Beraliran surealisme, cerpen ini adalah cerpen buatanku yang paling aku sukai. telah termuat di jogjareview.net 19 )ktober 2014 silam. ( http://jogjareview.net/fiksi/bulan-oh-bulan/ ) well, check it out:
Cerpen
Agung Yuli TH*
Bulan, Oh Bulan...
Satu: Padang Bulan di Lapangan Kampung
Malam
yang gempita. Di tengah lapangan, anak-anak kampung berkumpul. Mereka melempari
bulan yang termangu di langit. BLUG...! benda bulat itu pun jatuh, seukuran
bola sepak, menggelinding ke tanah dan langsung diserbu puluhan kaki,
menggiringnya ke kiri dan ke kanan, menendangnya ke arah gawang. GOL...! sorak
sebagian mereka. Lalu giring lagi dan lagi, tendang ke sana kemari. Bulan menjadi
bulan-bulanan.
PRAAANG!!
Terdengar kaca jendela pecah. Sebuah tendangan meluncurkan bulan masuk ke dalam
kamar rumah yang telah lama kosong. Ruangan yang tiap malam gelap itu kini
menjadi terang benderang. Konon rumah itu milik seorang pejabat daerah yang
disita pemerintah.
Anak-anak
bergegas menghampiri rumah itu untuk mengambil bulan mereka. Dan betapa
terkejutnya atas apa yang mereka dapatkan: pasangan mesum sedang asyik-masyuk dalam
kamar rumah tersebut. Gerombolan anak-anak itu berteriak. “Itu Presiden! Itu
Presiden!”
Orang-orang
yang mendengarnya langsung mengepung lokasi kejadian. Secara kebetulan ada
seorang wartawan di yang hadir di sana dan tanpa ampun menjepret-jepretkan
kameranya pada sepasang tubuh telanjang itu. Penduduk semakin banyak yang berdatangan. Rumah
tersebut seakan mau pecah saja.
Di
tengah kehebohan malam itu, salah satu bocah sedang sibuk merangkak dan menyelusupi kaki orang-orang dalam kamar rumah
tersebut untuk mencari bulan. Ia hanya peduli pada benda angkasa itu agar segera
bisa main sepak bulan kembali. Namun keinginannya tak dapat terpenuhi. Tak akan
ada lagi permainan yang namanya sepak bulan. Bulan yang ia temukan telah pecah
terbelah. Hanya separuh belahan ia dapatkan. Karena kasihan, anak itu
melepaskan bulan untuk kembali ke langit.
Tapi,
di mana lagi separuh belahan bulan?
Dua: Bulan Biru di Ambang Jendela Kamar Hotel
Kamar
217. Dari ambang jendela, seorang penyair telah lama memandangi bulan dalam
kamarnya yang hening. Tanggal 5 Maret ini bulan berubah warna menjadi biru,
membuat penyair itu merasakan sesuatu yang membuatnya terpaku, entah apa itu,
ia tak dapat menjelaskannya. Namun, waktu itu ia teringat pada seorang gadis
yang menyukai warna biru.
Secarik
kertas tertoreh. Dan sebuah puisi pun tercipta:
Angin termangu di pohon
asam. Bulan tertusuk lalang. Tapi malam yang penuh belas kasihan menerima
semesta bayang-bayang. Dengan mesra menidurkannya dalam ranjang-ranjang
nyanyian.1
Di
kamar 227. Seorang anak perempuan pun sedang menatap bulan. Ia meraba kaca
jendela kamar hotel, seolah bulanlah yang sedang dielus-elus. “Ibu... Ibu...,”
gumamnya. Garis-garis luka melekat di tangannya, bekas pukulan dari sang ayah.
Ia membenci lelaki itu, terlebih saat dirinya datang dengan membawakan ibu baru.
Dan selalu, esok gonta-ganti ibu yang lain lagi. Sebelum tidur, anak itu sering
berdoa agar esok pagi pintu kamar hotelnya tak pernah dibuka lagi oleh ayahnya.
Ia harap sebuah truk tronton telah melindas rata tubuhnya. Namun kini ia sangsi
akan keberadaan Tuhan, sebab doanya tak pernah dikabulkan.
