dapat kiriman email tanggal 4 desember 2015 dari redaktur Koran Madura, katanya beliau, cerpen ini diterbitkan di sana pada tanggal tersebut. well, selamat membaca
Siapakah Pahlawan itu
Sebenarnya?
Kota
Gotham bergejolak akibat ulah Batman. Euforia kabar yang kami dengar, dia telah
mencuri celana dalam Superman. Akibatnya, ketika ada panggilan SOS datang dari
seorang warga yang sedang dalam bahaya, Superman jadi kelabakan hingga terpaksa
menyambar celana dalam Tarzan—yang kebetulan sedang menumpang jemur di halaman
belakang rumahnya—untuk dipakai beraksi. Dan hasilnya, aksi heroik sang
pahlawan menyelamatkan warga dari ancaman penjahat, justru membuat para saksi
mata hampir mati tertawa. Maka, peristiwa bersejarah tersebut membuat the Human of Steel1 itu ingin
melumat-lumat Manusia Kelelawar kebanggaan Gotham.
Entah
apa motif jahil Batman. Entah bagaimana pula Superman bisa mengetahui bahwa
Batmanlah pelakunya. Aku belum tahu gosipnya, yang jelas—selanjutnya dari kabar
yang kudengar—Superman melayang di atas gedung pencakar langit di Gotham, lalu
dengan bantuan megaphone, dia mengumumkan pernyataan yang ditujukan pada sang
Kelelawar. Dan—seperti naluri kejantanan lelaki pada umumnya—Superman memilih
pengakhiran masalah dengan cara yang paling singkat: Perang.
Warga
kota yang semuanya menjadi tahu tindakan kriminal Batman, tidak langsung kecewa
akan sikap ngawur yang dilakukan oleh
seorang pahlawan. Meskipun demikian, mereka juga tidak gregetan dengan sikap
Superman yang menolak menggunakan cara diplomatik--cara yang selalu berhasil
seperti yang selalu dilakukan oleh para pejabat—untuk menyelesaikan konflik. Yang jelas, hal itu
membuat seluruh warga berbondong-bondong mengelilingi menara jam Gotham—tempat
di mana perjanjian duel mereka akan tercatat sejarah—untuk menyaksikan secara
langsung tanpa sensor pertarungan maut antara dua jagoan.
Barangkali
karena sudah wajib hukumnya bagi pahlawan untuk pantang mundur, atau mungkin
karena demi menjaga image-nya, Batman
pun menerima tantangan Superman, meskipun dia tidak mempunyai kekuatan super
seperti calon lawannya. Terbukti dia berani menyorotkan sinyal kelelawar ke
langit. Namun dengan kekayaan dan kejeniusannya, Batman datang dengan
perlengkapan Bat Robo yang mejadi armour2 sekaligus senjata
penghancurnya. Selanjutnya, peristiwa maha dahsyat itu pun berlangsung—disiarkan
secara live dari seluruh stasiun TV
lokal dan tersebar ke seluruh dunia lewat yuotube—dengan hasil yang sangat
menyedihkan: kota Gotham berubah jadi reruntuhan.
Entah
Mereka pahlawan sejati atau tidak, bagiku itu tidak terlalu penting, namun
ketika bersama Jared Leto, hal yang remeh-temeh pun bisa diubah mengesankan
dengan mulutnya.
“Kaulihat,
kawan, Gotham telah dihuni oleh para orang berpenyakit otaknya!” kata Jared, setelah
menunjukkan streaming video
pertarungan Batman VS Superman itu.
“Mengapa
demikian?” tanyaku.
“Yang
benar saja, mereka mengidolakan Batman dan Superman yang keduanya bahkan amoral
sebab memakai pakaian ketat serta celana dalam di luar celana panjang.” Dia
tertawa cekikikan, “Aku tak sanggup membayangkan, bagaimana rasanya anuku jika
mengenakan kostum seperti itu.”
“Tapi
pahlawan tetap saja pahlawan bukan? Jasa-jasanya yang membuat gelar itu selalu
tersemat pada mereka.”
