alhamdulillah, mulai 1 maret blog ini tercipta, salam kenal semuanya, senang sekali ada yang membaca tulisan saya, semoga dengan ini kita bisa saling bersilaturrahmi. Dan tepat di tanggal ini, ada cerpen saya yang termuat di Metro Riau yang mana selanjutnya saya post di blog ini sabagai tulisan yang pertama. selamat membaca.
Produk Cinta yang
Terakhir
“Selamat
pagi, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” sambut si pelayan toko. Masih terlalu
pagi waktu itu, toko tersebut baru saja buka pintu. Aku satu-satunya pembeli
yang datang. Dia itu menyuguhkan hangat mentari lewat senyumnya.
“Saya
ingin memesan cinta, yang paling manis,” kataku. Dan wajah gadis yang
bermentari tadi, seketika itu di selimuti mendung karena permintaanku, dia
melirik seseorang lelaki yang berdiri di
sudut ruangan, mungkin itu bosnya, dan dia menatapku. Mata kami beradu.
Pandangannya menyelami seluruh diriku. Lalu ia mengangguk pada rekannya tadi,
membuat bibir gadis pelayan itu tertarik melengkung. Aku rasa itu senyum yang dipaksakan, tapi tetap hangat.
“Akan
segera kami siapkan, mohon tunggu sebentar.”
Lelaki
di sudut ruangan itu segera memberi isyarat pada semua rekannya, lalu mereka memasuki ruangan khusus. Pintunya segera
ditutup. Tergantung papan tulisan di pintunya, “Kecuali karyawan dilarang
masuk”.
Saat
itu, di luar toko yang menjual cinta tersebut diselimuti bunyi riuh dari sekumpulan
orang-orang di tengah kota. Suasana pagi yang benar-benar rusak. Perbedaan
selera kriteria calon pemimpin negara membuat kota ini menjadi ribut sekali.
Aku bertanya-tanya, seperti apakah wujud keharmonisan dalam negeriku setelah
ini?
“Seperti
apa seharusnya cinta itu harus diberikan?” tanya Ibu kemarin terngiang di
kepalaku.
Aku
belum memiliki jawaban yang tepat. Mungkin karena aku punya banyak dosa.
Beberapa
jam aku duduk di toko itu. Pesananku belum juga jadi. Kakiku mulai gugup. Aku
harus segera menemui seorang gadis setelah ini, membawa cinta yang paling manis
sebagai hadiah untuk melamarnya, sebelum dia meninggalkan Indonesia. Kurai
remot, menyalakan TV. Berita-berita pertikaian, perbedaan dan pengkhianatan
beruntut disiarkan. Mengapa semua tempat sering terdengar kabar demikian? Hanya
di toko ini sajalah seakan-akan tempat yang tenang. Dan aku sendiri heran,
mengapa satu-satunya toko yang menjual cinta ini berada di tempat yang sepi,
bukan di jantung kota?
Beberapa
menit kemudian, pelayan tadi menghampiriku dengan tertatih-tatih. Seragamnya
yang semula berwarna merah muda, kini berubah menjadi merah tua. Darah
membuatnya basah.
“Ini
pesanan Anda, Tuan.” Ia menyerahkan cinta dalam bingkisan kotak yang menarik
padaku, lalu tubuhnya segera roboh di lantai. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya
dan berteriak minta tolong. Namun tak ada seorang pun yang datang. Di mana
orang-orang tadi?
“Apa
yang terjadi padamu?”
“Itu
produk cinta kami yang terakhir, Tuan. Kami membuatnya dengan nyawa kami. Dan
itu asli. Bukan imitasi. Karena kami tulus.” Ia tersenyum lemas. “Semoga Anda
bahagia menikmatinya.”
Belum
sempat kubayar cinta itu, tapi mereka semua telah mati. Entah berapa harganya. Pastinya
itu bukanlah harga yang murah.
***
Begitulah
awal kisah dari sejarah yang akan kusampaikan ini. Keluar dari toko itu, aku
membawa kotak bingkisan berisi cinta tersebut melewati pinggiran jalan.
