-
Setiap Hari Adalah Kesempatan
Setahun berisi 365 hari, setiap hari yang datang adalah hari baru, maka dalam setahun hiduopmu disuguhkan 365 kesempatan oleh Tuhan. Jangan menyerah, jangan berputus asa. Kegagalan hari ini adalah milik hari ini, esok hari adalah kesempatan bagimu untuk membuat perubahan. Lihatlah matahari, sekali waktu ia terbit tertutup awan, namun matahari tak pernah menyerah untuk te3rus terbit esok hari.
Manfaatkan waktumu. gunakan kemampuanmu. Rayakan hidupmu. Tunjukkan pada dunia betapa besar arti dirimu bagi kehidupan #arulight. -
Ketika aku merasa tidak bisa
Ketika aku merasa tidak bisa, aku akan diam sejenak dan memeriksa: ya, aku memang tidak bisa. Lalu aku akan menarik nafas dan merenungkan. Lalu aku sadar, jika aku memang TIDAK BISA, mengapa tidak kugunting saja Tidak-nya sehingga yang tersisa hanyalah AKU BISA?
Semua orang yang tidak bisa sebenarnya bisa Anda mereka cukup punya keinginan dan kesungguhan untuk membuang tidaknya #arulight. -
Berpikir positif dan positif
Kapanpun kau merasa letih dan muak pada dirimu, atau pada sekelilingmu, jangan terkecoh! Jika kau bisa berpikir negatif, kau juga bisa berpikir positif.
Berpikir negatif hanya akan membuatmu letih dan tidak bergerak kemana-mana, berpikir positif membuatmu keuat dan sanggup mengambil langkah untuk membuat perubahan. Benua baru tidak akan pernah ditemukan jika para pelaut tidak berani meninggalkan pelabuhan menuju lautan #arulight.
Wednesday, December 30, 2015
Saturday, December 12, 2015
Setiap pagi dan sore, wanita itu sering duduk di bangku halaman, dekat pohon imboh samping rumahku. Sering kutemukan ia membawa beberapa lembar kertas dan menulis sesuatu di sana. Katanya, yang ditulis adalah surat untuk suami tercinta, seorang pelaut yang sudah sangat lama tidak pernah kulihat lagi batang hidungnya.
Ketika ia ditanya, bagaimana ia dapat mengirimkan surat itu pada suaminya? Sambil menunjuk pada burung-burung gereja yang sering bertengger di pohon imboh, dia berkata:
“Mereka adalah makhluk baik hati yang senantiasa mengirimkan surat-suratku untuknya.”
Orang-orang tertawa dan sering memperlakukan wanita itu sebagai hiburan. Tapi menurutku wanita memiliki cara yang absurd dalam menangani masalahnya—yang sulit dipahami oleh lelaki. Sedangkan lelaki lebih mengacuh pada penggunaan logika.
Di rumahnya, wanita itu tinggal sendirian. Tak punya anak, sanak famili, dan harta benda. Ia berasal dari pulau seberang, aku sendiri tak tahu pasti di mana. Suaminya yang seorang pelaut memboyongnya kemari. Lelaki itu pun sebenarnya bukan penduduk asli di desa ini. Karena ditinggal pergi suaminya dan tak punya modal serta kecapakan kerja, para tetangga sudah cukup baik dengan memberinya makan setiap hari.
Dalam sebuah rumah tua berpagar batu, ia tinggal. Sangat-sangat sederhana. Di jalan depan rumahnya sangat sepi. Hanya debu yang tak berhati dan nasib yang murung melewatinya. Sering wanita itu hanya duduk termangu di beranda, menunggu kabar dari burung-burung gereja. Dan ia tak pernah mengeluh. Aku takjub pada kesabaran dan kesetiannya pada sang suami. Wajahnya selalu sayu. Tapi kurasa ia perempuan yang tangguh.
“Ceritakan padaku tentang suamimu,” pintaku, usai memberikan sebungkus nasi padanya. Ia menggelengkan kepala.
“Nanti kau akan tertawa seperti para tetangga,” jawabnya. “Orang boleh saja menertawakanku, tapi tidak terhadap suamiku.”
“Aku akan mendengarkanmu dengan baik.” Ia nampak ragu, namun akhirnya bercerita.
“Ia lelaki yang baik. Sangat baik.”
“Sebaik apa dia?”
