hai, hai ... berjumpa lagi di kelas menulis bersama saya, saudaranya Brad Pitt. Kali ini segmen teori menulis cerpen adalah tentang latar cerita atau setting. selamat belajar
“Lukisan latar itu harus natural, jangan dipaksakan.”
#Edi Akhiles, penulis dan
pendiri #KampusFiksi
Pelataran
cerita atau setting dapat Anda terangkan sendiri dengan sebebas-bebasnya. Suatu
latar yang absurd yang digunakan lewat aliran surealisme pun sah-sah saja
digunakan. Begitu pula latar imajiner seperti dalam dongeng-dongeng fantasi,
tidak masalah, asalkan tetap alami dan logis.
Film
layar lebar berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” pernah dikritik pedas dalam
majalah Surah edisi ketiga tahun pertama oleh seorang penulis, salah satunya
sebab menyangkut cacatnya setting. Di film yang bersetting zaman penjajahan
dulu itu menampakkan produk snack dari garuda food—yang tentu saja produksinya
belum ada pada zaman itu—demi kepentingan komersial. Di situlah terdapat
ketidaklogisan setting. Ketidaklogisan ini disebut juga dengan istilah
anakronisme.
Bedanya,
anakronisme sah digunakan dalam fiksi asalkan dengan syarat itu merupakan
bagian penting pada cerita. Sebagai contoh dari hal ini adalah serial animasi
“Inuyasha”. Dalam serial itu terdapat ketidak-logisan waktu, yakni tokoh Kagome
dari masa depan masuk dalam dunia feudal zaman dahulu. Ketidak-logisan ini
tidak termasuk cacat, justru menjadi bagian pembangun pada cerita itu sendiri.
Setting
mencakup tiga hal: tempat, waktu, dan keadaan sosial.
Menurut
saya, setting yang baik adalah setting yang berperan dalam tiga hal, yakni: untuk
melukiskan potret kehidupan, menghidupkan suasana, dan memberikan informasi
terkait suatu tempat yang digunakan.
Setting Sebagai Potret Kehidupan Sosial
Setting
yang baik adalah pelukisan latar yang berjalan secara beriringan antara tempat
dan waktu. Maksud saya, latar tersebut tidak hanya memiliki detail fisik tempat
saja, namun sekaligus menampakkan kehidupan sosial masyarakatnya. Tetralogy
Buruh karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu contohnya. Novel tersebut
bersetting pada zaman kolonial Belanda, yang tidak hanya bertumpuh pada lukisan
tempat-tempat di Indonesia waktu dulu, melainkan melukiskan pula sosiohistoris
pribumi serta fakta sejarah yang berkaitan dengan pemerintahan Belanda. Y.B.
Mangunwijaya pun tidak kalah hebat dalam melukiskan potret sosial suatu
lingkungan, sebagai contoh, silakan Anda simak kutipan novel berikut ini:
Aku
keluar rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali manggis
dengan air seperti jenang soklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang
yang sekotor itu ironis sekali diberi nama kali Bening. Di negeri ini, air yang begitu kotor penuh
berak dan basil itu toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal seperti
itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma
apa bening dan kotor itu harus kita ukur?masih ada juga yang mencuci beras di
selokan itu. Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun,
membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik
kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa bola merka itu dicelup di dalam air; sambil
omong-omong denga rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus halus.
Yang putih dan halus rupa-rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor dan
busuk. Apa artinya mandi bagi mereka? sering kadang keluar juga sepasang susu
besar yang sama coklatnya dan diseka seolah mau melototnya. Bersih sudah.
Sering tanpa sabun. Bangsa begini mau merdeka. Bah!
(“Burung-burung
Manyar”, Y.B. Mangunwijaya)
Pada
contoh di atas jelas sekali setting tersebut dimanfaatkan penulis untuk
menunjukkan sosio-cultural suatu
masyarakat yang sering terjadi saat itu di tempat tersebut.
