Setiap
pagi dan sore wanita itu sering duduk di bangku halaman, dekat pohon imboh
samping rumahku. Sering kutemukan ia membawa secarik kertas dan menulis sesuatu
di sana. Katanya yang ditulis adalah surat untuk suaminya tercinta, seorang
pelaut yang sudah sangat lama tidak pernah terlihat lagi.
Aku
bertanya padanya, bagaimana ia dapat mengirimkan surat itu pada suaminya.
Sambil menunjuk pada burung-burung gereja yang sering bertengger di pohon
imboh, dia berkata bahwa merekalah si makhluk baik hati yang senantiasa
mengirimkan suratnya.
Entah
sudah tahun yang ke berapa dia masih tetap menulis surat, hingga pada suatu
hari dia terlihat sangat murung di bangku itu. Dengan berusaha menyembunyikan
isaknya, ia bilang padaku bahwa ia sudah lelah menunggu surat balasan dari
suaminya yang tak kunjung datang. Aku hanya bisa iba dan membimbingnya pulang.
Dan
kemarin, ketika aku sepulang kerja, dia menghampiriku. Wajahnya berseri-seri di
bawah langit senja yang hampir meredup.
“Aku mendapatkan balasan surat dari suamiku,”
katanya sambil menitikkan air mata. “Ia akan datang dan membawaku ke puncak
menara Eifel yang tinggiiiiiiiii sekali,” imbuhnya dengan sangat antusias. Aku
tersenyum melihat ia sebahagia itu. Tiba-tiba aku terbersit sesuatu:
“Siapa
yang mengantarkan suratnya padamu?” tanyaku.
“Tentu
saja seekor burung yang ia mintai tolong. Itu burungnya,” ia menunjuk ke pohon
imboh.
Aku
terperanjat. Itu burung gagak.
Rumah, Lamongan_14 Januari 2013
Sumber: majalah FRASA edisi 10 tahun 2013
0 comments:
Post a Comment