Dear, Pembaca Budiman... lama gak post, sekarang saya ingin nostalgia dengan cerpen lama, semoga Anda juga terhibur. Sampai jumpa di postingan selanjutnya...
Kita Akan Hidup Untuk Bercerita?
Dalam masa hidupnya, daun-daun merekam semua
apa yang ia dengar. Ia mempunyai cerita yang akan selalu tersimpan dalam
dirinya, meskipun tak seorang pun ada untuk mau mendengarkan, hingga ia terjatuh,
kalah oleh usia, atau dihempas angin.
Di bawah pohon Filicium yang terletak pada
sebuah taman kota, kududuk sendiri. Memperhatikan sekeliling tempat, seperti
seseorang yang nampak mencari tanda-tanda sebuah kehadiran yang ia harapkan,
warna yang nyala di matanya yang kelabu.
Udara basah. Gerimis nampaknya akan turun.
Bukan suasana yang indah untuk berada di taman. Jalanan sekitar sepi. Mungkin
orang-orang lebih memilih tidur di minggu pagi ini. Mungkin yang lainnya lebih
memilih untuk sendiri. Dan aku punya banyak waktu sendiri dengan beberapa
batang rokok (sudah beberapa bulan ini aku telah merokok).
Apakah kau memerlukan suatu waktu untuk kaumiliki
sendiri? Apakah suatu waktu kau memerlukan semua hal sendiri?
Dulu pernah kudapati cerita tentang lelaki
tua yang sedang menunggu kekasihnya dalam keadaan resah di bawah pohon Filicium
pada sebuah taman.2 Filicium itu akan menggugurkan daunnya setiap
kali tampak seseorang yang murung atau yang berusaha menyembunyikan perasaan
gusarnya. Semacam pertanda bahwa di sana tak ada tempat untuk mengembangbiakkan
kesedihan. Oleh sebab itu, orang-orang satu sama lain akan saling menaruh
curiga ketika mendapati satu-dua daun yang gugur dari Filicium.
Dalam melankolia lelaki tua itu selalu setia
menunggu sang kekasih di tempat janji mereka bertemu, di bawah Filicium itu, setiap
hari, hingga gugur semua daunnya akibat kemarau dari hati si lelaki. Filicium
yang cantik jadi tidak sedap dipandang. Orang-orang jadi membenci lelaki
tersebut. Mereka melemparinya dengan batu. Akan tetapi lelaki itu tak ubahnya
dengan batu. Ia selalu kembali ke sana, hingga semua orang malas menganiayanya
dan memilih tak lagi mengunjungi taman tersebut. Taman itu mati, seiring
gugurnya daun terakhir Filicium bersama gerimis.
Aku akan menertawakan sendiri diriku
seandaianya nasib membuatku mengalami hal serupa. Karena meskipun tanpa janji,
aku ingin berada di sini. Bersamamu.
“Mungkin kita terlalu cepat dan aku tak
pernah tahu apa yang nyata,” katamu waktu itu, “tapi aku tahu, aku belum pernah
menginginkan sesuatu dengan begitu hebatnya, aku belum pernah menginginkan
seseorang sebegitu hebatnya.”
Aku tahu.
“Jika kubiarkan kau mencintaiku, akankah kau
pergi ke sepanjang jalan sebagai seseorang yang selalu bisa kulihat?”
Tentu!
Kuhisap rokok dalam-dalam, lalu
mengembuskannya. Kenangan tentangmu seperti rokok yang terbakar. Asap itu
memanggil-manggil namamu.
Di sebuah tempat, baik maupun buruk,
seseorang tak dapat memilih akan dimana ia dilahirkan. Mungkin suatu saat,
mungkin dulu, seseorang akan atau pernah bertanya bagaimana takdirnya. Sedangkan
takdir itu gelap. Hanya reka-reka yang membentuk wujudnya. Apakah keyakinan
juga termasuk bagian dari kegelapan akan sebuah impian yang indah, impian yang
merupakan hasil dari takdir?
“Akan seperti apa kita suatu saat nanti?”
tanyamu pada suatu saat.
