kebencian orang-orang Islam yang lain sebab pemerintah telah menzalimi sesama saudaranya. Sedangkan golongan Islam Bawah Tanah yang merasa telah difitnah, melakukan aksi yang menjadi-jadi: gedung-gedung pemerintah diledakkan. Bumi Indonesia menjadi gonjang-ganjing. Para aktifis mahasiswa berkoar-koar dengan tema baru lagi.
Berbeda dengan respon sosial yang terjadi di Indonesia, di negara lain meskipun banyak yang simpatis dengan nasib kehidupan di bumi yang merana sebab ditinggal mati bulan, salah satu dari negara lain di belahan timur bumi justru senang dengan kematian benda angkasa itu. Pemuka negara tersebut berpendapat bahwa daya tarik dari gravitasi bulan membuat posisi bumi agak miring terhadap matahari sehingga menyebabkan musim yang kurang baik bagi wilayah negaranya dan musim yang bagus di negara-negara belahan barat.
"Siapa yang butuh bulan? Bulan mempengaruhi pasang-surut, menerangi langit di malam hari, dan para penyair tampaknya menyukai bulan, tapi kita tidak benar-benar membutuhkan bulan."3
Pendapat di atas ternyata memperoleh respon positif dari beberapa negara tetangganya.

Lima: Remang Cahaya Bulan dalam Bola Lampu di Sebuah Kamar Hotel

            Seorang lelaki paruh baya bersama perempuan muda memesan sebuah kamar hotel usai berkunjung dari suatu tempat. Kamar nomor 57.
Si perempuan tengah mabuk tingkat kayangan, tubuhnya  dilemparkan begitu saja di ranjang oleh si lelaki setelah sampai di kamar. Lampu pijar di sampingnya dinyalakan. Sorot cahanya yang remang menghangatkan ranjang. Perempuan itu terpaku menatap lampu itu.
            “Apakah yang bersinar di dalam sekat kain itu adalah bulan?”
            “Kamu ini ada-ada saja, Sayang. Mana mungkin itu terjadi.”
            “Aku sangat merindukannya.”
            “Kenapa tidak merindukan aku saja? Tolol jika merindukan benda yang sudah mati itu.”
            “Semua ini gara-gara Presiden yang telah menghancurkannya.”
Ngaco kamu.”
“Dia sendiri yang bilang padaku. Aku sangat dekat dengannya, lebih dari siapapun di dunia ini.”
“Hahaha, bau alkohol masih segar di mulutmu, Sayang.”
“Aku lebih dekat dengannya dibanding dirimu.”
“Ha?! Jangan bilang kamu adalah mahasiswi yang tidur dengan Presiden di sebuah rumah sitaan itu.”
“He’em, mereka membayarku tinggi untuknya.”
“Jadi karena bulan telah menyebabkan tindakan asusilanya denganmu diketahui publik, maka sebab itulah ia menghancurkannya? Kurang ajar, akan kubunuh dia.”
“Sudahlah, kamu hanya mencari perkara saja.”
“Dengar baik-baik, aku ingin sekali membunuhnya bukan cuma soal persaingan politik, tapi karena bajingan itu telah mengencanimu!”

Enam: Bulan yang Sedang Tertidur dalam Koper

            Keesokan harinya, seseorang berjaket hitam masuk dalam kamar hotel nomor 57. Orang tersebut menenteng kopor besar. Si penghuni kamar itu telah menyambut kedatangannya. Di sana, kopor itu dibuka.
“Bulan?! Bagaimana bisa kamu mendapatkannya?”
“Hahaha...! Itu tidak penting, Bos, yang pasti ini akan membantu rencana kita.”
“Ssst! Pelankan suaramu, Bego! Nanti dia bangun. Jangan sampai nanti dia merengek dan menarik perhatian kamar sebelah.”
“Ini kan siang, Bos. Mana mungkin dia bisa bangun?”
“Nggak usah protes! Jelaskan saja apa rencanamu.”
“Begini, Bos, setelah kita membunuh Presiden seperti yang kita rencanakan dahulu, setelah itu kita lepaskan kembali separuh bulan ini ke langit. Ya, ini akan memberikan kejayaan bagi kita?”
“Wah, pintar sekali kamu. Hahaha... !”
 “Ssst! pelankan suaramu, Bos.”