“Well, meskipun sang pahlawan akhirnya
membuat kota jadi kiamat dengan celana dalamnya? Jika memang demikian, berarti
semua pejabat negara yang korup pun tetap harus dihormati sebagai pahlawan,
sebab telah mengabdi pada negara.”
Aku
tak bisa mendebatnya, tepatnya malas. Dan Jared melanjutkan dalilnya:
“Di
Indonesia beberapa bulan lalu, seorang nenek miskin yang mengambil kayu dari
tanah milik orang kaya saja dipenjara, bukan? Padahal nilai kayu yang dicuri
tersebut—bagi si pemilik tanah— sama dengan kita membeli permen. Itu memang
karena melanggar hukum. Tak peduli si nenek itu miskin, tak bisa cari makan,
dan kayu yang dicurinya adalah penyelamat jiwanya. Tapi namanya orang salah ya
salah. Harus dihukum. Soal berperasaan atau tidak, itu tugas humanisme agar menyelamatkan
nenek tersebut, bukan hukum. Jika hukum selalu memihak uang, itu perkara
uangnya. Bukan soal hukum lagi. Maka, seharusnya Superman dan Batman harus
dipenjara pula sebagai tanggungjawab atas kehancuran yang diperbuatnya. Jangan
karena jasa-jasa maka tindakannya dilumrahkan begitu saja. Rakyat macam apa
Gotham itu?!”
“Ya,
ya ... terserah kau saja,” komentarku.
“What? Bagaimana bisa seorang penulis
bisa apatis seperti dirimu? Entah kau ingin menulis topik ini atau tidak,
tetapi apa kau tidak membayangkan seandainya profesimu menertawakan dirimu
sendiri? Ini memang bukan urusanmu, kawan, tetapi sudah seharusnya seorang
penulis menajamkan intuisinya agar selalu peka pada persoalan hidup ...”
Aku
menghembuskan napas yang terasa berat oleh kata-kata Jared. Dan tiba-tiba saja
kawanku seperti Jean Marais3 yang memberikan wejangan pada Minke4—yang
tak lain penulis seperti aku. “Seorang terpelajar sudah harus adil sejak dalam
pikiran, apalagi dalam perbuatan,” begitu wejangan Marais yang selanjutnya
dipegang teguh oleh Minke untuk selalu menciptakan keadilan lewat tulisannya.
Keadilan melawan Belanda pada masa penjajahan. Bisa dikatakan, Minke adalah
sosok lain Superman, yang bisa menjadi pahlawan tanpa harus memiliki otot kawat
tulang baja.
Hanya
saja—jika kupikir—antara aku dan Minke, kami mengalami kenyataan sosial yang
tak jauh berbeda. Dulu, Indonesia sedang dijajah Belanda, sedangkan sekarang
setelah merdeka, banyak “Belanda-belanda” dari belahan lain bermunculan, bahkan
lebih sakti sebab mereka melakukan penjajahan tanpa menggunakan senjata. Yang
lebih menyedihkan lagi, pribumi kami sekarang giat mendidik diri mereka
bermental “Belanda”, sebagiannya lagi menjadi pribumi sejati namun tak mengenal
bangsanya sendiri—sehingga tak pernah sadar sekarang mereka sedang dijajah.
Kuaduk-aduk
gelas minumanku dan membiarkan pikiranku ikut berputar ke dalamnya.
Kulirik
Jared, tangannya sibuk dengan pena dan secarik kertas. Beberapa menit kemudian
ia memberikan isi kertasnya itu padaku:
We are the kings
and quens of the promise. We were the victims of ourselves. Maybe the children
of a lesser God, between heaven and hell.... 5
“Apa
ini? Lirik lagu?” tanyaku.
“Ya.
Bersama 30 Second to Mars6,
kami akan menggemakan kritik sosial itu ke penjuru dunia lewat sebuah lagu. Itu
karena kami adalah musisi. Namun sebagai bagian dari manusia, kami menyuarakan
kemanusian lewat musik.”
