• Setiap Hari Adalah Kesempatan

    Setahun berisi 365 hari, setiap hari yang datang adalah hari baru, maka dalam setahun hiduopmu disuguhkan 365 kesempatan oleh Tuhan. Jangan menyerah, jangan berputus asa. Kegagalan hari ini adalah milik hari ini, esok hari adalah kesempatan bagimu untuk membuat perubahan. Lihatlah matahari, sekali waktu ia terbit tertutup awan, namun matahari tak pernah menyerah untuk te3rus terbit esok hari.
    Manfaatkan waktumu. gunakan kemampuanmu. Rayakan hidupmu. Tunjukkan pada dunia betapa besar arti dirimu bagi kehidupan #arulight.

  • Ketika aku merasa tidak bisa

    Ketika aku merasa tidak bisa, aku akan diam sejenak dan memeriksa: ya, aku memang tidak bisa. Lalu aku akan menarik nafas dan merenungkan. Lalu aku sadar, jika aku memang TIDAK BISA, mengapa tidak kugunting saja Tidak-nya sehingga yang tersisa hanyalah AKU BISA?
    Semua orang yang tidak bisa sebenarnya bisa Anda mereka cukup punya keinginan dan kesungguhan untuk membuang tidaknya #arulight.

  • Berpikir positif dan positif

    Kapanpun kau merasa letih dan muak pada dirimu, atau pada sekelilingmu, jangan terkecoh! Jika kau bisa berpikir negatif, kau juga bisa berpikir positif.
    Berpikir negatif hanya akan membuatmu letih dan tidak bergerak kemana-mana, berpikir positif membuatmu keuat dan sanggup mengambil langkah untuk membuat perubahan. Benua baru tidak akan pernah ditemukan jika para pelaut tidak berani meninggalkan pelabuhan menuju lautan #arulight.

Wednesday, December 30, 2015

Beraliran surealisme, cerpen ini adalah cerpen buatanku yang paling aku sukai. telah termuat di jogjareview.net 19 )ktober 2014 silam. ( http://jogjareview.net/fiksi/bulan-oh-bulan/ ) well, check it out:


Cerpen Agung Yuli TH*


Bulan, Oh Bulan...



Satu: Padang Bulan di Lapangan Kampung

Malam yang gempita. Di tengah lapangan, anak-anak kampung berkumpul. Mereka melempari bulan yang termangu di langit. BLUG...! benda bulat itu pun jatuh, seukuran bola sepak, menggelinding ke tanah dan langsung diserbu puluhan kaki, menggiringnya ke kiri dan ke kanan, menendangnya ke arah gawang. GOL...! sorak sebagian mereka. Lalu giring lagi dan lagi, tendang ke sana kemari. Bulan menjadi bulan-bulanan.
PRAAANG!! Terdengar kaca jendela pecah. Sebuah tendangan meluncurkan bulan masuk ke dalam kamar rumah yang telah lama kosong. Ruangan yang tiap malam gelap itu kini menjadi terang benderang. Konon rumah itu milik seorang pejabat daerah yang disita pemerintah.
Anak-anak bergegas menghampiri rumah itu untuk mengambil bulan mereka. Dan betapa terkejutnya atas apa yang mereka dapatkan: pasangan mesum sedang asyik-masyuk dalam kamar rumah tersebut. Gerombolan anak-anak itu berteriak. “Itu Presiden! Itu Presiden!”
Orang-orang yang mendengarnya langsung mengepung lokasi kejadian. Secara kebetulan ada seorang wartawan di yang hadir di sana dan tanpa ampun menjepret-jepretkan kameranya pada sepasang tubuh telanjang itu. Penduduk  semakin banyak yang berdatangan. Rumah tersebut seakan mau pecah saja.
Di tengah kehebohan malam itu, salah satu bocah sedang sibuk merangkak dan  menyelusupi kaki orang-orang dalam kamar rumah tersebut untuk mencari bulan. Ia hanya peduli pada benda angkasa itu agar segera bisa main sepak bulan kembali. Namun keinginannya tak dapat terpenuhi. Tak akan ada lagi permainan yang namanya sepak bulan. Bulan yang ia temukan telah pecah terbelah. Hanya separuh belahan ia dapatkan. Karena kasihan, anak itu melepaskan bulan untuk kembali ke langit.
Tapi, di mana lagi separuh belahan bulan?

