Sastra
hanyalah sebatas narasi teks setelah ia tercipta. Sebaliknya sastra itu hidup
ketika ada pembaca yang menghidupinya. Menurut Maman S. Mahayana, dari sebuah
pembacaan itulah makna sastra akan meneyeruak, lalu menyelusup dan menjalari
hati dan pikiran pembaca. Dari situ,
sastra seolah menjelma virus yang mengganggu serta menggugat hati nurani. Karya
yang baik akan menanamkan nilai-nilai positif kehidupan.
Adapun
karya-karya klasik seperti Hamlet
yang ditulis oleh Shakespeare berabad-abad silam bisa tetap ada sampai sekarang
adalah salah satu buktinya bahwa pembacalah yang menjaga kelangsungan hidup
karya tersebut.
Dalam
hal ini antara pembaca dan penulis memiliki peran dalam sebuah karya. Penulis
bertugas untuk melahirkan karya sastra, sedangkan pembaca yang
memeliharanya—dalam artian bahwa pembacalah yang memaknai sebuah karya, dan ia
punya hak mutlak mau diarahkan ke mana nanti sebuah karya itu. Sedangkan
penulis yang telah melahirkan karya tersebut, sudah tidak mempunyai peran lagi
terhadap karya yang dilahirkannya, sebab dalam teks karya tersebut sudah
lengkap membangun elemennya sendiri. Ia hanya sebatas mesin penulis saja. Hal
ini sejalan dengan Roland Barthes dalam artikelnya The Death of the Author yang menyatakan pengarang sudah mati ketika
ia melahirkan karyanya.
Pesan
Roland barthes di atas memilki dukungan masa yang kuat bagi para sastrawan.
Tetapi reaksi kontra yang muncul pun banyak.
Seorang sastrawan peraih Hadiah Nobel berdarah Yahudi, Imre
Kartesz, pernah menyatakan bahwa tindak penciptaan sastra merupakan kegiatan
privat, sesuatu yang pribadi. Artinya tindak penciptaan sastra seorang
sastrawan dilakukan untuk melayani atau memenuhi kebutuhan seorang sastrawan
itu sendiri. Ini disebabkan karena seorang sastrawan menulis bukan untuk
siapa-siapa melainkan untuk dirinya sendiri.
Bagi seorang penulis, dunia adalah kenyataan objektif yang
senantiasa berada di luar dirinya. tetapi, sedangkan ia menulis kenyataan itu
dengan cara subjektif. Pandangannya tentang kehidupan, dinamika sosiologis,
kebudayaan, atau ideologinya tentu berbeda dan bisa saja tidak dipahami oleh
pembaca. Lantas jika penulis tersebut “mati” setelah menciptakan karya, lalu
bagaimana bisa karyanya tersebut sampai ke dalam hati pembaca? Dalam hal ini,
penulislah yang lebih memungkinkan untuk menjadi jalan penghubung antara
karyanya ke pembaca.
Sumber
referensi:
Mahayana, Maman S. 2013. Makhluk Sastra. Dalam Majalah Surah
edisi ketiga.
0 comments:
Post a Comment