Cerpen ini adalah cerpen yang tak terlupakan dalam karir saya. Alasannya adalah ini cerpen saya yang saya buat secara spontan ketika secara tak sengaja mendapat ide dan sekaligus ini tulisan saya yang pertamakali dimuat di media, tepatnya majalah AKBAR edisi September 2011. Well, selamat membaca.
Lelaki Tua di
Tepi Laut
Angin bertiup tenang,
menggiring ombak-ombak kecil datang silih berganti, bergulir lembut dan tanpa
henti. Tak satupun dari pohon-pohon bakau yang terlihat menggoyangkan
daun-daunnya dari arah timur. Namun udara tetap dingin. Daratan juga lembab.
Awan-awan kelabu menyelubungi permukaan langit, hanya ada beberapa cercah
cahaya mentari yang menembus awan-awan itu. Suasana sepi di tepi laut pagi ini.
Aku
duduk diantara buis-buis1
yang berbaris di tepi laut. Melayangkan pandanganku ke penjuruh buana. Tepat di
hadapanku, terlihat jelas garis horisontal yang merupakan batas titik temu
antara langit dan bumi. Meskipun pagi
tidak cerah, tetapi dengan pemukaan yang tenang laut memperlihatkan pesona cantiknya.
Dari jauh pandangan, terlihat dua orang
yang hanya tinggal separuh tubuhnya
melayang di atas permukaan laut. Mereka sedang menjala ikan dan jarak
mereka berjauhan. “Kenapa kalian tidak saling berdekatan saja? Bukankah akan
lebih menyenangkan bila ada teman bicara?” batinku.
Di sebelah
timur, ada seseorang berdiri di atas brok2
yang mejulur ke laut. Kuperhatikan sudah dari tadi dia berdiri di
ujung brok itu. Bahkan sebelum aku tiba di sini dia sudah ada di situ. Ia memandang
lurus ke depan; laut yang tepat di depannya itu, juga dua orang yang sedang menjala tadi.
Sesekali ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku memandangnya dengan heran. Tetapi
ia tidak memperhatikanku. Ia mulai menoleh ke kiri. Dengan perlahan, ia memutar
kepalanya dan pandangannya telah
sampai ke arahku. Kali ini pandangannya terkunci padaku.
Kami saling bertatapan. Tapi, tidak terlihat ekspresi apapun dari
wajahnya. Wajahnya keriput. Sama halnya dengan mantel hitam yang ia kenakan:
Usang dan kusut. Ia berjenggot dan berkumis lebat. Rambut ikal panjang berwarna
kelabu. Aku tidak biasa bicara dengan orang asing. Hanya kutunjukkan ekspresi
wajahku yang seolah berkata, ”apa yang sedang kau lakukan di situ?” Dan
beberapa detik kemudian, ia dapat mangkap pesan singkat yang kusampaikan lewat
ekspresi wajahku itu. Dan ia membalasnya: Dengan sebuah senyuman.
“Jalan-jalan?” tanyanya. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum padanya.
“Apa kau suka dengan tempat ini?” Dari jarak yang agak berjauhan, suaranya
hanya dilontarkan dengan nada yang biasa saja, tapi aku bisa menagkapnya dengan
jelas. Aku menaikkan kedua
bahuku, lalu mulai menghampirinya.
“Mungkin akan lebih menyenangkan jika seandainya sedikit ramai disini,”
ujarku.
“Tampaknya kau kurang beruntung. Ini bukan pagi yang cerah, jadi tidak ada
pengunjung yang datang.”
“Anda benar.”
“Dari mana kau berasal?”
“Saya tinggal di desa sebelah.”
“Kenapa kau sendirian?”
Aku
menciutkan alis mendengar pertanyaannya itu. Kenapa kau juga sendirian! Dasar orang aneh, batinku.
“Teman-temanku sudah pulang duluan,” jawabku kemudian.
“Oh, begitu. Aku sangkah kau hanya menginginkan waktumu sendiri.” Ia menoleh
dan menatap dua orang yang sedang menjala itu.