Dua: Bulan Biru di Ambang Jendela Kamar Hotel

Kamar 217. Dari ambang jendela, seorang penyair telah lama memandangi bulan dalam kamarnya yang hening. Tanggal 5 Maret ini bulan berubah warna menjadi biru, membuat penyair itu merasakan sesuatu yang membuatnya terpaku, entah apa itu, ia tak dapat menjelaskannya. Namun, waktu itu ia teringat pada seorang gadis yang menyukai warna biru.
Secarik kertas tertoreh. Dan sebuah puisi pun tercipta:
Angin termangu di pohon asam. Bulan tertusuk lalang. Tapi malam yang penuh belas kasihan menerima semesta bayang-bayang. Dengan mesra menidurkannya dalam ranjang-ranjang nyanyian.1
Di kamar 227. Seorang anak perempuan pun sedang menatap bulan. Ia meraba kaca jendela kamar hotel, seolah bulanlah yang sedang dielus-elus. “Ibu... Ibu...,” gumamnya. Garis-garis luka melekat di tangannya, bekas pukulan dari sang ayah. Ia membenci lelaki itu, terlebih saat dirinya datang dengan membawakan ibu baru. Dan selalu, esok gonta-ganti ibu yang lain lagi. Sebelum tidur, anak itu sering berdoa agar esok pagi pintu kamar hotelnya tak pernah dibuka lagi oleh ayahnya. Ia harap sebuah truk tronton telah melindas rata tubuhnya. Namun kini ia sangsi akan keberadaan Tuhan, sebab doanya tak pernah dikabulkan.
Anak itu hanya menginginkan ibu yang lama, yang wajahnya mirip bulan. Kata pelayan kamar hotel, orang yang selalu baik kepadanya, ibunya kini telah berada di bulan. Gadis itu tak pernah mengerti mengapa ibunya berada di sana, tapi yang pasti ia ingin sekali menyusulnya ke bulan.

Tiga: Bulan Dalam Foto Hitam-putih 

Sebuah foto dikeluarkan dari dalam saku jas oleh seseorang. Wajah bulan tertera di dalamnya.
“Ini sasaran kita. Lakukan tugasmu dengan benar. Ia harus mati malam ini juga!”
“Baik, Pak.”
TIT!! Sebuah tombol ditekan. WUUUSSH...!! sebuah roket melesat ke angkasa. Lalu, DUAR... WAR...WAR...!! Bulan meledak seketika. Hujan debu turun dari angkasa.
Lembar foto itu dibiarkan jatuh ke tanah. Warnanya berubah menjadi hitam-putih.
“Sekarang kau hanya tinggal kenangan, bulan!”
Nun jauh di sana, terdengar jeritan anak perempuan melengking dari arah hotel, tak lama setelah kejadian itu.
“Ibu...!! Ibu...!!”

Empat: Bulan Dalam Berita

Musim berjalan tak karuan. Suhu udara berubah dengan brutal. Kemarau dan penghujan tak bisa ditebak arahnya. Lahan-lahan pertanian mati. Di laut, gelombang air pasang dan surut jadi tak teratur. Para nelayan kesusahan mencari nafkah. Di hutan, banyak populasi binatang nelangsa; habitat mereka jadi tak senyaman biasanya. Sebagian kelompok binatang mati, sebagian yang lain mempertarukan hidupnya sebagai obyek buruan manusia ketika kelompok binatang itu memutuskan untuk berkelana masuk ke desa, bahkan ke kota, untuk mencari kehidupan baru. Dalam sehari waktu berjalan enam jam lebih cepat dari biasanya, disebabkan rotasi bumi yang semakin cepat berputar tanpa adanya daya tarik gravitasi bulan. Bila malam tiba suasana jadi sangat mencekam. Tak ada lagi cahaya di langit. Bulan telah mati.
Para Ulama berbondong-bondong bersama pengikutnya menggelar acara istighotsah bersama. Para pemuka agama yang lain pun melakukan ritual keagamaannya masing-masing guna meminta ampun pada Yang Maha Kuasa atas tindakan para manusia karena sudah terlampau sering menzalimi bulan: menjadikannya bola sepak, memfitnahnya dengan mengatakan serupa wajah pacarnya, dilempari batu, dan lain sebagainya.
“Bukankah bulan adalah ciptaan Tuhan? Bisa-bisanya manusia bertindak seenak Setan? Dan sekarang malah ada orang sinting yang menghancurkan bulan. Ini betul-betul zaman edan! Kiamat akan segera datang.  Astaghfirullah... Astaghfirullah...!”
Di berbagai media, lembaga-lembaga maupun di jalanan, bulan tak henti-hentinya dijadikan topik pembicaraan. Para aktifis mahasiswa berunjuk rasa agar pemerintah segera bertindak tegas untuk segera menemukan pelaku penghancuran bulan beserta dalangnya. Badan kepolisian dan inteligent negara telah menyebar ke penjuru negeri. Gerakan-gerakan Islam Bawah Tanah2 ‘digali-gali’. Orang-orang Islam yang tak bersalah pun ikut dicurigai, sebagian bahkan disiksa setengah mati.
Maka membaralah kebencian orang-orang Islam yang lain sebab pemerintah telah menzalimi sesama saudaranya. Sedangkan golongan Islam Bawah Tanah yang merasa telah difitnah, melakukan aksi yang menjadi-jadi: gedung-gedung pemerintah diledakkan. Bumi Indonesia menjadi gonjang-ganjing. Para aktifis mahasiswa berkoar-koar dengan tema baru lagi.
Berbeda dengan respon sosial yang terjadi di Indonesia, di negara lain meskipun banyak yang simpatis dengan nasib kehidupan di bumi yang merana sebab ditinggal mati bulan, salah satu dari negara lain di belahan timur bumi justru senang dengan kematian benda angkasa itu. Pemuka negara tersebut berpendapat bahwa daya tarik dari gravitasi bulan membuat posisi bumi agak miring terhadap matahari sehingga menyebabkan musim yang kurang baik bagi wilayah negaranya dan musim yang bagus di negara-negara belahan barat.
"Siapa yang butuh bulan? Bulan mempengaruhi pasang-surut, menerangi langit di malam hari, dan para penyair tampaknya menyukai bulan, tapi kita tidak benar-benar membutuhkan bulan."3
Pendapat di atas ternyata memperoleh respon positif dari beberapa negara tetangganya.

