Reading Society:
Sebuah Cara Membangun
Kebudayaan Intelektualitas
Gerakan
intelektualitas adalah awal suatu kebangkitan bangsa. Sejarah telah
mencatatnya. Itu membuktikan bahwa kebudayaan berpengaruh dalam hal tersebut.
Akan sangat membantu jika dalam suatu masyarakat terdapat kelompok yang
mengamalkan gerakan tersebut. Jadi, kemajuan demi kemajuan dalam berbudaya
dapat berkesinambungan dari masa ke masa. Otomatis secara lambat laun akan
terbentuk masyarakat yang cerdas gemilang.
Terlepas
dari argumen di atas, lalu beralih pandangan pada kebudayaan yang tumbuh di
Indonesia; bagaimana taraf pendidikan di suatu daerah, sejauh apa kecerdasan
mereka, tentu perlu diperhatikan.
Faktor
yang paling berperan dalam perkembangan intelektualitas individu adalah
keluarga dan lingkungan. Faktor itu pula yang sekaligus menjadi kemerosotan
suatu nilai intelektual, bahkan dapat menyebabkan kebudayaan yang menyimpang.
Jadi, keadaan lingkungan sangatlah berpengaruh.
Sebagai
orang tua atau lingkungan terdekat individu diharuskan untuk mendidik individu
dengan baik, serta mampu memberi contoh langsung dalam tindakan-tindakan setiap
saat. Sedangkan untuk lingkungan luar, sekolah tentu menjadi tempat yang sangat
membantu untuk menyerap pengetahuan dan pemahaman, sekaligus aktivitas
bersosialisasi secara intelektual antar individu lainnya. Pertanyaannya adalah,
sudah cukup baguskah standar pendidikan di lingkungan sekolah ini untuk
mencetak calon cendekiawan? Semuanya kembali pada meteri ajar dan intensitas
pemahaman siswa dan penerapannya di masyarakat.
Secara
umum, hasil dari dua ligkungan di atas, yakni keluarga dan sekolah, dapat dijadikan
sebagai bayangan yang muncul dari cermin kebudayaan masyarakat.
Namun
masih terlalu picik jika dikatakan sekolah, orang tua, maupun masyarakat
setempat sudah cukup untuk membuat kebudayaan intelektual di tempat tersebut
hanya dari pandangan mereka akan pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Pada
dasarnya, perkembangan akan menuntut pengetahuan-pengetahuan tentang segala
macam aspek kehidupan. Untuk itu, tentu pengetahuan tentang dunia harus sering
didapatkan. Dan membaca adalah alternatif bijak, sebab buku adalah sarana untuk
berinteraksi antara individu dengan dunia. Maka, masyarakat aktif membaca atau reading society perlulah untuk dibentuk.
Sebagai
salah satu perbandingan yang mencolok antara kemajuan negara satu dengan yang
lainnya bisa dilihat dari aktifitas keseharian masyarakatnya, yakni membaca.
Bahkan, ada suatu negara dengan masyarakatnya yang begitu
bangun tidur, saat sarapan, atau berangkat kerja, sudah terbiasa dengan
membaca. Membaca buku apa saja, terutama sekali novel. Mereka terbiasa dengan
kegiatan membaca di mana pun mereka berada, bahkan di kereta api, bus, pesawat,
taman-taman, dan semua tempat yang bisa diduduki dengan nyaman. Bandingkan
dengan masyarakat kita saat ini!
Untuk menciptakan reading
society, melibatkan dua komponen utama, yakni orang tua dan peran pendidikan
formal.
Orang tua, sebagai lingkungan terdekat individu harus memberi
contoh sebagai orang yang aktif membaca. Orang tua atau dewasa harus memantau
dan mengarahkan individu pada tujuan atau maksud dari buku yang dipelajarinya.
Bagaimana seorang individu tiba-tiba bisa suka membaca jika sejak dini orang
tua tidak menerapkan disiplin ini? Tentu jarang terjadi.
Di pendidikan formal, membaca perlu dijadikan sebagai mata
pelajaran yang tetap, seharusnya. Suatu topik bacaan harus bisa dipahami dan
diceritakan oleh siswa secara kesluruhan. Tujuannya adalah agar siswa menjadi
terbiasa dengan membaca. Otomatis dengan kebiasaan ini, aktifitas untuk belajar
pada mata pelajaran lainnya pun bisa mudah dilakukan sebab terbiasa membaca.
Di negara-negara maju, membaca sudah dari dulu memnjadi mata
pelajaran pokok. Biasanya berbasis sastra. Di Inggris, misalnya, puisi-puisi Shakespeare
menjadi bacaan wajib sejak SD. Tujuannya untuk menanamkan tradisi etik dan
kebudayaan masyarakatnya. Di Swedia, beragam spanduk dibentangkan di hari raya.
Isinya kutipan dari karya-karya kesusastraan. Di Malaysia dan Jepang,
warga usia sekolah diwajibkan membaca sedikitnya dua puluh lima karya sastra.
Di indonesia sendiri, sejak jaman kolonial belanda, saat memasuki awal tingkat
menengah atas, siswa diharuskan menamatkan membaca lima belas karya sastra yang
semuanya dalam bahasa Inggris, Belanda dan Melayu. Di tingkatan kedua malah
sampai tiga puluh karya sastra. Hanya saja setelah Indonesia merdeka, kebijakan
itu dihapus dan difokuskan pada ilmu pengetahuan umum saja, dengan alasan agar
dapat menciptakan pelajar yang terampil dalam suatu bidang untuk pembangunan
Indonesia.
Sedangkan, dari hasil yang didapat
dari reading society adalah setelah
terciptanya individu yang cerdas, akan timbul komunitas yang aktif membicarakan
suatu permasalahan dalam bidang-bidang tertentu, progresifnya teraplikasikan
kedalam tatanan kehidupan. Semakin luas jaringan itu terbentuk, kebodohan akan
dengan mudah hilang dari masyarakat. Nah!
#Rumah_Lamongan,
16/04/2014
Sumber rujukan:
Nur, Arafat. 2012. Sastra dan Minat Baca yang Suram. Dalam
Majalah Frasa edisi keempat, September 2012
T.H, Agung Yuli. 2013. Sastra: Sebuah Alternatif Untuk Pendidikan Karakter. Dalam Majalah Bong-Ang edisi kedua, Desember
2013
Widarmanto,
Tjahjono. 2013. Masa Depan Sastra.
Sidoarjo: Satukata Book@art Publisher
0 comments:
Post a Comment