“Ia pandai menyenangkan hatiku …”
dan sekaligus pandai meremukkannya? batinku.
“Ia berjanji, sepulang dari berlayar nanti akan menuruti apapun yang aku inginkan.”
Kau percaya?
“Dan ia selalu menepati janjinya.”
Benarkah?
“Apa saja isi surat yang kautulis untuknya?” Alisnya merapat mendengar pertanyaan itu.
“Hanya suamiku yang boleh tahu apa isinya.”
Kami diam beberapa saat.
“Kenapa ia tak pulang-pulang?”
“Ia pasti akan pulang. Mungkin sekarang masih belum dapat banyak uang.”
“Dan kau akan tetap menunggunya di sini?”
Ia tak menjawab.
“Kenapa kau tidak pulang ke tempat asalmu?”
Ia melemparkan pangdang ke ujung jalan.
“Apa lagi yang pantas dilakukan oleh seorang istri selain setia menunggu dan mendoakan keselamatan suaminya?”
Aku takjub.
“Bagaimana jika seandainya ia tak pulang?”
Dia diam.
Pertanyaanku mungkin terasa seperti udara yang beranjak dingin malam itu. Dan benar, matanya berkaca-kaca.
“Aku percaya padanya, jadi aku akan terus menunggu.”
Kurasa sebaiknya aku segera pulang dan membiarkan dia sendirian.
Setelah beberapa meter berjalan meninggalkan rumahnya, aku menoleh kembali pada rumah itu.
Rumah tua dan pagar batu. Kenangan lama dan sepi yang syahdu.1
***
Entah sudah berapa tahun dia masih tetap menulis surat.
Dari yang pernah kubaca sebuah buku (aku lupa judulnya), pikiran wanita sebagian besar dihabiskan pada orang yang dicintainya, kekasih atau keluarga. Jika wanita itu tidak memiliki siapapun di sini, aku tidak bisa membayangkan sedalam apa kesepian dalam dirinya. Namun aku juga tak habis pikir, bagaimana dia bisa tetap bertahan jika setiap waktu psykisnya digerogoti pikiran dan kesepian terus-menerus?
Hingga pada suatu hari, Kudapati dirinya begitu murung di bangku halaman itu, tempat di mana dia biasa menulis surat. Aku menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Sambil menahan isak, dia bilang padaku:
“Aku sudah lelah sekali…” ia terisak. “Aku lelah menunggu dia dan balasan suratnya.”
Aku hanya bisa iba dan membimbingnya pulang.
Tetapi keesokan harinya berubah, seolah disapu angin begitu saja. Ketika aku pulang dari tempat kerja, dia berlari menghampiriku. Wajahnya berseri-seri di bawah sorot senja yang muram.
“Aku mendapatkan balasan surat dari suamiku,” katanya, dengan begitu sumringah. “Ia akan datang menjemputku, lalu kami akan naik ke puncak menara Eifel yang tinggiiiiiiiii sekali,” imbuhnya dengan sangat antusias.
Aku tersenyum melihat ia sebahagia itu. Namun, tiba-tiba terbersit sesuatu di kepalaku.
“Siapa yang mengantarkan suratnya padamu?” tanyaku.
“Tentu saja seekor burung yang ia mintai tolong.” Ia menunjuk ke pohon imboh, “Itu burungnya.”
Aku terperanjat. Itu burung gagak!
# Rumah_Lamongan, 22 Februari 2014
Catatan:
1. Bunyi bait terakhir pada puisi Rendra yang berjudul Kenangan dan Kesepian.
Tuesday, December 8, 2015
~ Lamongan, 4 April 2015
Search
Galeri
Blogroll
Popular Posts
-
hai , hai ... berjumpa lagi di kelas menulis bersama saya, saudaranya Brad Pitt. Kali ini segmen teori menulis cerpen adalah tentang l...
-
dapat kiriman email tanggal 4 desember 2015 dari redaktur Koran Madura, katanya beliau, cerpen ini diterbitkan di sana pada tanggal...
-
Cerpen ini adalah cerpen yang tak terlupakan dalam karir saya. Alasannya adalah ini cerpen saya yang saya buat secara spontan ketika seca...
Categories
Blog Archive
- October 2017 (5)
- October 2016 (1)
- December 2015 (3)
- June 2015 (2)
- March 2015 (9)