terbit di Koran Madura, edisi 24 April 2015
Pulang
Lagu yang kauputar dari HP-mu seakan
menjadi satu-satunya hal yang kau
pedulikan.
Itu mengiringi perjalananmu dengan tujuan buta. Terasa dirimu adalah orang
asing yang tak mengenal tempat tinggal baru, sekalipun pada tempat lama yang
begitu familiar dahulu.
Ketika di terminal Semarang, perut bus
yang kita tumpangi begitu cepat dijejali penumpang juga penjual asongan.
“Aqua... Aqua...,” “lumpia... lumpia...,” “kacang... kacang...,” dan kita hanya
geleng-geleng kepala di hadapan mereka. Dari belakang terdengar sebuah
percakapan:
“Berapa harganya?” tanya seorang lelaki
empatpuluhan yang kaulihat waktu itu.
“Dua ribu, Pak. Mau berapa bungkus?”
jawab si penjual, gadis usia belasan.
“Bukan itu, tapi bungkusan yang itu
lho,” ia menunjuk dada gadis itu dan membuat lungset mukanya, tapi tetap berusaha menjaga sikap.
“Jadi beli tidak, Pak?” Lelaki itu
terbahak-bahak diikuti kawan-kawannya. Suaranya membuatmu menoleh kebelakang.
Rahangmu menegang.
“Eh, mau kemana, Dik? Sini lho, aku
mau beli kok!”
“Beli berapa bungkus?”
“Kalau dua tidak boleh, satu saja
bagaimana?” tawa mereka membuncah. Dan wajahmu lebih geram.
Roda bus mulai berputar. Jarum arloji
berputar. Mungkin isi kepalamu pun demikian.
“Mau pergi ke mana, Mbak?” tanyaku.
Kau menoleh, menatapku, lalu berpaling dan bisu. Aku menarik ranselku dan
mengeluarkan sebuah buku, sebuah reaksi untuk mengurangi rasa malu atas sikap
abaimu padaku.
Seorang
wanita muda hamil sedang melewati kita. Ia membawa dua keranjang penuh isi,
entah apa, sesuatu yang mungkin membuat bulir-bulir keringat tumbuh subur di
keningnya. Semua bangku penuh, dan ia seakan hendak mengeluh. Di kursi-kursi,
para penumpang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sebuah tempat yang
membudayakan hidup saling mengasingkan diri maupun orang lain.
“Duduk di sini saja, Mbak,” katamu,
segera bangkit dari kursi dan mengambil alih tempat wanita itu.
“Mbak
tidak keberatan?” tanyanya. Kau menggeleng. Ia berterimakasih.
Sepanjang jalan kota menyambut
dengan cahaya lampu-lampu yang muram. Seperti ada sesuatu yang menggelisakan
hendak muncul di ujung jalan. Kubaca itu dari wajahmu. Entah ada apa denganmu.
Bus tiba di terminal Tuban, orang-orang
keluar-masuk silih berganti. Wanita hamil tadi pamit kepadamu dan turun. Di
luar suaminya telah datang menyambut. Kini kau duduk di sampingku. Seorang
lelaki berkacamata hitam berhasil memasuki pintu bus dengan bantuan tongkatnya.
Kantong plastik bekas bungkusan kacang bermerek disodorkan ke para penumpang.
Ia mengiba-iba, namun tak banyak orang-orang yang mempedulikan nasibnya.
Kurogoh sakuku dan memasukkan beberapa koin koin ke dalam kantong
plastiknya. Beberapa menit kemudian bus
kembali berjalan. Matamu memandang keluar jendela. Mungkin pikiranmu sedang
berada jauh di luar sana. Tanpa sengaja mataku ikut mengejar jejak pandanganmu,
namun ternyata orang lain yang menarik perhatianku. Kudapati pengemis buta tadi
tengah berlari mengejar mobil pick-up tumpangan. Orang-orang di belakangku
menggerutu.
“Bajingan!”
“Penipu!”
“Sialan, ternyata orang tadi tidak
buta.”
Hatiku tergelitik, bukankah tadi
mereka pura-pura tak melihat kantong plastik yang disodorkan pengemis itu ke
hadapannya? Lalu siapa yang buta? Di sampingku, kau mulai menaruh perhatian
pada kontak HP-mu. Sebuah nomor kautekan. Namun segera kaubatalkan panggilan.
Kuputar lagu di MP3 dan mulai
menghibur diri. Sebuah simponi mengaliri jalinan sarafku lewat lubang headset. Malam perlahan meninggi,
suasana bus mulai sunyi. Samar-samar kudengar nada sendu di sekitarku. Itu
suaramu. Kau menangis.
Aku pura-pura tidur, tapi telingaku
semakin jelas menangkap isakmu. Akhirnya kutawarkan saputangan untukmu.
“Terimakasih,” kau mengambilnya
tanpa berani menatapku.
Malam semakin meninggi. Udara
menjadi pasi.
“Aku mau pulang.” Setengah berbisik
kauucapkan kalimat itu.
Aku terhenyak.
“Di mana Mbak tinggal?”
Kau nampak kebingungan, dan menangis
lagi sejurus kemudian. Aku tak mengerti.
“Aku tak bisa...”
“Kenapa?”
Isakmu semakin menjadi.
“Maafkan aku.” Dan kubiarkan kau
menuntaskan tangismu. Percakapan kita selesai begitu saja. kau mengakhirinya
dengan tanda tanya. Tapi tiba-tiba saja aku merasa jadi lebih dekat denganmu.
Entahlah.
Apakah tangis perempuan selalu
membuat hati lelaki luluh?
“Maaf,
tidak seharusnya aku kelihatan seperti ini.” Kau buru-buru merapikan wajahmu. Kini
kau mulai berani menatapku. Sedikit. Di antara pendar-pendar cahaya lampu
jalanan yang menerobos masuk kaca memperlihatkan wajahmu yang sebenarnya nampak
ayu. “Kalau boleh tahu, kemanakah tujuanmu?”
“Aku
ingin pulang. Rumahku di Lamongan.”
“Oh...”
kau berhenti sejenak, lalu... “Apa rumahmu
menyenangkan?”
“Mmmp,”
aku berhenti sesaat, “ya, kadang. Kadang
bisa juga sebaliknya. Tapi apapun suasananya, rumah itu
akan selalu menjadi tempat kepulanganku.”
“Jadi
begitu,” kau kembali melempar pandang ke luar kaca jendela. “Seandainya aku
berada di sekitar sini, bolehkah aku mampir ke rumahmu?”
Aku tersenyum. “Ya, silakan.”
“Mas...”
“Ya?”
“Namaku
....” kau menyebutkan nama. “Siapa namamu?”[]
#Warkop Merpati,
Cepokorejo_Tuban, 14 Juli 2014
0 comments:
Post a Comment