Terbit di jogjareiew.net 22 Juni 2014
Pohon
yang Tumbuh di Kepalaku
Pagi itu, rumahku
benar-benar gempar. Keponakanku yang baru berusia satu setengah tahun menjerit
histeris sewaktu melihatku. Aku kira cuma mimpi, tapi kepalaku benar-benar
benjol sewaktu Mama memukulku dengan batang sapu.
“Pergilah kau, Setan!”
pekiknya.
Wah, kacau! Seumur
hidup, baru sekali ini aku dipanggil Setan. Gila!
“Ini aku, Ma!” kataku.
“Agung? Apa yang
terjadi pada dirimu?”
Yang terjadi padaku?
Entahlah, aku bingung. Sejak bangun tidur tiba-tiba saja sudah tumbuh daun di
kepalaku. Tak ada rambut. Semuanya daun.
“Itu pasti hasil
eksperimen gilamu lagi ya, Om?” kata keponakanku yang satunya. “Aku bisa maklum
kalau Om habis depresi karena putus cinta, tapi ya jangan mengubah diri sendiri
sebagai kelinci percobaan, dong! Itu melawan kodrat Tuhan namanya.”
Keponakanku itu ...
ingin sekali kucekik dia. Meskipun aku sempat pusing tujuh keliling karena
hasil Botanical Experiment-ku untuk
tugas akhir kuliah belum di-goal-kan
dosen, aku masih belum cukup sinting untuk mengubah diriku sendiri menjadi
spesies aneh di muka bumi.
Gara-gara peristiwa
naas yang menimpaku itu, selama dua minggu aku mengurung diri di rumah. Tidak
kuliah dan mogok kerja. Tak dapat kutanggung beban mental nanti bila ketemu
dengan orang-orang di jalan. Terakhir kali aku keluar rumah, bisik-bisik
tetangga sudah tidak sedap di telinga.
“Pasti dia kebanyakan
berbuat maksiat sehingga kena adzab,” kata ibu-ibu tetangga dekat rumah.
Aku mengelus dada,
meskipun aku jarang pergi ke masjid, tapi salat lima waktu tak pernah absen di
rumah. Aku juga bukan anak yang durhaka pada orang tua. Maksiat? Maksiat apa? Seenak perutnya saja mereka menyebarkan
fitnah. Jika kebanyakan dosa, itu seharusnya para suami mereka, semua
pohon-pohon di hutan habis dibabat mereka. Pohon yang dibiarkan tetap hidup
hanyalah pohon randu di batas desa, itu pun karena mereka takut berurusan
dengan jin penunggunya.
“Atau jangan-jangan dia
kena kutukan jin penunggu pohon randu itu?” timpal salah satu ibu-ibu yang
lain. “Kata suamiku, si Agung pernah kencing di pohon keramat itu.”
“Bisa juga itu ...,”
yang lain menanggapi.
Hadew, entah jin penunggu atau setan alas
macam apalah, jika masalahku bermuncul dari situ aku tidak bisa percaya. Apa-apa
harus bisa dijelaskan dengan sains agar bisa diterima logika. Ngawur sekali
ucapan mereka! Lama-lama bisa terkena darah tinggi aku karena ucapan ibu-ibu
itu. Aku jadi sebal keluar rumah, tapi karena kebutuhan yang mulai menuntut,
sekaligus dosen yang mengancam tidak akan sudih mengizinkanku ikut ujian
perbaikan nilai, aku terpaksa menampakkan diri kembali, sekaligus melatih
kesabaran untuk menerima kenyataan.
Kesabaranku ternyata
harus di mulai sejak membuka pintu rumah. Waktu itu kulihat Papa sedang mengecat
rumah. Aku kaget. Pemandangan rumahku kacau sekali. Anak-anak nakal para
tetangga rupanya mencoret-coreti rumahku dengan tulisan tak sopan, seperti:
“Agung makhluk jadi-jadian”, “Agung titisan jin pohon randu” dan ada yang lebih
kurang ajar lagi yang tentu saja tidak akan kukatakan padamu. Dan kau tahu?
Setelah bertekad untuk belajar bersabar, hari pertama itu aku sudah menjawab
ujian kesabaran itu dengan misuh-misuh tak keruan. Menyebalkan!
Di kampus, semua mata
tertuju padaku. Aku jadi buah bibir yang sampai dower dibicarakan. Dosen
pembimbing ekperimenku malah tertarik padaku. Beliau ingin menjadikanku boneka
analisanya. Awalnya sih aku ogah,
tapi karena dapat gratisan uang semester sebagai imbalannya, aku bersedia. Toh,
ada untungnya juga buatku untuk mengetahui gejala fenomena apa yang sebenarnya terjadi
dalam diriku.
Hampir satu bulan
berlalu, dan dosenku yang sudah menyandang rentetan titel itu ilmu dan
pengetahuannya tak kunjung bisa memecahkan masalah yang ada pada diriku.
“Mungkin kamu perlu
menemui orang pintar, Bro,” kata Norky, sahabatku.
“Maksudmu aku harus
mendatangi dukun? No way, Man! Itu
tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat agama. Demi Allah, dunia-akhirat, aku tidak akan minta tolong ke dukun!”
sahutku, mantap!
