Sebuah Dongeng Tentang Perempuan
Pendosa
Rembulan perlahan tertelan oleh
awan-awan hitam. Langit berubah suram. Suara serangga tak terdengar. Angin riuh
seperti suara setan. Daun-daun pepohonan bergemerisik ketakutan. Segerombolan kelelawar
terbang di atas bubungan—menjadi beliung yang membumbung ke langit, lalu pecah,
berhamburan ke segala arah.
Para lelaki bergerak menuju hutan.
Masing-masing di tangannya menggenggam sabit dan parang. “Tidak ada tempat bagi
pendosa! Tidak ada tempat bagi pendosa!” pekik mereka.
Di depan gerombolan lelaki itu,
seorang perempuan berlari dengan nafas tersengal-sengal. Darah segar mengalir
di kakinya. Darah yang berasal dari liang rahimnya. Dengan menahan sakit di
perutnya yang luar biasa, ia terus berlari, berlari menyelamatkan diri.
“Tidak ada tempat bagi pendosa!” Para
lelaki semakin menyusul perempuan itu.
Lelah merajam diri, perempuan itu
sudah tak sanggup lagi berlari. Ia berjalan dengan terlunta-lunta menyusuri
tepi hutan. Ranting-ranting pepohonan seakan menjadi tangan-tangan yang berusaha menghalangi jalannya. Dan ia
terus menyibak ranting-ranting itu, berusaha membuka jalan yang baru: suatu
tempat yang memberinya perlindungan—atau sekedar mengadu.
Entah di mana ada tempat seperti seperti
yang diharapkannya itu. dunia seolah menyempit, dan di manapun perempuan itu
berpijak, ia selalu terjajah oleh para lelaki yang memburunya.
Akhirnya, perempuan malang itu pun terjatuh.
“Robek perutnya! Robek perutnya!” Para
lelaki berhasil mengepungnya. Kilat berdenyar, memperjelas wajah mereka: penuh
borok berlumur nanah. Mereka memandangi
perempuan itu dengan mata serigala. Salah seorang di antaranya maju, mengencinginya.
Lalu yang lain datang, mengangkat parang.
Dan sebuah jerit panjang membuncah, jerit
sakit yang membelah angkasa.
***
“Sudahlah,” kata seorang pemuda,
“itu hanya mimpi belaka, Eriza.”
“Tapi ini sudah yang ketiga
kalinya,” kata Eriza. Ia bangkit dari duduknya dan memunggungi pemuda tersebut.
Cahaya bulan yang keemasan jatuh di wajahnya. Sambil menatap benda langit itu,
ia teringat pada kakeknya, lelaki tua yang tinggal di desa di mana sekarang ia
kunjungi. Kepada Kakek ia merasakan kasih sayang. Sebuah perlakuan yang tidak
ia dapatkan dari ayahnya sendiri. Mungkin Kakek dapat membantu menghilangkan
ketakutannya—setelah ia menceritakan mimpi yang ia alami. Atau justru ia akan semakin
ketakutan. Kakek sering menceritakan sebuah dongeng kepada Eriza setiap kali berkunjung
ke rumahnya. Sebuah dongeng tentang perempuan pendosa. Ada kerisauan di benak
Eriza setiap kali mendengar cerita itu, bukan karena isi ceritanya, tetapi
karena Kakek seolah menyimpan kepedihan yang teramat dalam setelah bercerita. Entah kenapa.
Lamunan Eriza segera sirna setelah
tangan pemuda itu tiba-tiba berada pada bahunya. Eriza menoleh dan menatapnya.
Dalam. Pemuda itu memiliki sorot mata yang hampir sama dengan Kakek. Mungkin
karena itulah sebabnya, setiap kali menatapnya, Eriza merasa sesuatu yang… entah
kenapa.
“Sudahlah, semua akan baik-baik
saja,” kata pemuda tersebut.
“Menurutmu, mengapa perempuan dalam
mimpiku itu harus dibunuh?” tanya Eriza. Lelaki itu hanya diam menatapnya
dengan pandangan yang tak dapat
ia
mengerti. “Ah, sejak awal kau memang tak…”
Eriza tak dapat meneruskan perkataannya. Bibirnya telah
sibuk dikulum pemuda itu. Perlahan, satu persatu kancing bajunya di buka. Gadis
itu hanya membiarkannya saja.
Di celah-celah ranting pepohonan, rembulan
mengintip mereka di tepian hutan.