Anak
itu hanya menginginkan ibu yang lama, yang wajahnya mirip bulan. Kata pelayan
kamar hotel, orang yang selalu baik kepadanya, ibunya kini telah berada di
bulan. Gadis itu tak pernah mengerti mengapa ibunya berada di sana, tapi yang
pasti ia ingin sekali menyusulnya ke bulan.
Tiga: Bulan Dalam Foto Hitam-putih
Sebuah
foto dikeluarkan dari dalam saku jas oleh seseorang. Wajah bulan tertera di
dalamnya.
“Ini
sasaran kita. Lakukan tugasmu dengan benar. Ia harus mati malam ini juga!”
“Baik,
Pak.”
TIT!!
Sebuah tombol ditekan. WUUUSSH...!! sebuah roket melesat ke angkasa. Lalu, DUAR...
WAR...WAR...!! Bulan meledak seketika. Hujan debu turun dari angkasa.
Lembar
foto itu dibiarkan jatuh ke tanah. Warnanya berubah menjadi hitam-putih.
“Sekarang
kau hanya tinggal kenangan, bulan!”
Nun
jauh di sana, terdengar jeritan anak perempuan melengking dari arah hotel, tak
lama setelah kejadian itu.
“Ibu...!!
Ibu...!!”
Empat: Bulan Dalam Berita
Musim
berjalan tak karuan. Suhu udara berubah dengan brutal. Kemarau dan penghujan
tak bisa ditebak arahnya. Lahan-lahan pertanian mati. Di laut, gelombang air
pasang dan surut jadi tak teratur. Para nelayan kesusahan mencari nafkah. Di
hutan, banyak populasi binatang nelangsa; habitat mereka jadi tak senyaman
biasanya. Sebagian kelompok binatang mati, sebagian yang lain mempertarukan
hidupnya sebagai obyek buruan manusia ketika kelompok binatang itu memutuskan
untuk berkelana masuk ke desa, bahkan ke kota, untuk mencari kehidupan baru. Dalam
sehari waktu berjalan enam jam lebih cepat dari biasanya, disebabkan rotasi
bumi yang semakin cepat berputar tanpa adanya daya tarik gravitasi bulan. Bila
malam tiba suasana jadi sangat mencekam. Tak ada lagi cahaya di langit. Bulan
telah mati.
Para
Ulama berbondong-bondong bersama pengikutnya menggelar acara istighotsah bersama. Para pemuka agama
yang lain pun melakukan ritual keagamaannya masing-masing guna meminta ampun
pada Yang Maha Kuasa atas tindakan para manusia karena sudah terlampau sering
menzalimi bulan: menjadikannya bola sepak, memfitnahnya dengan mengatakan serupa
wajah pacarnya, dilempari batu, dan lain sebagainya.
“Bukankah
bulan adalah ciptaan Tuhan? Bisa-bisanya manusia bertindak seenak Setan? Dan
sekarang malah ada orang sinting yang menghancurkan bulan. Ini betul-betul
zaman edan! Kiamat akan segera datang. Astaghfirullah... Astaghfirullah...!”
Di
berbagai media, lembaga-lembaga maupun di jalanan, bulan tak henti-hentinya
dijadikan topik pembicaraan. Para aktifis mahasiswa berunjuk rasa agar pemerintah
segera bertindak tegas untuk segera menemukan pelaku penghancuran bulan beserta
dalangnya. Badan kepolisian dan inteligent negara telah menyebar ke penjuru
negeri. Gerakan-gerakan Islam Bawah Tanah2
‘digali-gali’. Orang-orang Islam yang tak bersalah pun ikut dicurigai, sebagian
bahkan disiksa setengah mati.
Maka
membaralah kebencian orang-orang Islam yang lain sebab pemerintah telah
menzalimi sesama saudaranya. Sedangkan golongan Islam Bawah Tanah yang merasa telah difitnah, melakukan aksi yang
menjadi-jadi: gedung-gedung pemerintah diledakkan. Bumi Indonesia menjadi gonjang-ganjing. Para aktifis mahasiswa
berkoar-koar dengan tema baru lagi.
Berbeda
dengan respon sosial yang terjadi di Indonesia, di negara lain meskipun banyak
yang simpatis dengan nasib kehidupan di bumi yang merana sebab ditinggal mati
bulan, salah satu dari negara lain di belahan timur bumi justru senang dengan
kematian benda angkasa itu. Pemuka negara tersebut berpendapat bahwa daya tarik dari gravitasi bulan
membuat posisi bumi agak miring terhadap matahari sehingga menyebabkan musim
yang kurang baik bagi wilayah negaranya dan musim yang bagus di negara-negara belahan
barat.