Lima: Remang Cahaya Bulan dalam Bola Lampu di Sebuah Kamar Hotel

            Seorang lelaki paruh baya bersama perempuan muda memesan sebuah kamar hotel usai berkunjung dari suatu tempat. Kamar nomor 57.
Si perempuan tengah mabuk tingkat kayangan, tubuhnya  dilemparkan begitu saja di ranjang oleh si lelaki setelah sampai di kamar. Lampu pijar di sampingnya dinyalakan. Sorot cahanya yang remang menghangatkan ranjang. Perempuan itu terpaku menatap lampu itu.
            “Apakah yang bersinar di dalam sekat kain itu adalah bulan?”
            “Kamu ini ada-ada saja, Sayang. Mana mungkin itu terjadi.”
            “Aku sangat merindukannya.”
            “Kenapa tidak merindukan aku saja? Tolol jika merindukan benda yang sudah mati itu.”
            “Semua ini gara-gara Presiden yang telah menghancurkannya.”
Ngaco kamu.”
“Dia sendiri yang bilang padaku. Aku sangat dekat dengannya, lebih dari siapapun di dunia ini.”
“Hahaha, bau alkohol masih segar di mulutmu, Sayang.”
“Aku lebih dekat dengannya dibanding dirimu.”
“Ha?! Jangan bilang kamu adalah mahasiswi yang tidur dengan Presiden di sebuah rumah sitaan itu.”
“He’em, mereka membayarku tinggi untuknya.”
“Jadi karena bulan telah menyebabkan tindakan asusilanya denganmu diketahui publik, maka sebab itulah ia menghancurkannya? Kurang ajar, akan kubunuh dia.”
“Sudahlah, kamu hanya mencari perkara saja.”
“Dengar baik-baik, aku ingin sekali membunuhnya bukan cuma soal persaingan politik, tapi karena bajingan itu telah mengencanimu!”

Enam: Bulan yang Sedang Tertidur dalam Koper

            Keesokan harinya, seseorang berjaket hitam masuk dalam kamar hotel nomor 57. Orang tersebut menenteng kopor besar. Si penghuni kamar itu telah menyambut kedatangannya. Di sana, kopor itu dibuka.
“Bulan?! Bagaimana bisa kamu mendapatkannya?”
“Hahaha...! Itu tidak penting, Bos, yang pasti ini akan membantu rencana kita.”
“Ssst! Pelankan suaramu, Bego! Nanti dia bangun. Jangan sampai nanti dia merengek dan menarik perhatian kamar sebelah.”
“Ini kan siang, Bos. Mana mungkin dia bisa bangun?”
“Nggak usah protes! Jelaskan saja apa rencanamu.”
“Begini, Bos, setelah kita membunuh Presiden seperti yang kita rencanakan dahulu, setelah itu kita lepaskan kembali separuh bulan ini ke langit. Ya, ini akan memberikan kejayaan bagi kita?”
“Wah, pintar sekali kamu. Hahaha... !”
 “Ssst! pelankan suaramu, Bos.”