***
Setiap petang menjelang, para penduduk dukuh
geragapan mengunci pintu dan jendela rumah. Malam berubah menjadi kuburan. Seluruh
keluarga menggerombol di ruang tengah. Anak-anak meringkuk dalam sarung
bapaknya. Para perempuan bersandar pada bahu lelakinya. Para lelaki hanya diam,
diam memendam tulah yang menggelisahkan. Sementara para ibu gemetaran
mengulang-ulang doa tolak bala. “Pergilah kau, Pendosa, pergilah jauh-jauh…” Saat
itulah, saat ketika kesunyian terasa sangat panjang dan menggelisahkan, sayup-sayup
terdengar suara rebab dari kejauhan. Suaranya menyayat-nyayat, setiap
gesekannya seolah mengiris-iris orang yang sekarat. Di luar sanalah, sesosok
bayangan tertatih-tatih keluar dari kelimut kabut. Seakan begitu saja muncul
dari ketiadaan. Dengan terseok-seok, dia menyeret rebab. Rambutnya hitam
panjang tergerai berantakan, sesekali berkibaran sama seperti selendang di
lehernya. Ujung gaunnya hitam, penuh bercak lumpur.1)
Di perbatasan dukuh, sosok itu akan
berhenti. Lantas bersimpuh, lalu bersandar pada sebatang kayu. Sesudah itu ia
akan menengadah ke langit. Menunjukkan liang matanya yang hitam. Tak ada
isinya. Seseorang telah mencongkel biji matanya. Sebab ia pendosa. Sebab ia
berzinah.
“Begitulah, Eriza,” ujar Kakek, “apakah
Kakek membosankan karena sering kali menceritakan dongeng ini padamu?” Eriza
menggeleng-geleng. “Aku hanya ingin kau mengambil pelajaran dari kisah tadi.”
Dan seperti sebelumnya, wajah kakek pun
murung. Entah mengapa.
Itu hanyalah dongeng, batin Eriza.
Perlahan ia meraba perutnya, sesuatu tengah menggeliat di dalamnya. Sebuah
kehidupan. Ataukah kutukan?
Dari luar rumah, samar-samar
terdengar bisik-bisik tetangga, “mereka benar-benar mirip.” Eriza mengernyit,
lalu ia menoleh pada Kakeknya. Lelaki tua itu dalam keadaan hampa.
Malam mulai larut, mereka pun
memasuki kamarnya masing-masing. Tidur.
“Bruakk..!!” Tiba-tiba saja, gebyok2) kamar Eriza
porak-poranda. Wajah-wajah penuh borok bernanah menerjang masuk dalam kamar
Eriza dan mengepung ranjangnya. “Tak ada tempat bagi pendosa! Tak ada tempat
bagi pendosa!”
Gadis itu terperanjat. Nafasnya
megap-megap. Keringat mengalir deras dari pelipisnya. “Hanya mimpi, hanya
mimpi,” gumamnya, gemetaran. Ia keluar dari kamar, menuju ke teras rumah.
Tengah malam itu, ia menengadah, memandang bulan dengan sinar kuning keemasan.
Warna yang sama dengan sorot cahaya yang keluar dari mata perempuan dalam dongeng
Kakek.
Adakah rembulan menyimpan banyak
rahasia? pikir Eriza. pastinya rembulan itu tahu semuanya, tentang rahasia yang
dimiliki oleh perempuan itu. Ya, bukankah perempuan itu sering menengada
jikalau malam tiba? Saat itulah ia bercerita, bercerita tentang semuanya lewat
kupu-kupu yang keluar dari lubang matanya, yang sekaligus mengeluarkan cahaya
keemasan dan menyorot ke langit. Sorot
cahaya itu kemudian menjadi jalan bagi kupu-kupu untuk sampai pada rembulan. Kepadanyalah makhluk-makhluk
bersayap itu menyampaikan rahasia perempuan tersebut. Ya, rembulan. Sebab,
kadang seseorang menghilang ketika ia dibutuhkan, seperti kekasihnya. Tapi
tidak dengan rembulan, Ia akan selalu ada untuk siapa saja dan dengan sabar
mendengarkan kisah seseorang yang dimabuk gulana sepanjang malam. Dan, Eriza
bertanya, apakah rembulan akan berkenan menceritakan rahasia hidup perempuan
malang itu? Ah, mengapa berharap demikian, bukankah itu hanyalah dongeng?
Tapi keesokan harinya, Kakek telah menceritakan
bagian yang lebih awal dari dongeng tentang perempuan tersebut.