Papan-papan iklan memapang wajah-wajah orang yang menawarkan kejujuran, kemakmuran,
kesehatan, pendidikan, keadilan dan juga hal yang terdengar mustahil sekalipun.
Apakah semua itu akan benar-benar dijual? Terbersit pikiran di benakku, entah
dari mana mereka bisa memproduksi semua itu. Kadang memang terasa gila, semua
hal dapat diperjual-belikan untuk memenuhi kebutuhan. Dan kebutuhan seseorang
itu aneh-aneh. Manusia pun akhirnya bisa jadi makhluk aneh. Kehidupan menjadi
tak tenang, selalu ramai seperti pasar.
Apakah
kehidupan itu adalah sebuah perdagangan? Sebab tak ada yang gratis di dunia
ini.
Dari
belakangku terdengar suara yang parau. “Anak muda, tunggu!” Seorang kakek-kakek
tergopoh-gopoh mengejarku. Napasnya seperti orang sekarat. “Tadi aku melihatmu
keluar dari toko, sebelum akhirnya di
dalam tokoh itu kutahu sesuatu yang buruk terjadi dan tempat tersebut tak akan
buka lagi.”
“Apa
yang Anda inginkan dariku?” tanyaku. Tatapannya melekat pada bingkisanku.
“Aku
sudah jauh-jauh kemari. Tolong kasihanilah orang tua yang papa sepertiku, aku
ingin merasakan cinta sebelum maut datang menjemput.”
“Jangan...!”
pekik seseorang yang muncul tiba-tiba dari belakang. Entah siapa dia, jas
hitamnya tampak licin dan mengilat. “Aku akan membayar kotak itu berapapun maumu.”
“Diam,
kau, Bajingan!” umpat si Kakek, lalu ia menoleh padaku, “Dia adalah pengusaha
yang akan melakukan apapun demi mendapatkan keuntungan pribadinya.”
“Lebih
baik kau serahkan itu padaku, Anak muda.” Datang lagi seseorang entah dari arah
mana. “Negeri ini perlu kebahagiaan, kau harus memberikan benda yang kau miliki
itu demi kepentingan seluruh umat.”
“Jangan!”
teriak dua orang itu bersamaan. “Bisa jadi dia politikus kotor.”
Lalu
desing-desing peluru mengakhiri pertengkaran mereka. Ketiga orang itu menjadi bangkai
jalanan. Dari seberang jalan muncul seseorang berwajah garang dengan senapan
laras panjang di tangan. Di belakangnya berderet orang-orang yang sama buruk
penampilannya. Mereka berjalan mendekatiku. “Cepat serahkan kotak itu, atau
tubuhmu yang berikutnya tumbang!”
Tanganku
gemetaran. Kucoba seerat mungkin memegang kotak bingkisanku. Lalu kudengar bunyi
sebuah logam menggelinding di antara suara-suara tapak sepatu. Sebuah granat. Meledak,
melemparkan tubuhku ke udara. Pandanganku menghitam. Mataku terlumuri darah. Kepalaku
seperti terbakar, kulit pelipis kiri mengelupas. Samar-samar kulihat banyak
tubuh bergelimpangan. Akibat ledakan tadi, suara-suara teriakan mereka sulit
diserap gendang telingaku, hingga beberapa detik kemudian, suara kekacauan itu
terdengar sangat menakutkan. Para penjahat tadi melemparkan apapun yang ada di
tangan mereka. Batu, parang, peluru, molotov, granat, semuanya berterbangan ke
arah seberang. Sebaliknya, dari arah lawan, segerombolan orang sejenis
melakukan hal yang sama.
“Telah
terjadi kekacauan yang menewaskan banyak korban,” seru seorang reporter kepada cameraman-nya. Liputan siaran langsung
di sekitar area. Aku tak habis pikir, kenapa semua ini begitu cepat terjadi? “Diduga
malapetaka ini terjadi bersumber dari sekotak cinta yang dibawa oleh seorang
lelaki.” Sorot kamera itu mulai menangkapku. Ini akan menjadi buruk dan semua
dunia akan tahu.
Aku
segera berlari dan harus meninggalkan kota yang terkutuk itu.