Tujuh: Bulan yang Menjadi Hantu

“Hallo...?”
“Lapor, Pak. Semua kecurigaan masyarakat kini mengarah pada kita, Pak! Apa yang harus....”
TIT!
Ponsel Presiden dilemparkan ke jalanan. Dia berjalan menyusuri trotoar tanpa adanya pengawal. Dasi dan jas yang dikenakannya dilepas lalu dimasukkan ke tong sampah. Ia hanya ingin sendiri. Di bawah langit yang tanpa bulan, kota seakan telah lama mati. Tubuh orang-orang tuna wisma yang tertidur di pinggir-pinggir jalan tampak seperti batang mayat. Barangkali bila dirinya mati di jalanan, mungkin tak akan ada orang yang peduli terhadap jasadnya. Ya, dia benar-benar berpikir demikian. Apa yang harus dihormati terhadap seorang pemimpin yang gemar berzina dan menghancurkan  bulan? Bisa jadi jazadnya akan dibungkus dengan karung, lalu dilemparkan ke kali yang penuh sampah.
Sang Presiden terus berjalan tanpa tujuan. Hampir sepanjang usia ia tinggal di kota itu, tapi baru sekarang ia merasa begitu sendiri. Asing. Dan hampa. Ia tatap langit. Sungguh begitu pekat. Di sana ia membayangkan wajah almarhumah istrinya, wanita yang selalu membuatnya tenang; wanita yang mirip dengan bulan. Dan ia begitu gusar ketika malam itu perzinaannya diketahui bulan. Tiba-tiba saja dirinya merasa menyesal. Kini bulan terlanjur ia musnahkan. Ia kembali berjalan, berjalan dan berjalan. Sebuah sorot cahaya keemasan muncul dari kegelapan. Tubuh lelaki itu termandikan olehnya. Ia tersenyum dan menggumam, “Bulan, maafkan aku, bulan...” cahaya itu semakin dekat dan dekat, lalu... CRAASSH!! Tubuh sang Presiden hampir rata dengan aspal jalanan, terlindas truk tronton. Ia terkapar sambil memandang langit yang pekat. Sekilas waktu membeku, mendinginkan sekujur tubuhnya. Beberapa detik kemudian, langit yang kelam itu seakan jatuh menimpahnya. Hitam.
Dari tempat yang jauh, anak perempuan di kamar hotel 227 tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya. Entah karena apa.

Delapan: Bulan yang Bangun dari Tidurnya

            Dua orang turun dari truk tronton. Salah satunya menenteng sebuah koper.
            “Cepat keluarkan dia dari dalam koper!”
            “Oke, Bos.”
            Semburat cahaya keemasan menyeruak dari dalam koper. Bulan telah bangun dari lelapnya. Tubuhnya yang tinggal separuh melambung tinggi. Langit kembali bercahaya. Orang-orang bergegas keluar rumah dan bersorak-sorak menyaksikan bulan. Malam menjadi pesta-pora seolah bulan yang baru telah lahir ke dunia.
            “Rencana kita sukses. Bulan telah berada di langit, ini akan menjadi simbol era baru negeri kita. Kamu lihat? Mereka bergembira dengan kedatangan bulan baru yang kuberikan. Setelah ini rakyat tidak hanya akan memilihku jadi Presiden. Hahaha!”
            “Hahaha, kamu hebat, Bos!”
           
Sembilan: Rembulan Merah

            Kabar tentang kebangkitan bulan secepat kilat menyebar ke penjuru dunia. Negara-negara yang sempat bersedih akibat kehilangan bulan, kini memiliki harapan baru. Di lain pihak, negara yang sempat bersuka-ria dengan kematian bulan kini menjadi muram. Mereka membentuk sebuah aliansi untuk merencanakan sesuatu: menghancurkan bulan.
            Tak lama dari kebangkitan bulan, tank-tank, kapal perang, pesawat tempur dan seluruh armada perang dari negara-negara yang kontra dengan bulan. PBB hanya menjadi sebuah perserikatan yang dipersetankan. Alhasil, negara-negara yang mencintai bulan mengeluarkan senjata perang dan armada yang sama untuk menggagalkan rencana aliansi negara yang membenci bulan. Keduanya berseteruh. Bom-bom diletuskan, nuklir-nuklir diluncurkan, tubuh-tubuh hangus terbakar. Sedangkan di langit, bulan yang lugu termangu menatap kehidupan di bawahnya. Warnanya memerah.

# Rumah_Lamongan, 19 November 2013 – 8 Juli 2014

Catatan:
1.      Penggalan puisi D. Zawawi Imron yang berjudul “Bulan Tertusuk Lalang”.
2.      Hanya sekedar sebutan dari penulis untuk golongan Islam yang anarkis.
3.      Pendapat Robert Gibbs, Humas Gedung Putih, ketika menanggapi rencana penghancuran bulan oleh China yang meminta dukungan Amerika di Gedung Putih.