Penduduk dukuh telah merajam
perempuan itu, sebab ia berzinah. Ia diseret di tengah lapangan. Dipukuli. Dijambak-jambak
rambutnya. Dicakar mukanya. Namun ia tetap bungkam bilamana mereka bertanya siapa
lelaki yang telah berbuat nista dengannya. Ia lebih memilih dirajam ketimbang
harus mengatakan siapa lelaki tersebut, lelaki pengecut yang tengah bersembunyi
ketika ia disiksa. Perutnya yang buncit ditendang. Ia mengerang kesakitan. Lalu
penduduk melemparinya batu. Mukanya tak
lagi ayu, darah melumuri wajahnya hingga semua orang tak lagi dapat mengenal ia
siapa. Setelah itu, seseorang datang dengan sebilah pisau lalu mencongkel kedua
bola matanya. Tak ada pemakaman. Setelah mati, mayatnya dibuang begitu saja di
hutan.
Hingga pada suatu malam, ketika
penduduk keluar rumah, sertiap muka mereka dipenuhi borok berlumur nanah.
“Kutukan, ini kutukan!” kata mereka satu sama lain dan meyakini bahwa semua itu
disebabkan oleh perempuan pendosa itu. Maka, mereka pun kembali ke hutan,
mencari mayat perempuan itu. Dia harus dibakar, lalu abunya ditaburkan pada borok
mereka agar kutukan tersebut hilang. Namun, mayat perempuan itu hilang.
***
“Kau mau pergi?” tanya Eriza pada seorang
lelaki, pemuda dukuh itu.
“Aku ada urusan,” katanya, sambil
mengancingkan baju.
Eriza menarik pakaiannya yang
tertanggal di tanah dan menutupkannya ke dada. “Kau pergi begitu saja setelah
apa yang kita lakukan? Baru tiga puluh menit kita bertemu, kau langsung
menyetubuhiku dan setelah itu kau tinggalkan aku sendirian begitu saja?” ia
mendesah.
Lelaki itu mengecupnya. “Lain waktu
aku akan jadi milikmu sepuasnya. Aku janji.”
Eriza menarik lengannya. “Aku kangen
kamu…”
Ia melepaskan tangan Eriza. Berlalu.
Eriza membeku.
Ah, betapa lelaki memang selalu
mengutamakan kemauannya sendiri. Tetapi, bagaimana bisa seorang perempuan masih
tetap mencintainya?
Senja mulai terbenam. Eriza berjalan
pulang sendirian. Dalam hatinya berkata, ia takkan kembali ke dukuh itu dalam
waktu yang lama. Setidaknya sampai lelaki itu membutuhkannya.
Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu.
Empat, lima, enam, tujuh. Tujuh minggu hingga tujuh bulan berlalu dan lelaki
itu tak menghubunginya. Eriza direndam dilema. Perutnya sudah seukuran bola
basket. Sang Ayah kecewa, tak mau bicara lagi padanya. Ingin ia kembali pada
Kakek, mungkin pada lelaki tua itu ia akan merasa bebannya berkurang. Tapi,
alangkah sedihnya ia jika seandainya mengetahui cucunya hamil tanpa seorang
ayah. Lelaki tua itu selalu mewanti-wantinya3),
tetapi Eriza tetap melanggarnya juga. Tidak ada tempat bagi Eriza. Tidak ada
tempat.
Sayangnya, berita tentang Eriza
telah sampai ke telinga Kakek. Dengan cepat menyebar pula ke penduduk dukuh di
sana. Sayangnya lagi berita itu terdengar ketika Kakek sedang sakit parah.
Entah dari siapa berita itu tersebar. Mengetahui kondisi Kakek, Eriza bergegas menjenguknya.
Sampai di sana, rumah Kakek tengah
dirubung banyak orang. Semuanya perempuan berbaju hitam. Eriza heran, separuh
ketakutan. Semua mata menyorotinya ketika ia memasuki rumah itu. Dia melangkah
dengan ragu-ragu melewati orang-orang satu persatu hingga ia memasuki kamar
Kakek. Lelaki tua itu dijaga oleh kedua bibi Eriza.
“Kenapa kamu ke sini?” kata salah
satu bibinya, tatapannya ganjil—terlihat seperti bertanya, membenci, dan
khawatir.
“Aku… aku hanya ingin melihat
Kakek.”
Sang Kakek menoleh ke Eriza.
Tangannya menunjuk cucunya. Seolah tercekik, ia tersiksa ketika hendak
mengucapkan sepatah kata. Setengah berlari, Eriza lalu meraih tangannya. Namun,
lelaki tua itu menarik tangannya dari genggaman Eriza. “Pergi!” kata Kakek.