“Dia
kabur!” seru beberapa penjahat tadi.“Tangkap dia!”
Desing-desing
peluru berloncatan di telingaku. Dua kelompok penjahat sedang memburuku dengan saling menyerang satu sama
lain. Di jalanan, telunjuk-telunjuk orang menuding padaku. “Itu dia! Orang yang
di dalam berita, si pembawa cinta. Kejar! Kejar!”
Sekarang
aku menjadi buronan, si “Pelarian Cinta”.
Sebuah
tank muncul, memuntahkan kesaktiannya. Orang-orang yang memburuku itu
porak-poranda. Mati karena cinta. Aku sedikit lega, ternyata militer datang
untuk menyelamatkanku. Tapi rupanya aku salah. Dari udara, seseorang dalam
helikopter tengah mengincarkan senapan M-16 padaku. Aku berlari mati-matian,
menghindari maut yang berlesatan dari mulut senapan itu.
“Musnahkan
orang-orang itu, basmi semua pengacau negeri ini beserta benda yang menjadi
biang-keladinya,” suara komando dari dalam helikopter.
Sekarang
bukan hanya orang-orang gila karena cinta yang memburuku. Setan pun ikut-ikutan.
Peluru
dan meriam terus saja dimuntahkan ke arahku. Gedung-gedung ambruk. Anak-anak
dan perempuan menjerit-jerit. Orang-orang yang tak bersalah berlari seperti
kerumunan semut diusik raksasa. Satu meriam berdentum beberapa meter dariku,
membuat udara membantingku. Kotak cinta itu terlepas dariku, terinjak-injak
oleh kaki-kaki yang sibuk menyelamatkan diri. Pontang-panting, aku bergegas
mengambilnya, lalu menyelusup masuk ke dalam reruntuhan bangunan.
Ruangan
itu kecil. Gelap dan pengap. Kusandarkan punggung dan menikmati momen untuk
bernapas sepuas-puasnya. Tiba-tiba muncul sorot cahaya menggerayangi seisi
ruangan. Seseorang menemukanku.
“Aku
mengenalimu lewat saluran TV beberapa jam tadi,” katanya. “Kondisimu sekarang
buruk sekali.”
Kurasakan
perih dan panas membakar kulitku, juga nyeri yang meminta tubuhku dikasihani.
“Sebaiknya
berikan cinta itu padaku, akan kujagakan baik-baik untukmu.”
Dari
apa yang kualami sepanjang hari ini, membuatku sulit percaya pada siapapun.
Semua orang menyimpan rahasia dalam matanya. Dan sebelum dapat kubaca sorot
mata orang itu, sebuah kilau lebih dulu menarik pandanganku. Craassh...!!
Dia
menyayatkan sebilah pisau ke tanganku. Kotak cinta itu terjatuh. Dia melesat
untuk meraihnya. Kulemparkan tubuhku dan berguling-guling ke tanah, bergulat
dan berebut cinta dengannya.
“Itu
dia!” terdengar bunyi seorang tentara. Selanjutnya senjata mereka yang
bersuara. Lelaki yang bergelut denganku itu mati tertembak. Sedangkan aku berhasil
melarikan diri dari ruangan tersebut. Di luar sana, orang-orang saling
berseteru dengan para tentara. Balas dendam atas anggota keluarga dan sekawanan
yang tewas karena perburuan ini. Sebuah granat dijatuhkan, dan tubuhku
terlempar bersama beberapa tubuh yang lain. Seluruh badanku menolak untuk
kugerakkan. Dari beberapa meter, kulihat kotak yang kubawa tadi telah keluar
isinya. Berantakan. Lalu molotov jatuh. Dan habis sudah...
Cinta
terakhir di dunia ini telah musnah.
***
Seperti
apakah cinta itu?
Aku
merasa sangat sedih jika suatu saat nanti anak-cucu kita bertanya tentang apa
itu cinta. Sebab cinta hanya ada dalam sejarah. Maka ceritakanlah mereka
tentang kisah ini, agar mereka tahu, apa pentingnya sejarah itu.
#Rumah_Lamongan, 1
Ramadhan 2014
0 comments:
Post a Comment