12:20 AM   Posted by Unknown in , with No comments
Read More

Saturday, December 12, 2015

Cerpen ini adalah versi lain dari fiksimini saya di postingan sebelumnya yang berjudul "Wanita di Bangku Halaman", terinspirasi dari tetangga saya pasca ditinggal suaminya. Termuat pada Koran Madura edisi 30 Oktober 2015 dengan judul yang diubah oleh redakturnya menjadi "Perempuan Kertas" (http://www.koranmadura.com/2015/10/30/perempuan-kertas/). Anyway, selamat menyimak.

Seorang Wanita yang Selalu Menulis Surat



Setiap pagi dan sore, wanita itu sering duduk di bangku halaman, dekat pohon imboh samping rumahku. Sering kutemukan ia membawa beberapa lembar kertas dan menulis sesuatu di sana. Katanya, yang ditulis adalah surat untuk suami tercinta, seorang pelaut yang sudah sangat lama tidak pernah kulihat lagi batang hidungnya.
Ketika ia ditanya, bagaimana ia dapat mengirimkan surat itu pada suaminya? Sambil menunjuk pada burung-burung gereja yang sering bertengger di pohon imboh, dia berkata:
“Mereka adalah makhluk baik hati yang senantiasa mengirimkan surat-suratku untuknya.”
Orang-orang tertawa dan sering memperlakukan wanita itu sebagai hiburan. Tapi menurutku wanita memiliki cara yang absurd dalam menangani masalahnya—yang sulit dipahami oleh lelaki. Sedangkan lelaki lebih mengacuh pada penggunaan logika.
Di rumahnya, wanita itu tinggal sendirian. Tak punya anak, sanak famili, dan harta benda. Ia berasal dari pulau seberang, aku sendiri tak tahu pasti di mana. Suaminya yang seorang pelaut memboyongnya kemari. Lelaki itu pun sebenarnya bukan penduduk asli di desa ini. Karena ditinggal pergi suaminya dan tak punya modal serta kecapakan kerja, para tetangga sudah cukup baik dengan memberinya makan setiap hari.
Dalam sebuah rumah tua berpagar batu, ia tinggal. Sangat-sangat sederhana. Di jalan depan rumahnya sangat sepi. Hanya debu yang tak berhati dan nasib yang murung melewatinya. Sering wanita itu hanya duduk termangu di beranda, menunggu kabar dari burung-burung gereja. Dan ia tak pernah mengeluh. Aku takjub pada kesabaran dan kesetiannya pada sang suami. Wajahnya selalu sayu. Tapi kurasa ia perempuan yang tangguh.
“Ceritakan padaku tentang suamimu,” pintaku, usai memberikan sebungkus nasi padanya. Ia menggelengkan kepala.
“Nanti kau akan tertawa seperti para tetangga,” jawabnya. “Orang boleh saja menertawakanku, tapi tidak terhadap suamiku.”
“Aku akan mendengarkanmu dengan baik.” Ia nampak ragu, namun akhirnya bercerita.
“Ia lelaki yang baik. Sangat baik.”
“Sebaik apa dia?”
“Ia pandai menyenangkan hatiku …”
dan sekaligus pandai meremukkannya? batinku.
“Ia berjanji, sepulang dari berlayar nanti akan menuruti apapun yang aku inginkan.”
Kau percaya?
“Dan ia selalu menepati janjinya.”
Benarkah?
“Apa saja isi surat yang kautulis untuknya?” Alisnya merapat mendengar pertanyaan itu.
“Hanya suamiku yang boleh tahu apa isinya.”
Kami diam beberapa saat.
“Kenapa ia tak pulang-pulang?”
“Ia pasti akan pulang. Mungkin sekarang masih belum dapat banyak uang.”
“Dan kau akan tetap menunggunya di sini?”
Ia tak menjawab.
“Kenapa kau tidak pulang ke tempat asalmu?”
Ia melemparkan pangdang ke ujung jalan.
“Apa lagi yang pantas dilakukan oleh seorang istri selain setia menunggu dan mendoakan keselamatan suaminya?”
Aku takjub.
“Bagaimana jika seandainya ia tak pulang?”
Dia diam.
Pertanyaanku mungkin terasa seperti udara yang beranjak dingin malam itu. Dan benar, matanya berkaca-kaca.
“Aku percaya padanya, jadi aku akan terus menunggu.”
Kurasa sebaiknya aku segera pulang dan membiarkan dia sendirian.
Setelah beberapa meter berjalan meninggalkan rumahnya, aku menoleh kembali pada rumah itu.
Rumah tua dan pagar batu. Kenangan lama dan sepi yang syahdu.1
***
Entah sudah berapa tahun dia masih tetap menulis surat.
Dari yang pernah kubaca sebuah buku (aku lupa judulnya), pikiran wanita sebagian besar dihabiskan pada orang yang dicintainya, kekasih atau keluarga. Jika wanita itu tidak memiliki siapapun di sini, aku tidak bisa membayangkan sedalam apa kesepian dalam dirinya. Namun aku juga tak habis pikir, bagaimana dia bisa tetap bertahan jika setiap waktu psykisnya digerogoti pikiran dan kesepian terus-menerus?
Hingga pada suatu hari, Kudapati dirinya begitu murung di bangku halaman itu, tempat di mana dia biasa menulis surat. Aku menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Sambil menahan isak, dia bilang padaku:
“Aku sudah lelah sekali…” ia terisak. “Aku lelah menunggu dia dan balasan suratnya.”
Aku hanya bisa iba dan membimbingnya pulang.
Tetapi keesokan harinya berubah, seolah disapu angin begitu saja. Ketika aku pulang dari tempat kerja, dia berlari menghampiriku. Wajahnya berseri-seri di bawah sorot senja yang muram.
“Aku mendapatkan balasan surat dari suamiku,” katanya, dengan begitu sumringah. “Ia akan datang menjemputku, lalu kami akan naik ke puncak menara Eifel yang tinggiiiiiiiii sekali,” imbuhnya dengan sangat antusias.
Aku tersenyum melihat ia sebahagia itu. Namun, tiba-tiba terbersit sesuatu di kepalaku.
“Siapa yang mengantarkan suratnya padamu?” tanyaku.
“Tentu saja seekor burung yang ia mintai tolong.” Ia menunjuk ke pohon imboh, “Itu burungnya.”
Aku terperanjat. Itu burung gagak!
# Rumah_Lamongan, 22 Februari 2014
Catatan:
1. Bunyi bait terakhir pada puisi Rendra yang berjudul Kenangan dan Kesepian.
1:35 AM   Posted by Unknown in , , with No comments
Read More

