“Sebagai orang tua yang baik, setiap penulis
sudah semestinya
memahami setiap karakter dan memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya.
Anda tentu tidak akan memperlakukan “anak” Anda sebagai boneka.
Mereka mempunyai siklus kehidupan sebagaimana Anda.”
memahami setiap karakter dan memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya.
Anda tentu tidak akan memperlakukan “anak” Anda sebagai boneka.
Mereka mempunyai siklus kehidupan sebagaimana Anda.”
# A.S. Laksana, cerpenis ternama
Perjalanan
Hidup Karakter dalam Cerita Anda
Semua karakter dalam cerita
adalah ibarat seseorang yang benar-benar menjalani kehidupan di dalamnya.
Mereka tumbuh dinamis, memiliki harapan, kemauan, perasaan, pikiran, dan tujuan.
Mereka bisa tertawa. Mereka bisa terluka. Mereka bisa jatuh cinta. Mereka pun
bisa sengsara.Tetapi, meskipun Anda adalah yang memberi kehidupan pada karakter
fiksi Anda, Anda tidak bisa seenaknya saja menentukan perannya seperti boneka.
Anda berhak menentukan watak
mereka. Terserah jika Anda mau membuat mereka menjadi orang alim, jujur, baik
hati, suka menolong, dermawan dan tidak sombong. Atau bila ingin karakter itu
menjadi orang yang cerewet, suka bicara kotor, jarang mandi dan suka buang
kentut sembarangan juga boleh-boleh saja. Akan tetapi, Anda tidak bisa memaksa
pikiran mereka untuk sejalan dengan kemauan Anda. Anda boleh saja menentukan
garis nasib mereka. Tapi Anda tidak boleh menentukan hasrat mereka. Ingat,
mereka itu hidup. Di dalam cerita mereka sama seperti Anda di dunia nyata.
Sebab Anda telah menciptakan
karakter Anda sedemikian rupa, maka Andalah yang bertanggungjawab untuk bisa
memahami jalan pikiran dan perasaannya masing-masing. Salah jika mereka yang
harus menuruti jalan pikiran Anda. Bagaimana bentuk fisiknya, bagaimana pola
pikirnya, bagaimana perasaannya, bagaimana keinginannya, bagaimana kesulitannya
dan lain sebagainya, harus Anda pahami.
Jika Anda sudah menetapkan
jatuhnya takdir—yang pahit, misalnya—untuk karakter Anda, maka Anda harus bisa
melukiskan bagaimana karakter fiksi Anda itu menderita, entah itu secara lahir atau
batinnya. Tidak hanya itu saja, Anda pun harus bisa memahami kira-kira
bagaimana si karakter itu berpikir untuk mengatasi masalahnya. Misalnya, Anda
menciptakan tokoh seorang pemabuk, suka main perempuan, penjudi, dan beringasan,
sedangkan di cerita Anda menjatuhkan takdir untuknya supaya insyaf, maka jangan
secara tiba-tiba karena suatu peristiwa dia langsung bisa sadar dan tobat, pembaca
akan sangat kecewa telah membuang waktunya untuk membaca naskah Anda. Sebaliknya
Anda harus mampu merasakan, bagaimana batin si tokoh itu mengalami guncangan jiwa
sedikit demi sedikit dengan peristiwa yang membuatnya menyesal. Disamping itu
bagaimana si tokoh tersebut melakukan pergulatan antara batinnya dengan godaan
setan, semuanya harus Anda rasakan. Dengan perasaan itulah Anda menceritakan
perjalanan hidup karakter Anda.
A.S Laksana pernah menjelaskan
bahwa karakter itu memiliki siklus kehidupan, yakni sama seperti manusia pada
umumnya yang mengalami masa-masa seperti: lahir, masa remaja, dewasa, dan mati.
Pada masa kelahiran, sebuah
karakter memiliki latar belakang masing-masing, kemudian mengalami pengalaman
yang berbeda-beda. Mereka punya keinginan dan tujuan dalam hidup mereka kelak.
Beranjak ke masa remaja, si karakter akan mulai melakukan petualangan, mencoba
banyak hal, belajar dan merespon lingkungan, hingga mulai terlibat masalah dan
mencari-cari solusinya. Lalu karakter tersebut akan memasuki masa dewasa, masa
yang membuatnya mengenal kerasnya dunia, bertanggungjawab, hati-hati, lebih
bijak, dan menunjukkan watak asli yang sebenarnya melalui tindakan atau
keputusan yang dia ambil. Yang paling menunjukkan bagaimana watak asli
seseorang itu terlihat adalah masalah yang sedang dihadapinya, begitupun
seharusnya dengan karakter Anda. Setelah itu semua masa itu, akhirnya karakter
Anda akan mati saat cerita berkhir. Segala apa yang terjadi dan dilakukan si
karakter akan menjadi pelajaran bagi pembaca. Maka masa kematian tersebut
seharusnya membuat karakter Anda terkenang di benak pembaca. Entah dia mati
seperti Pangeran Diponegoro, atau mati seperti Fir’aun, yang penting harus
berkesan, sebab—seperti kata Masashi kishimoto—kehidupan seseorang itu dilihat
dari kematiannya, begitu pula kehidupan di dalam cerita Anda akan terkenang
lewat endingnya. []
0 comments:
Post a Comment