"Siapa yang butuh bulan? Bulan
mempengaruhi pasang-surut, menerangi langit di malam hari, dan para penyair
tampaknya menyukai bulan, tapi kita tidak benar-benar membutuhkan bulan."3
Pendapat di atas ternyata memperoleh
respon positif dari beberapa negara tetangganya.
Lima: Remang Cahaya Bulan dalam Bola Lampu di Sebuah
Kamar Hotel
Seorang lelaki paruh baya bersama perempuan
muda memesan sebuah kamar hotel usai berkunjung dari suatu tempat. Kamar nomor 57.
Si
perempuan tengah mabuk tingkat kayangan, tubuhnya dilemparkan begitu saja di ranjang oleh si
lelaki setelah sampai di kamar. Lampu pijar di sampingnya dinyalakan. Sorot
cahanya yang remang menghangatkan ranjang. Perempuan itu terpaku menatap lampu
itu.
“Apakah yang bersinar di dalam sekat
kain itu adalah bulan?”
“Kamu ini ada-ada saja, Sayang. Mana
mungkin itu terjadi.”
“Aku sangat merindukannya.”
“Kenapa tidak merindukan aku saja? Tolol
jika merindukan benda yang sudah mati itu.”
“Semua ini gara-gara Presiden yang
telah menghancurkannya.”
“Ngaco kamu.”
“Dia
sendiri yang bilang padaku. Aku sangat dekat dengannya, lebih dari siapapun di
dunia ini.”
“Hahaha,
bau alkohol masih segar di mulutmu, Sayang.”
“Aku
lebih dekat dengannya dibanding dirimu.”
“Ha?!
Jangan bilang kamu adalah mahasiswi yang tidur dengan Presiden di sebuah rumah
sitaan itu.”
“He’em,
mereka membayarku tinggi untuknya.”
“Jadi
karena bulan telah menyebabkan tindakan asusilanya denganmu diketahui publik,
maka sebab itulah ia menghancurkannya? Kurang ajar, akan kubunuh dia.”
“Sudahlah,
kamu hanya mencari perkara saja.”
“Dengar
baik-baik, aku ingin sekali membunuhnya bukan cuma soal persaingan politik,
tapi karena bajingan itu telah mengencanimu!”
Enam: Bulan yang Sedang Tertidur dalam Koper
Keesokan
harinya, seseorang berjaket hitam masuk dalam kamar hotel nomor 57. Orang
tersebut menenteng kopor besar. Si penghuni kamar itu telah menyambut
kedatangannya. Di sana, kopor itu dibuka.
“Bulan?!
Bagaimana bisa kamu mendapatkannya?”
“Hahaha...!
Itu tidak penting, Bos, yang pasti ini akan membantu rencana kita.”
“Ssst!
Pelankan suaramu, Bego! Nanti dia bangun. Jangan sampai nanti dia merengek dan menarik
perhatian kamar sebelah.”
“Ini
kan siang, Bos. Mana mungkin dia bisa bangun?”
“Nggak
usah protes! Jelaskan saja apa rencanamu.”
“Begini,
Bos, setelah kita membunuh Presiden seperti yang kita rencanakan dahulu,
setelah itu kita lepaskan kembali separuh bulan ini ke langit. Ya, ini akan memberikan
kejayaan bagi kita?”
“Wah,
pintar sekali kamu. Hahaha... !”
“Ssst! pelankan suaramu, Bos.”
Tujuh: Bulan yang Menjadi Hantu
“Hallo...?”
“Lapor,
Pak. Semua kecurigaan masyarakat kini mengarah pada kita, Pak! Apa yang
harus....”
TIT!
Ponsel
Presiden dilemparkan ke jalanan. Dia berjalan menyusuri trotoar tanpa adanya
pengawal. Dasi dan jas yang dikenakannya dilepas lalu dimasukkan ke tong sampah.
Ia hanya ingin sendiri. Di bawah langit yang tanpa bulan, kota seakan telah
lama mati. Tubuh orang-orang tuna wisma yang tertidur di pinggir-pinggir jalan
tampak seperti batang mayat. Barangkali bila dirinya mati di jalanan, mungkin
tak akan ada orang yang peduli terhadap jasadnya. Ya, dia benar-benar berpikir
demikian. Apa yang harus dihormati terhadap seorang pemimpin yang gemar berzina
dan menghancurkan bulan? Bisa jadi
jazadnya akan dibungkus dengan karung, lalu dilemparkan ke kali yang penuh
sampah.
