ini dia cerpen beraliran ekspresionisme pertama saya, hasil uji coba yang menyenangkan. hasilnya, selain surealisme dan impresionisme, aliran ini pun masuk kategori dalam aliran menulis yang saya sukai. well, selamat membaca.
Rembulan Merah
“Aku
ingin menikah denganmu,” ujar seorang lelaki, malam itu.
Mendadak
kafe terbuka yang mereka tempati menjadi taman bunga dan perempuan itu menari
di sana, dihujani guguran kelopak bunga. Tak bisa ia tahan keluarnya rona merah
di pipi, sekaligus titik air mata. Maka ia berdiri dari tempat duduknya dan
memunggungi lekaki itu, berusaha menyembunyikan perasaan yang tak karuan dalam
hatinya.
“Kau
begitu cepat menyatakannya,” kata perempuan itu, setelah mendapatkan kembali
kontrol dirinya. “Apa yang membuatmu yakin melakukannya?”
Lelaki
di hadapannya diam sejenak, melempar pandang, lalu menjawab, “Aku memang ingin
melakukannya denganmu.”
Musik
jazz terdengar merdu dan suasana kafe begitu tenang malam itu. Adalah hal yang
sangat romantis bagi seorang perempuan mendengar tawaran menikah dengan lelaki yang
telah memikat hatinya.
Di
atas meja, di antara gelas minuman mereka, tangan perempuan itu sedikit
dijulurkan ke depan, berharap agar lelaki itu segera menyentuhnya. Namun,
tangannya bagaikan sesosok makhluk yang kesepian—tak ada perhatian sedikit pun
dari tangan lain dari seberang meja. Ia menatap wajah lelaki itu sedang
memandang ke suatu tempat, sangat jauh tampaknya, entah di mana. Mendadak
perempuan itu menjadi sedih, mengapa yang dilihat lelaki itu bukan wajahnya
yang kini berada dekat dengannya. Dengan suatu cara absurd, ia mengerti, bahwa
ada wajah perempuan lain di tempat yang jauh itu. Suatu cara yang ia sebut “naluri”.
Akhirnya
tangan yang kesepian itu menarik gelas minuman sebagai tindakan pelarian. Perempuan
itu menenggak minuman dengan kesal, di samping berusaha mencairkan
tenggorokannya yang beku akibat suasana dingin muncul begitu saja tanpa diharapkan.
Lalu ia bicara:
“Kau
sudah kenal siapa aku, bukan?”
Kedua
alis lelaki itu menjadi bergelombang ketika pertanyaan tersebut terlontar. Secara
tak diinginkan, ia menjadi agak gugup dan bingung karena harus menemukan
jawaban yang tepat dalam waktu yang cepat.
“Aku
menyukai kepopuleran,” sergah perempuan itu, menghentikan kalimat si lelaki di
pangkal lehernya sebelum berhasil menjadi suara.
“Lalu
siapa dirimu?” sergahnya yang berikutnya, menikam tepat ke jantung lelaki itu.
Tak
perlu bingung lagi mencari sebuah jawabanan. Tak perlu pula untuk dijawab. Sudah
jelas siapa dirinya: Hanya pekerja biasa di perusahaan ayah si perempuan. Ingin
sekali rasanya ia menggebrak meja dan menyiramkan minuman ke muka perempuan
itu. Tapi ia sadar bahwa perbuatannya sendirilah yang telah mempermalukan
dirinya.
Ah,
bagaimana mungkin seorang lelaki bisa menjelma makhluk yang paling tolol
sedunia? Meniduri anak bosnya adalah tindakan terbodoh yang pernah ia lakukan
seumur hidup. Tetapi mempertanggungjawabkannya merupakan hal yang luar biasa
lagi bodohnya. Ia tertawa kecut dalam hati dan memutuskan untuk tidak berkata
apa-apa lagi kepada perempuan itu, sambil berusaha membujuk dirinya sendiri
untuk menerima kenyataan bahwa sekarang ia menjadi pecundang yang sangat
menggelikan.
“Aku
mengerti. Maafkan aku,” ujar lelaki itu, lalu bangkit dari tempat duduknya dan
meninggalkan kafe tersebut.
Bayangan
bulan jatuh di atas permukaan anggur dalam gelas. Warna emasnya seperti cincin
yang melingkari warna merah. Secuil wajah perempuan itu tercermin di sana. Ia
mendesah. Bagaimana dirinya bisa mengucapkan hal yang paling tidak diinginkan? Betul-betul
gila, batinnya. Ingatannya masih begitu hangat pada setiap intonasi bunyi yang
keluar dari mulut lelaki ketika melamarnya. Menikah, oh, sungguh benar-benar
hal yang sangat membahagiakan, meskipun hanya untuk didengar.
Ia
teringat kembali pada kejadian beberapa malam lalu dengan lelaki tersebut.
Kekecewaannya masih tersisa akibat tindakan yang tidak hormat dilakukan pada
dirinya. Meskipun itu adalah kekhilafan dan dilakukan oleh seseorang yang
dicintainya. Tapi terlalu munafik baginya apabila menolak perlakuan itu, hingga
akhirnya ia memberikan seluruh tubuhnya untuk dinikmati.
“Pelayan,
tolong berikan aku anggur lagi.”
Ia
menuangkan anggur itu ke dalam gelas dan menghabiskannya dalam sekali tegukan.
Lalu memandang sendu garis horison
antara laut dan langit. Tak akan ada penyesalan, tak akan pernah—gumamnya dalam
hati. Namun tetap saja ia menangis,
sepanjang malam.[]
# Rumah_Lamongan, 25
Juli 2013
Sumber: Tabloid Ruang Rekontruksi, edisi Februari 2013
gambar: google
0 comments:
Post a Comment