Ucapannya itu seakan ditusukkan padaku, dengan
maksud bahwa aku adalah penulis melempem yang tak peka terhadap lingkungannya
dan tidak dapat memberikan perubahan berarti terhadap pembaca. Sedangkan Jared
beserta grup bandnya telah melakukan hal itu.
“Kau
bicara seakan pahlawan saja,” gumamku.
“Apa?”
“Ah,
tidak,” jawabku, lalu dengan mengalihkan pembicaraan, kulanjutkan, “menurutmu
seperti apa kedamaian itu?”
“Ada
banyak versi, kawan. Setiap orang pasti punya jawaban yang berbeda. Yang jelas
itu tidak dapat terpisah dari kekacauan atau ketakseimbangan.”
“Sama,”
sahutku, “pahlawan pun tidak akan ada jika tidak ada kejahatan, bukan? Sebab
dunia dipenuhi kontradiksi.”
“Bukan
dunia, kawan. Tapi kehidupannya.” Ia meneguk minuman, lalu melanjutkan,
“Sebenarnya kita hidup untuk menghilangkan kontradiksi, menurutku. Dengan menekan keluar sekuat mungkin segala
sisi buruk kehidupan. Karena manusia selalu mengutamakan nilai humanisme.
Bahkan semua Tuhan dari berbagai agama pun menjunjung nilai kemanusiaan. Maka,
tidak pantas untuk hidup rasanya jika kita tidak dapat menjadi pahlawan bagi
sesama manusia.”
“Namun
faktanya banyak orang hidup tetapi tidak memiliki sisi kemanusiaan. Bahkan
banyak yang membunuh atau memperjual-belikan sisi kemanusiaannya sendiri,
bukan?”
“Well, kurasa mereka hidup untuk dunianya
sendiri. Bukan untuk berbagi dunia bersama.” Dia tersenyum. “Kita patut kasihan
terhadap mereka, sebab dunia yang sebenarnya tak pernah menerima mereka.”
Kami
mulai diam. Suasana cafe pun ikut-ikutan diam dan malam sudah beranjak tua. Aku
dan Jared harus segera berpisah. Besoknya Jared akan pulang ke Amerika. Di
depan pintu cafe kami berjabat tangan.
“Ini
bukan perpisahan,” katanya. “Aku akan kembali menemuimu untuk membaca buku
solomu.”
Aku
tersenyum, “Tentu. Datanglah bersama 30 Second to Mars untuk memeriahkan launching bukuku kelak.” Dia menepuk
bahuku. “Oh, ya, seperti apakah orang yang pantas disebut pahlawan—menurutmu?”
tanyaku.
“Kita
semua adalah pahlawan, Gung. Kita bisa memulainya dari diri sendiri, setelah
itu dunia akan membutuhkan kehebatan kita. Penjahat adalah seseorang yang tak
dapat melihat kepahlawanan dalam cermin dirinya sendiri.”
Kami
tersenyum, lalu berpaling dan berjalan ke arah kami masing-masing. Lampu-lampu
jalanan membuat hidup bayanganku. Di tengah jalan aku berpaling dan berteriak:
“Hey,
Jared!” dia menoleh. “Buatkan aku kostum yang lebih keren dan beradab dari
Superman dan Batman jika kau datang nanti. Aku tidak mau jika nanti orang-orang
menertawakan kepahlawananku kelak.”
Dia
tertawa, berbalik dan melambaikan tangan padaku, seraya menjaga langkah
kakinya.
#
Tuban, 27 Maret 2015
~ Lamongan, 4 April 2015
~ Lamongan, 4 April 2015
Catatan:
____________________
1.
Julukan
Superman
2.
Baju
pelindung besi
3.
Salah
satu tokoh dalam tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
4.
Tokoh
utama dalam tetralogi Buru.
5.
Lirik
lagu 30 Second to Mars berjudul “Kings and Quens”.
6.
Grup
band Rock asal Amerika yang beranggotakan Jared Leto, Shanon Leto, dan Tomo
Milicevic.
0 comments:
Post a Comment