Tuesday, December 8, 2015




 dapat kiriman email tanggal 4 desember 2015 dari redaktur Koran Madura, katanya beliau, cerpen ini diterbitkan di sana pada tanggal tersebut. well, selamat membaca


Siapakah Pahlawan itu Sebenarnya?

Kota Gotham bergejolak akibat ulah Batman. Euforia kabar yang kami dengar, dia telah mencuri celana dalam Superman. Akibatnya, ketika ada panggilan SOS datang dari seorang warga yang sedang dalam bahaya, Superman jadi kelabakan hingga terpaksa menyambar celana dalam Tarzan—yang kebetulan sedang menumpang jemur di halaman belakang rumahnya—untuk dipakai beraksi. Dan hasilnya, aksi heroik sang pahlawan menyelamatkan warga dari ancaman penjahat, justru membuat para saksi mata hampir mati tertawa. Maka, peristiwa bersejarah tersebut membuat the Human of Steel1 itu ingin melumat-lumat Manusia Kelelawar kebanggaan Gotham.
Entah apa motif jahil Batman. Entah bagaimana pula Superman bisa mengetahui bahwa Batmanlah pelakunya. Aku belum tahu gosipnya, yang jelas—selanjutnya dari kabar yang kudengar—Superman melayang di atas gedung pencakar langit di Gotham, lalu dengan bantuan megaphone, dia mengumumkan pernyataan yang ditujukan pada sang Kelelawar. Dan—seperti naluri kejantanan lelaki pada umumnya—Superman memilih pengakhiran masalah dengan cara yang paling singkat: Perang.
Warga kota yang semuanya menjadi tahu tindakan kriminal Batman, tidak langsung kecewa akan sikap ngawur yang dilakukan oleh seorang pahlawan. Meskipun demikian, mereka juga tidak gregetan dengan sikap Superman yang menolak menggunakan cara diplomatik--cara yang selalu berhasil seperti yang selalu dilakukan oleh para pejabat—untuk  menyelesaikan konflik. Yang jelas, hal itu membuat seluruh warga berbondong-bondong mengelilingi menara jam Gotham—tempat di mana perjanjian duel mereka akan tercatat sejarah—untuk menyaksikan secara langsung tanpa sensor pertarungan maut antara dua jagoan.
Barangkali karena sudah wajib hukumnya bagi pahlawan untuk pantang mundur, atau mungkin karena demi menjaga image-nya, Batman pun menerima tantangan Superman, meskipun dia tidak mempunyai kekuatan super seperti calon lawannya. Terbukti dia berani menyorotkan sinyal kelelawar ke langit. Namun dengan kekayaan dan kejeniusannya, Batman datang dengan perlengkapan Bat Robo yang mejadi armour2 sekaligus senjata penghancurnya. Selanjutnya, peristiwa maha dahsyat itu pun berlangsung—disiarkan secara live dari seluruh stasiun TV lokal dan tersebar ke seluruh dunia lewat yuotube—dengan hasil yang sangat menyedihkan: kota Gotham berubah jadi reruntuhan.
Entah Mereka pahlawan sejati atau tidak, bagiku itu tidak terlalu penting, namun ketika bersama Jared Leto, hal yang remeh-temeh pun bisa diubah mengesankan dengan mulutnya.
“Kaulihat, kawan, Gotham telah dihuni oleh para orang berpenyakit otaknya!” kata Jared, setelah menunjukkan streaming video pertarungan Batman VS Superman itu.
“Mengapa demikian?” tanyaku.
“Yang benar saja, mereka mengidolakan Batman dan Superman yang keduanya bahkan amoral sebab memakai pakaian ketat serta celana dalam di luar celana panjang.” Dia tertawa cekikikan, “Aku tak sanggup membayangkan, bagaimana rasanya anuku jika mengenakan kostum seperti itu.”