Eriza tersentak. Sedih. Heran. Dan
tak mengerti. Telunjuk kakek teracung keluar, mukanya memerah seolah
mengumpulkan sekuat tenaga dan ingin mengulang kata yang sama. Tapi ia tak
sanggup, diserang batuk-batuk. Kakek
semakin tersiksa oleh keadannya. Tubuhnya mulai mengejang. Eriza semakin
ketakutan. Pandangannya mulai kabur oleh air mata yang hampir tumpah. Begitulah,
ia memandang tubuh Kakek kesayangannya tak lagi bergerak. Lalu seisi ruangan menjadi
gelap.
***
Eriza merasakan tubuhnya yang
berbaring bergerak, seperti di dalam kereta yang melaju. Sayup-sayup, terdengar
kerumunan orang berbicara. Matanya mulai terbuka, merayapi seisi ruangan. Masih
gelap, pikirnya. Sejurus kemudian, ia terperanjat. Tempat apa ini? Ia mulai
meraba sisi-sisi ruangan itu dengan ketakutan.
“Keluarkan aku dari sini!”
teriaknya.
“Dia sudah sadar, dia sudah sadar,”
ujar kerumunan orang dari luar. “Ayo, cepat, cepat! Nanti keburu malam.”
Ruangan yang Eriza tempati bergerak lebih cepat. Gadis itu merontah-rontah. Ia tak
mengerti, mengapa ia berada di dalam keranda? Apa yang akan orang-orang itu
lakukan terhadapnya?
“Berhenti! Apa yang akan kalian
perbuat terhadapku?!”
Tanpa peduli jeritan Eriza, mereka
tetap menggotong keranda itu—entah ke mana.
Eriza memberontak. Pintu keranda
yang diikat terlepas, ia bangkit dan meloncat keluar, terjatuh di antara
semak-semak di tepi bukit. Di sana, ia melihat para lelaki yang membawanya.
Jumlahnya puluhan. Di tangannya membawa sabit dan parang.
“Ayo cepat tangkap dia! Tangkap!”
Sekumpulan lelaki itu segera
mengepungnya. Eriza tersudut hingga ke tepi bukit. Hanya ada satu jalan untuk
kabur, namun ia takut. Antara mati atau hidup, lembah di bawah itu adalah
jawabannya. Tak ada waktu. Dan ia segera memerosokkan diri menuju ke dasar
lembah.
Jari-jari tangannya berdarah-darah
mencakar dinding bukit, menahan dirinya agar tidak terlalu keras sewaktu jatuh
ke dasar lembah. Tubuhnya berguling-guling sebelum mencapai dasarnya. Enggan
untuk bangkit, ia merasakan nyeri dan perih menjalari sekujur tubuhnya. Tangan,
kaki, dan mukanya barut-barut.
“Ayo tangkap, tangkap!” Para lelaki
berlari memutari bukit—menuju Eriza. Gadis itu berupaya bangkit. Ia harus
segera meloloskan diri. Harus. Sekilas terbesit dalam benaknya tentang Kakek.
Lelaki tua itu tidaklah mengusirnya, melainkan memperingatkannya untuk
menyelamatkan diri. Tapi, mengapa ia harus pergi dari dukuh ini? Mengapa para
lelaki itu memiliki keinginan yang buruk terhadapnya? Apa salahnya?
“Itu dia,” seru salah seorang kepada
yang lainnya. “Jangan biarkan Pendosa itu kabur!”
Pendosa. Mengapa mereka menyebut
Eriza demikian. Apa karena ia telah berzinah dengan penduduk dukuh tersebut?
Tapi bukankah tidak ada pihak yang ia rugikan?
Eriza berlari jumpalitan. Tersandung
batu, terinjak duri—tidak ia hiraukan. Lari dan terus berlari menuju hutan, menyingkapi
ranting-ranting pohon-pohon yang malang-melintang.
Bukan hanya untuk bersembunyi, ia
berlari ke hutan, melainkan ada seseorang yang ingin ia cari—meskipun itu
hanyalah sebuah harapan kosong. Barangkali ia tengah berada di sana, si pemuda
dukuh itu, di salah satu sudut-sudut hutan tempat di mana ia memberikan
kenyamanan pada Eriza. Mungkin padanya ia akan mendapatkan perlindungan—atau
sekedar mengadu. Mungkin padanya pula pertanyaan tentang apa yang menimpa Eriza
dapat terkuak. Dia terus memikirkan hal itu di antara ketakutan dan
kegelisahannya.
Tapi, bagaimana jika pemuda itu
tidak berada di sana?