Tujuh: Bulan yang Menjadi Hantu

“Hallo...?”
“Lapor, Pak. Semua kecurigaan masyarakat kini mengarah pada kita, Pak! Apa yang harus....”
TIT!
Ponsel Presiden dilemparkan ke jalanan. Dia berjalan menyusuri trotoar tanpa adanya pengawal. Dasi dan jas yang dikenakannya dilepas lalu dimasukkan ke tong sampah. Ia hanya ingin sendiri. Di bawah langit yang tanpa bulan, kota seakan telah lama mati. Tubuh orang-orang tuna wisma yang tertidur di pinggir-pinggir jalan tampak seperti batang mayat. Barangkali bila dirinya mati di jalanan, mungkin tak akan ada orang yang peduli terhadap jasadnya. Ya, dia benar-benar berpikir demikian. Apa yang harus dihormati terhadap seorang pemimpin yang gemar berzina dan menghancurkan  bulan? Bisa jadi jazadnya akan dibungkus dengan karung, lalu dilemparkan ke kali yang penuh sampah.
Sang Presiden terus berjalan tanpa tujuan. Hampir sepanjang usia ia tinggal di kota itu, tapi baru sekarang ia merasa begitu sendiri. Asing. Dan hampa. Ia tatap langit. Sungguh begitu pekat. Di sana ia membayangkan wajah almarhumah istrinya, wanita yang selalu membuatnya tenang; wanita yang mirip dengan bulan. Dan ia begitu gusar ketika malam itu perzinaannya diketahui bulan. Tiba-tiba saja dirinya merasa menyesal. Kini bulan terlanjur ia musnahkan. Ia kembali berjalan, berjalan dan berjalan. Sebuah sorot cahaya keemasan muncul dari kegelapan. Tubuh lelaki itu termandikan olehnya. Ia tersenyum dan menggumam, “Bulan, maafkan aku, bulan...” cahaya itu semakin dekat dan dekat, lalu... CRAASSH!! Tubuh sang Presiden hampir rata dengan aspal jalanan, terlindas truk tronton. Ia terkapar sambil memandang langit yang pekat. Sekilas waktu membeku, mendinginkan sekujur tubuhnya. Beberapa detik kemudian, langit yang kelam itu seakan jatuh menimpahnya. Hitam.
Dari tempat yang jauh, anak perempuan di kamar hotel 227 tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya. Entah karena apa.

Delapan: Bulan yang Bangun dari Tidurnya

            Dua orang turun dari truk tronton. Salah satunya menenteng sebuah koper.
            “Cepat keluarkan dia dari dalam koper!”
            “Oke, Bos.”
            Semburat cahaya keemasan menyeruak dari dalam koper. Bulan telah bangun dari lelapnya. Tubuhnya yang tinggal separuh melambung tinggi. Langit kembali bercahaya. Orang-orang bergegas keluar rumah dan bersorak-sorak menyaksikan bulan. Malam menjadi pesta-pora seolah bulan yang baru telah lahir ke dunia.
            “Rencana kita sukses. Bulan telah berada di langit, ini akan menjadi simbol era baru negeri kita. Kamu lihat? Mereka bergembira dengan kedatangan bulan baru yang kuberikan. Setelah ini rakyat tidak hanya akan memilihku jadi Presiden. Hahaha!”
            “Hahaha, kamu hebat, Bos!”
           
Sembilan: Rembulan Merah

            Kabar tentang kebangkitan bulan secepat kilat menyebar ke penjuru dunia. Negara-negara yang sempat bersedih akibat kehilangan bulan, kini memiliki harapan baru. Di lain pihak, negara yang sempat bersuka-ria dengan kematian bulan kini menjadi muram. Mereka membentuk sebuah aliansi untuk merencanakan sesuatu: menghancurkan bulan.
            Tak lama dari kebangkitan bulan, tank-tank, kapal perang, pesawat tempur dan seluruh armada perang dari negara-negara yang kontra dengan bulan. PBB hanya menjadi sebuah perserikatan yang dipersetankan. Alhasil, negara-negara yang mencintai bulan mengeluarkan senjata perang dan armada yang sama untuk menggagalkan rencana aliansi negara yang membenci bulan. Keduanya berseteruh. Bom-bom diletuskan, nuklir-nuklir diluncurkan, tubuh-tubuh hangus terbakar. Sedangkan di langit, bulan yang lugu termangu menatap kehidupan di bawahnya. Warnanya memerah.

# Rumah_Lamongan, 19 November 2013 – 8 Juli 2014

Catatan:
1.      Penggalan puisi D. Zawawi Imron yang berjudul “Bulan Tertusuk Lalang”.
2.      Hanya sekedar sebutan dari penulis untuk golongan Islam yang anarkis.
3.      Pendapat Robert Gibbs, Humas Gedung Putih, ketika menanggapi rencana penghancuran bulan oleh China yang meminta dukungan Amerika di Gedung Putih.



12:20 AM   Posted by Unknown in , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search