“Tapi pahlawan tetap saja pahlawan bukan? Jasa-jasanya yang membuat gelar itu selalu tersemat pada mereka.”
Well, meskipun sang pahlawan akhirnya membuat kota jadi kiamat dengan celana dalamnya? Jika memang demikian, berarti semua pejabat negara yang korup pun tetap harus dihormati sebagai pahlawan, sebab telah mengabdi pada negara.”
Aku tak bisa mendebatnya, tepatnya malas. Dan Jared melanjutkan dalilnya:
“Di Indonesia beberapa bulan lalu, seorang nenek miskin yang mengambil kayu dari tanah milik orang kaya saja dipenjara, bukan? Padahal nilai kayu yang dicuri tersebut—bagi si pemilik tanah— sama dengan kita membeli permen. Itu memang karena melanggar hukum. Tak peduli si nenek itu miskin, tak bisa cari makan, dan kayu yang dicurinya adalah penyelamat jiwanya. Tapi namanya orang salah ya salah. Harus dihukum. Soal berperasaan atau tidak, itu tugas humanisme agar menyelamatkan nenek tersebut, bukan hukum. Jika hukum selalu memihak uang, itu perkara uangnya. Bukan soal hukum lagi. Maka, seharusnya Superman dan Batman harus dipenjara pula sebagai tanggungjawab atas kehancuran yang diperbuatnya. Jangan karena jasa-jasa maka tindakannya dilumrahkan begitu saja. Rakyat macam apa Gotham itu?!”
“Ya, ya ... terserah kau saja,” komentarku.
What? Bagaimana bisa seorang penulis bisa apatis seperti dirimu? Entah kau ingin menulis topik ini atau tidak, tetapi apa kau tidak membayangkan seandainya profesimu menertawakan dirimu sendiri? Ini memang bukan urusanmu, kawan, tetapi sudah seharusnya seorang penulis menajamkan intuisinya agar selalu peka pada persoalan hidup ...”
Aku menghembuskan napas yang terasa berat oleh kata-kata Jared. Dan tiba-tiba saja kawanku seperti Jean Marais3 yang memberikan wejangan pada Minke4—yang tak lain penulis seperti aku. “Seorang terpelajar sudah harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” begitu wejangan Marais yang selanjutnya dipegang teguh oleh Minke untuk selalu menciptakan keadilan lewat tulisannya. Keadilan melawan Belanda pada masa penjajahan. Bisa dikatakan, Minke adalah sosok lain Superman, yang bisa menjadi pahlawan tanpa harus memiliki otot kawat tulang baja.
Hanya saja—jika kupikir—antara aku dan Minke, kami mengalami kenyataan sosial yang tak jauh berbeda. Dulu, Indonesia sedang dijajah Belanda, sedangkan sekarang setelah merdeka, banyak “Belanda-belanda” dari belahan lain bermunculan, bahkan lebih sakti sebab mereka melakukan penjajahan tanpa menggunakan senjata. Yang lebih menyedihkan lagi, pribumi kami sekarang giat mendidik diri mereka bermental “Belanda”, sebagiannya lagi menjadi pribumi sejati namun tak mengenal bangsanya sendiri—sehingga tak pernah sadar sekarang mereka sedang dijajah.
Kuaduk-aduk gelas minumanku dan membiarkan pikiranku ikut berputar ke dalamnya.
Kulirik Jared, tangannya sibuk dengan pena dan secarik kertas. Beberapa menit kemudian ia memberikan isi kertasnya itu padaku:
We are the kings and quens of the promise. We were the victims of ourselves. Maybe the children of a lesser God, between heaven and hell.... 5
“Apa ini? Lirik lagu?” tanyaku.
“Ya. Bersama 30 Second to Mars6, kami akan menggemakan kritik sosial itu ke penjuru dunia lewat sebuah lagu. Itu karena kami adalah musisi. Namun sebagai bagian dari manusia, kami menyuarakan kemanusian lewat musik.”