Tapi, waktu memang
kadang dapat membolak-balikkan perkataan. Tiga hari setelah sumpahku terlontar,
daun-daun di kepalaku tumbuh semakin lebat. Bahkan muncul ranting dan dahan. Ini
bukan sembarang
daun-daun lagi namanya,
tapi pohon. Kadang-kadang serangga hinggap untuk makan atau menjadikannya
habitat. Sungguh benar-benar menggangu. Rasanya gatal
dan risih sekali. Aku jengkel. Kutarik keras-keras pohon di kepalaku itu, tapi—aduh! sakitnya ... masya Allah, luar biasa! Sepertinya ada akar-akar kecil dari pohon
di kepalaku yang menancap sampai ke dalam otak, dan bagian daun yang terputus
itu meninggalkan nyeri yang membuatku menjerit-jerit. Ini benar-benar siksaan
bagiku. Aku tak tahan. Maka, apa boleh dibuat, aku pergi ke dukun.
Sepanjang perjalanan menuju
rumah terkutuk itu, yakni kediaman sang dukun, aku mengucapkan istighfar
berkali-kali, takut kalau-kalau laknat Allah disambarkan dari langit untuk
menimpa orang munafik sepertiku yang telah melanggar sumpah. Norky, kawan baik
hati yang mengantarkanku itu, selama perjalanan terkikik-kikik menahan tawa. Sungguh
kurang ajar betul!
***
Dukun
itu membaca mantra seperti orang gagu sakit ayan. Tangannya menari-nari di atas
asap kemenyan, mulutnya komat-kamit tak keruan.
Secawan air diteguk dan, bruussh...!
air kumurnya itu disemburkan di atas kepalaku. Sialan betul metode penyembuhan
orang sakti itu. Dalam hati aku mengutuk agar mulut dukun itu bengkak. Ia
terkekeh-kekeh dengan lagak menyebalkan.
“Tenang anak muda, besok pohon di kepalamu itu
akan gugur dan tumbuh lagi rambutmu,” katanya.
“Kenapa kepalaku bisa
tumbuh pohon, Mbah?”
“Mungkin karena kamu
pernah berbuat sembrono pada suatu tempat yang mengakibatkan penunggunya
mengutukmu, anak muda.”
Ia mulai menjelaskan
banyak hal-hal gaib yang berhubungan denganku, tapi aku tidak terlalu peduli dan
mengingatnya. Aku berharap
dukun itu benar, agar dosa yang kulakukan dengan berdatang padanya tidak
menjadi sia-sia,
meskipun jawabannya nonsense bagiku.
***
Keesokan
harinya, pagi-pagi aku malah tambah gusar. Benar-benar kampret si dukun itu!
Air jampi-jampinya bukannya melenyapkan pohon di kepalaku tapi justru
membuatnya tumbuh subur. Daun-daun pohon sialan itu tambah lebat, malahan tumbuh sulur-sulur yang menjuntai sampai ke
pantat. Mungkin Tuhan telah murka sehingga membuatku nampak sebegini rupa. Aku
menyesal sekaligus hilang akal. Aku keluar rumah dan berjalan gontai menuju ke
puncak bukit, tempat sepi yang biasanya membuatku merasa tenang. Sepanjang
jalan diriku diikuti sorakan anak-anak kecil,
gunjingan, serta kambing-kambing penduduk yang bernafsu dengan rambut hijauku. Rasanya aku menjadi seperti
orang yang tak bernyawa.
Sampai
di bukit, dari kejauhan kulihat desaku dengan rumah-rumah yang nampak seperti
miniatur. Dulu
rumah-rumah itu dikelilingi pepohonan hijau.
Sekarang
yang berwarna hijau hanya
pohon randu raksasa di batas desa saja.
Kuperhatikan sekumpulan orang mengerumuninya. Benar-benar desa yang lugu, pasti orang-orang itu
kembali melanggengkan kebudayaan ritual nenek moyang, yakni melakukan
sesembahan pada pohon yang dianggap keramat. Di desa ini kepercayaan terhadap
sesuatu yang belum jelas atau mitos begitu sering dipraktekkan ke masyarakat. Misalnya,
seorang anak sedang memasukkan kereweng1 dalam sakunya, ketika kutanya, ia menjawab bahwa hal itu dilakukan agar
dia tidak kebelet berak. Atau seorang ibu hamil yang enggan
makan cumi, katanya ia takut kalau nanti bayinya lahir akan berkulit hitam. Aku
ingin tertawa mendengarnya, tapi hatiku ngilu rasanya. Bagaimana jika
kebudayaan seperti ini tetap dilanggengkan oleh anak-anak desa generasi ke
depan? Kebodohan akan tetap lestari. Maka, semenjak aku menetap di desa ini,
impian yang kupunya adalah mengajar. Suatu cara memerangi kebodohan.
Singkat
cerita, tak ada sekolah yang menerimaku menjadi guru. Tapi, kabar baiknya, aku
dapat mengumpulkan anak-anak dan mendidik mereka secara non-formal. Pengetahuan
umum, keterampilan, budidaya ikan, sampai sastra dan filsafat. Semua itu kuberikan
sesuai tingkatan usia, minat, dan daya tangkap mereka. Ibarat pohon, aku senang
bisa memberikan buah buat orang lain. Dan aku bersyukur, jika melihat semangat
dan antusias mereka sekarang, aku bisa sedikit membaca harapan di desa ini.
***
Gempar. Lagi-lagi
gempar. Aku heran dengan desa ini. Kenapa selalu ada hal yang menggemparkan
tiap harinya. Pagi-pagi seusai membuka pintu rumah, sekumpulan penduduk
mengepung beranda rumah dan langsung bersila sewaktu aku berdiri di hadapan
mereka.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Pohon randu keramat
kami telah tumbang, tersambar geledek semalam,” kata ketua perkumpulan mereka.
“Lalu apa kaitannya
denganku?”
Belum sempat terjawab,
salah satu orang sudah membakar kemenyan dan sebagian yang lain membawa sesajen
makanan. []
#Rumah – Lamongan, 2 April 2014
Catatan:
1. 1.
pecahan genting
0 comments:
Post a Comment