Kau dan aku... kita seperti daun yang
memiliki garis-garis yang sulit diterka. Tapi selembar daun bisa saling
bercerita dengan sesama daun lainnya, seperti dalam Cerita Daun2. Mereka hanya menunggu masa tua, jatuh, dan
berganti. Tetapi sayangnya, selembar daun yang jatuh tidak akan kembali lagi
menjadi daun yang sama. Mereka hanya jatuh sekali di tanah, setelah itu mereka
menutup ceritanya sendiri. Karena itu sebuah tanah menjadi penting sebagai
tempat untuk mengenang segalanya. Juga tempat untuk menyerahkan kehidupannya.
Kemana nanti kau ‘kan memilih tanah halaman untukmu
rebah?
Daun Filicium kini sedang jatuh, terhempas
angin, dan menari-nari di mataku.
Pesawat telah mengambil dirimu lagi. Apakah
dirimu akan terbang di atas tempat, di mana kehidupan kita berada? Adakah suatu
sesal kausimpan sejauh ini?
Akan sangat menyenangkan jika seandainya kita
dapat menyimpan dan membuang segalanya tanpa terkecuali apa yang sebenarnya
terjadi. Tapi kadang kenyataan itu begitu kejam. Pada suatu waktu, ku melihatmu
tertawa di saat ku menutup mata. Sampai tiba hari di mana aku jatuh pada tidur
yang panjang, yakni ketika wajah dengan senyuman harus tinggal bersamaku tanpa
kegagalan. Orang-orang bisa bersedih, jadi mereka pergi dan melupakan. Akan
tetapi... untuk apa yang kucintai, untuk apa yang memberikanku cinta, akan
kulakukan apa yang kubisa untuknya. Atau bila harus sebaliknya, ketika kita
berjumpa, semuanya akan terasa dingin. Kita akan saling menjauh, benar, bukan?
Kita akan mendapatkan luka, benar, bukan? Sampai tiba hari di mana kita akan tertidur
panjang.3
“Apa kau percaya bahwa suatu hari nanti aku
akan kembali lagi?” tanyamu.
“Tentu.”
“Bagaimana kalau aku tidak kembali?”
“Itu adalah konsekuensi dari penantian.”
Karena berani mencintai, kita harus berani pula untuk
dilupakan.
Kita sudah pernah berpisah sebelumnya. Saat yang membuat kita
mulai memanjakan sunyi dalam ruang yang tak lagi terisi, lalu menghirup nafas
dalam-dalam dan mulai mencari makna kata “sendiri”. Setiap kekosongan itu
menciptakan rindu: penyakit yang merampas nyala dari matamu. Dan rasa sakitnya
itu mengajarimu untuk membenci. Di lain hal, rasa sakit itu membuatku belajar
untuk membunuh rindu itu sendiri, beserta kenangan di dalamnya.
Tapi
kau dan aku selalu gagal melakukannya.
“Aku hanya ingin bahagia saat ini,
bersamamu,” katamu. Seketika itu oktitosin4
yang telah sekarat di dalam tubuh berlesatan ke udara, membuat tubuhku terasa
ringan. Aku seperti terlahir kembali dan amnesia terhadap segala kemungkinan yang
buruk. “Kita lakukan saja yang terbaik. Biarkan esok menjadi esok.”
“Kita akan hidup untuk bercerita?” kataku.
Kulihat warna Kalipso5 menyembul
di pipimu.
Gerimis telah jatuh ke tanah. Aku akan
membiarkan tubuhku basah dan mulai berjalan pulang. Besok adalah besok. Cerita
ini masih panjang. []
>>Untuk Amelia
#Rumah_Lamongan, 5 Oktober 2014
#Rumah_Lamongan, 5 Oktober 2014
________________
Catatan:
1. Cerita selengkapnya ada pada cerpen “Melankolia Filicium”, karya Fahmin,
bersumber di Jogjareview.net, 27 Juli 2014.
2. Cerpen yang terdapat pada buku “Satu Hari Bukan di Hari Minggu” karya
Yetti A. KA. 2011. Gress Publishing.
3. Terjemahan dari lagu “Dearest” yang dinyanyikan oleh Ayumi Hamasaki,
dengan sedikit perubahan.
4. Hormon yang bertanggung jawab
memancing apa yang disebut para ilmuwan dengan ‘sepasang ikatan’.
5. Anggrek yang bunganya
kemerah-merahan.
NB: Sumber, Metro Riau, 28 Desember 2014.
ilustrasi dari Google
0 comments:
Post a Comment