Senja ditelan petang. Berjam-jam
sekumpulan lelaki itu memburu Eriza di hutan. Seseuatu yang aneh telah mengubah
mereka.
Layaknya serdadu, sepanjang jalan
mereka menyeruhkan dengan lantang sebuah kalimat yang seolah menjadi yell-yell, sembari mengangkat sabit atau
parang yang mereka bawa. “Tak ada tempat bagi pendosa! Tak ada tempat bagi
pendosa!”
Rembulan perlahan tertelan oleh
awan-awan hitam. Langit berubah suram. Suara serangga tak terdengar. Angin riuh
seperti suara setan. Daun-daun pepohonan bergemerisik ketakutan. Segerombolan kelelawar
terbang di atas bubungan, seperti beliung yang membumbung ke langit, lalu
pecah, berhamburan ke segala arah.
Eriza belum juga menemukan ‘tempat
bernaungnya’—si pemuda itu. Kakinya tak sanggup lagi berlari. Ia berjalan
dengan terlunta-lunta menyusuri hutan. Darah tumpah, merambati kakinya. Darah yang
keluar dari liang rahim. Ranting-ranting pepohonan semakin keras menghalangi, tapi
ia terus berjuang menembusnya—berusaha membuka jalan yang baru; suatu tempat
yang memberinya perlindungan atau sekedar mengadu. Dan di manakah pemuda itu?
Di manakah dia, lelaki yang selalu berjanji akan selalu ada untuknya? Eriza
terus berlari. Berlari dan berlari sembari memanggil-manggil namanya dengan
putus asah.
Eriza yang malang. Eriza yang sendu.
Gadis cantik itu pun terjatuh. Menangis
tersedu-sedu. Pemuda harapannya tidak ditemukan. Tak ada sisa tenaga lagi untuk
bangkit. Dia menggelinjang, perutnya kesakitan.
Samar-samar, ia mendengar derap kaki
yang semakin dekat padanya, hingga para pemilik kaki-kaki itu mengelilinginya.
“Tak ada tempat bagi pendosa! Tak ada tempat bagi pendosa!” Cahaya kilat
berdenyar, menyoroti wajah mereka; penuh borok dan nanah. Tatapan matanya
seperti serigala.
“Robek perutnya! Robek perutnya!”
Salah satu di antaranya maju, mengencinginya.
Lalu yang lain datang, mengangkat parang.
Tidak! Pekik Eriza dalam hati. Bayi
dalam perutnya adalah peninggalan dari pemuda itu, seseorang yang sangat ia
cintai. Ia tidak boleh mati. Tidak!
Perlahan waktu mulai membeku. Suara-suara
keributan meredam. Semuanya seperti dalam mimpinya. Barangkali mimpi itu
terulang kembali. Dan kini ia benar-benar dapat mengenali wajah perempuan yang
dalam mimpinya. Wajah yang basah oleh air kencing dan air mata. Wajah yang
begitu mirip dengan dirinya. Dalam benaknya ia bertanya, mungkinkah saat ini
hanyalah mimpi? Ya, barangkali Eriza bermimpi lagi.
***
Beberapa hari hingga beberapa tahun
kemudian, tak ada lagi penyakit borok bernanah yang menghinggapi setiap penduduk
dukuh apabila berada di luar rumah pada malam hari. Semua itu hanya dongeng
untuk menakuti-nakuti anak nakal. Namun tetap saja malam masih menjelma
kuburan. Seluruh keluarga menggerombol di ruang tengah. Para bapak mendekap
erat tubuh anak-anaknya. Para istri bersandar pada bahu lelakinya. Para lelaki
hanya diam. Diam memendam gelisah yang mencekam. Sementara para ibu gemetaran
mengulang-ulang doa pengusir setan.
Setiap kali ada anak yang berada di
luar rumah ketika malam menjelang, maka keesokan paginya tidak akan lagi tampak batang
hidungnya. Konon, saat itu, seorang perempuan jelita selalu datang mengitari
dukuh sembari menyanyikan sebuah lagu penidur yang menuntun para anak-anak untuk
mengikutinya masuk ke dalam hutan. []
#Lamongan, 13 Mei 2013
_______________________________
1)
Mengambil
bagian cerita dalam cerpen “Kupu-kupu Kuning Kemilau” karya Agus Noor.
Cerpen tersebut pula.
yang sekaligus menjadi inspirasi cerpen ini.
2)
Dinding
rumah dengan bahan lapisan kayu yang tipis.
3)
Berasal
dari kata “wanti” (jawa): memperingatkan.