 Ucapannya itu seakan ditusukkan padaku, dengan maksud bahwa aku adalah penulis melempem yang tak peka terhadap lingkungannya dan tidak dapat memberikan perubahan berarti terhadap pembaca. Sedangkan Jared beserta grup bandnya telah melakukan hal itu.
“Kau bicara seakan pahlawan saja,” gumamku.
“Apa?”
“Ah, tidak,” jawabku, lalu dengan mengalihkan pembicaraan, kulanjutkan, “menurutmu seperti apa kedamaian itu?”
“Ada banyak versi, kawan. Setiap orang pasti punya jawaban yang berbeda. Yang jelas itu tidak dapat terpisah dari kekacauan atau ketakseimbangan.”
“Sama,” sahutku, “pahlawan pun tidak akan ada jika tidak ada kejahatan, bukan? Sebab dunia dipenuhi kontradiksi.”
“Bukan dunia, kawan. Tapi kehidupannya.” Ia meneguk minuman, lalu melanjutkan, “Sebenarnya kita hidup untuk menghilangkan kontradiksi, menurutku.  Dengan menekan keluar sekuat mungkin segala sisi buruk kehidupan. Karena manusia selalu mengutamakan nilai humanisme. Bahkan semua Tuhan dari berbagai agama pun menjunjung nilai kemanusiaan. Maka, tidak pantas untuk hidup rasanya jika kita tidak dapat menjadi pahlawan bagi sesama manusia.”
“Namun faktanya banyak orang hidup tetapi tidak memiliki sisi kemanusiaan. Bahkan banyak yang membunuh atau memperjual-belikan sisi kemanusiaannya sendiri, bukan?”
Well, kurasa mereka hidup untuk dunianya sendiri. Bukan untuk berbagi dunia bersama.” Dia tersenyum. “Kita patut kasihan terhadap mereka, sebab dunia yang sebenarnya tak pernah menerima mereka.”
Kami mulai diam. Suasana cafe pun ikut-ikutan diam dan malam sudah beranjak tua. Aku dan Jared harus segera berpisah. Besoknya Jared akan pulang ke Amerika. Di depan pintu cafe kami berjabat tangan.
“Ini bukan perpisahan,” katanya. “Aku akan kembali menemuimu untuk membaca buku solomu.”
Aku tersenyum, “Tentu. Datanglah bersama 30 Second to Mars untuk memeriahkan launching bukuku kelak.” Dia menepuk bahuku. “Oh, ya, seperti apakah orang yang pantas disebut pahlawan—menurutmu?” tanyaku.
“Kita semua adalah pahlawan, Gung. Kita bisa memulainya dari diri sendiri, setelah itu dunia akan membutuhkan kehebatan kita. Penjahat adalah seseorang yang tak dapat melihat kepahlawanan dalam cermin dirinya sendiri.”
Kami tersenyum, lalu berpaling dan berjalan ke arah kami masing-masing. Lampu-lampu jalanan membuat hidup bayanganku. Di tengah jalan aku berpaling dan berteriak:
“Hey, Jared!” dia menoleh. “Buatkan aku kostum yang lebih keren dan beradab dari Superman dan Batman jika kau datang nanti. Aku tidak mau jika nanti orang-orang menertawakan kepahlawananku kelak.”  
Dia tertawa, berbalik dan melambaikan tangan padaku, seraya menjaga langkah kakinya.
# Tuban, 27 Maret 2015
 ~ Lamongan, 4 April 2015
Catatan:
____________________
1.      Julukan Superman
2.      Baju pelindung besi
3.      Salah satu tokoh dalam tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
4.      Tokoh utama dalam tetralogi Buru.
5.      Lirik lagu 30 Second to Mars berjudul “Kings and Quens”.
6.      Grup band Rock asal Amerika yang beranggotakan Jared Leto, Shanon Leto, dan Tomo Milicevic.
4:16 AM   Posted by Unknown in with No comments
Read More

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search