Sang
Presiden terus berjalan tanpa tujuan. Hampir sepanjang usia ia tinggal di kota
itu, tapi baru sekarang ia merasa begitu sendiri. Asing. Dan hampa. Ia tatap
langit. Sungguh begitu pekat. Di sana ia membayangkan wajah almarhumah
istrinya, wanita yang selalu membuatnya tenang; wanita yang mirip dengan bulan.
Dan ia begitu gusar ketika malam itu perzinaannya diketahui bulan. Tiba-tiba
saja dirinya merasa menyesal. Kini bulan terlanjur ia musnahkan. Ia kembali
berjalan, berjalan dan berjalan. Sebuah sorot cahaya keemasan muncul dari
kegelapan. Tubuh lelaki itu termandikan olehnya. Ia tersenyum dan menggumam,
“Bulan, maafkan aku, bulan...” cahaya itu semakin dekat dan dekat, lalu...
CRAASSH!! Tubuh sang Presiden hampir rata dengan aspal jalanan, terlindas truk
tronton. Ia terkapar sambil memandang langit yang pekat. Sekilas waktu membeku,
mendinginkan sekujur tubuhnya. Beberapa detik kemudian, langit yang kelam itu
seakan jatuh menimpahnya. Hitam.
Dari
tempat yang jauh, anak perempuan di kamar hotel 227 tiba-tiba saja terbangun
dari tidurnya. Entah karena apa.
Delapan: Bulan yang Bangun dari Tidurnya
Dua orang turun dari truk tronton.
Salah satunya menenteng sebuah koper.
“Cepat keluarkan dia dari dalam
koper!”
“Oke, Bos.”
Semburat cahaya keemasan menyeruak
dari dalam koper. Bulan telah bangun dari lelapnya. Tubuhnya yang tinggal separuh
melambung tinggi. Langit kembali bercahaya. Orang-orang bergegas keluar rumah dan
bersorak-sorak menyaksikan bulan. Malam menjadi pesta-pora seolah bulan yang baru
telah lahir ke dunia.
“Rencana kita sukses. Bulan telah
berada di langit, ini akan menjadi simbol era baru negeri kita. Kamu lihat? Mereka
bergembira dengan kedatangan bulan baru yang kuberikan. Setelah ini rakyat tidak
hanya akan memilihku jadi Presiden. Hahaha!”
“Hahaha, kamu hebat, Bos!”
Sembilan: Rembulan Merah
Kabar
tentang kebangkitan bulan secepat kilat menyebar ke penjuru dunia.
Negara-negara yang sempat bersedih akibat kehilangan bulan, kini memiliki
harapan baru. Di lain pihak, negara yang sempat bersuka-ria dengan kematian
bulan kini menjadi muram. Mereka membentuk sebuah aliansi untuk merencanakan
sesuatu: menghancurkan bulan.
Tak lama dari kebangkitan bulan,
tank-tank, kapal perang, pesawat tempur dan seluruh armada perang dari
negara-negara yang kontra dengan bulan. PBB hanya menjadi sebuah perserikatan
yang dipersetankan. Alhasil, negara-negara yang mencintai bulan mengeluarkan
senjata perang dan armada yang sama untuk menggagalkan rencana aliansi negara
yang membenci bulan. Keduanya berseteruh. Bom-bom diletuskan, nuklir-nuklir
diluncurkan, tubuh-tubuh hangus terbakar. Sedangkan di langit, bulan yang lugu
termangu menatap kehidupan di bawahnya. Warnanya memerah.
#
Rumah_Lamongan, 19 November 2013 – 8 Juli 2014
Catatan:
1.
Penggalan
puisi D. Zawawi Imron yang berjudul “Bulan Tertusuk Lalang”.
2.
Hanya
sekedar sebutan dari penulis untuk golongan Islam yang anarkis.
3.
Pendapat
Robert Gibbs, Humas Gedung Putih,
ketika menanggapi rencana penghancuran bulan oleh China yang meminta dukungan
Amerika di Gedung Putih.
0 comments:
Post a Comment