Aku tidak
mengerti maksudnya. Sebaiknya tidak perlu kutanggapi. Masa bodoh dengan yang ia
ucapkan. Dia aneh. Lagipula ia sudah mulai diam kini. Dan saat ini, ia merogoh
saku di balik mantelnya lalu mengeluarkan sesuatu.
“Rokok?”
“Tidak, terimakasih.”
Dia
menyulutnya, menghisapnya dalam-dalam, lalu mengeluarkan asapnya bersama
hembusan nafas panjang. Dan setelah itu dia batuk-batuk. Cukup keras. Nafasnya
mulai terengah-engah kini. Dari itu, ia mulai membuatku heran kembali dan memaksaku
bicara lagi padanya—saat ia menghisap rokoknya kembali dan batuk lagi.
“Kelihatannya Anda sedang dalam keadaan yang tidak baik,” ujarku. ”Sebaiknya
Anda
berhenti merokok.”
“Ini sudah menjadi teman setiaku, Nak,” jawabnya sambil mengacungkan
rokoknya. ”Rokok ini, dan juga laut ini.” Telunjuknya mengarah pada laut di
depan.
“Anda sering berkunjung ke sini?”
“Hampir setiap hari.”
“Apa Anda tinggal di dekat sini?”
“Tidak, tetapi rumahku tidak terlalu jauh dari sini.”
“Tampaknya Anda sangat menyukai tempat ini, tetapi kenapa Anda melewatkannya sendiri?” Ia menoleh ke
laut itu, menghisap rokoknya lagi dan menghembuskan asapnya.
“Kebersamaan memang sangat perlu. Begitu juga seperti yang bisa kudapatkan
di tempat ini. Setiap hari aku berjumpa dengan orang-orang; mengobrol, tanya
kabar, bergurau, dan mendapatkan kedekatan hanya dalam waktu singkat. Tetapi,
aku juga berpisah dengan mereka. Hanya dengan waktu yang singkat pula. Besok
akan ada orang lain lagi yang akan datang. Dan orang lain lagi yang akan pergi.
“Lalu saat ini...” Ia berhenti bicara dan kembali menyulut rokok, lalu
memandang laut. “Saat ini, aku hanya bisa mengingat mereka di sini. Di laut ini.”
Aku tidak
tahu harus berkata apa padanya. Aku juga tidak begitu mengerti dengan apa yang ia rasakan. Aku mengikutinya
memandang laut itu. Permukaan laut mulai
tidak tenang. Dua orang yang sedang menjala itu mulai menepi. Angin mulai
berhembus kencang. Ranting pohon-pohon bakau di sebelah timur kami mulai
mengibaskan daun-daunnya. Dan awan hitam pun mulai menumpahkan kandungannya.
“Sebelum cuaca bertambah buruk, kita harus segera pergi dari sini,” ujarku.
”Apa perlu saya mengatarkan anda pulang?”
“Aku tidak mau merepotkanmu, Nak,” tukasnya. “Pulanglah dulu, kau masih sempat
melakukannya mumpung baru gerimis.”
Ia kembali
batuk-batuk lagi. Kali ini semakin parah. Aku tahu itu bukanlah batuk biasa.
“Dengan kondisi seperti itu Anda seharusnya segera pulang.”
“Jangan khawatirkan aku. Aku
akan segera berteduh di situ,” ia menunjuk gubuk tua yang ada di pinggir tambak
perikanan dekat laut. ”Dari situ laut masih tampak jelas.”
“Saya akan segera pergi. Apa Anda yakin?”
“Ya. Biarkan aku sendiri menikmati laut itu sebentar lagi,” tukasnya sambil
tetap berdiri memandang lurus laut itu.
Aku
menatapnya untuk terakhir kali.
“Ya, sebentar lagi. Sampai hisapan terakhir temanku ini.”
Ia kembali
menghisap rokoknya yang terlihat ujungnya tinggal sedikit.
[]
#Laut_Lohgung,
16 Desember 2010
_____________________
1.
Buis, sebuah
cetakan dari semen yang melingkar yang di tata di tepi laut guna melindungi
tanah dari ombak.
2.
Brok, sebidang
tanah urugan di tepi laut dengan bertepi bebatuan yang di tata agar tidak
terkikis air laut.
gambar: google
0 comments:
Post a Comment