Memang
relatif susah jika membuat setting seperti di atas, penulis harus mengenal baik
lingkungan yang dipilihnya sebagai setting, sebab ini menunjukkan potret sosial
kehidupan masyarakatnya pula. Penulis harus mendapatkan data-data secara
akurat, bahkan mungkin sebuah riset perlu dilakukan untuk mendapatkan suatu
informasi. Namun hasilnya hebat.
Setting Sebagai Penghidup Suasana
Keberhasilan
lain penulis dalam menciptakan setting adalah sebab tempat atau waktu yang
dilukiskan dapat menghidupkan imaji suasana, bukan hanya visual saja. Misalnya:
Jadi begitulah, Eriza,
sebagaimana sering kau dengar dari mulut orang-orang, ketika bulan
perlahan-lahan terbenam gumpalan awan hitam dan langit menjadi gulita, angin
pun seketika mengendap, senyap merayap, dan nun entah dari arah mana, gema
suara burung hantu yang sendu bagai menidurkan rerumputan dan perdu, sementara
sisa cahaya purnama yang melekat di dedaunan perlahan sesap terhisap gelap.
Lalu sunyi menambah resah ke hamparan sawah, dan suara-suara serangga berhenti
seketika. Sampai kemudian tak ada lagi angin berdesir, dan segala suara diam
tersihir bayangan pohon-pohon perlahan raib. Lesap. Malam menjelma kuburan tua
yang menganga.
(“Kupu-kupu
Kuning Kemilau”, Agus Noor)
Pada
kutipan cerpen di atas, penulis mampu menghidupkan suasana sunyi yang mencekam
dengan memanfaatkan waktu kejadian, yakni ketika bulan perlahan-lahan terbenam,
suasana tempat tersebut mendadak mengalami perubahan pada tempat-tempat di
sekitarnya hingga menjadi sunyi dan mencekam.
Setting Sebagai Penyampaian Informasi
Setting di sini hanya berfungsi
untuk menyuguhkan informasi kepada pembaca tentang suatu tempat beserta sesuatu
yang berkaitan dengannya. Informasi yang disampaikan memiliki tujuan untuk
membuat latar cerita seolah menjadi nyata dan alami. Sebagai contoh, mari kita
simak paragraf di bawah ini:
Cafe des Amateurs tak ubahnya
seperti kubangan kakus di salah satu bagian rue Mouffetard, yakni jalan pasar
yang sempit dan sesak yang mengarah ke Place Contrescarpe. Di jalan itu ada
sejumlah rumah apartemen kuno, yakni bangunan bertingkat dengan tangga samping
dari semen yang di bangun miring seperti sepatu sehingga penghuninya tidak
terpeleset. Kakus-kakus jongkok dari rumah-rumah apartemen itu dikuras pada
malam hari dengan cara memompakannya ke tangki sebuah kereta besar yang diseret
kuda. Jika musim panas, saat semua jendela rumah dibuka, orang bisa mendengar
jelas suara pompa penguras kakus itu. Baunya, sungguh, sangat kuat menusuk
hidung. Sementara itu, tangki-tangki yang berisi kotoran manusia itu dicat
warna coklat dan safron. Saat sedang bekerja di rue Cardinal Lemoine,
tangki-tangki silinder di atas kereta yang ditarik kuda ini tampak seperti
lukisan braque.
(“A Moveable Feast”, Ernest Hemingway)
Untuk menyuguhkan informasi pada
setting cerita, Anda harus mendapatkan data-data yang berhubungan dengan tempat
tersebut terlebih dulu. Browsing di
internet adalah cara praktis dan murah untuk dilakukan.
Jadi demikianlah, sebuah latar
memang seolah terasa sepeleh, sebab yang paling penting adalah isi cerita.
Namun jika diperhitungkan seperti apa yang saya sampaikan di atas, pelataran
tersebut dapat memberikan daya tarik pada cerita yang akan Anda tulis. []
Sangat bermafaat. Terima kasih...
ReplyDeleteulasan yang mengalir, mudah dipahami dan tentu menambah pengetahuan bagi saya yang sedang belajar menulis. terima kasih
ReplyDeleteterima kasih atas apresiasinya, mbak nurul dan mbak siwi... :-)
ReplyDelete