Cerpen ini satu tahun mengendap dalam email surat kabar, tahun 2015 kuirimkan dan satu tahun lebih lama kubuat, tepatnya pada tahun 2014 di Bandung. Baru di tahun 2016, tepatnya tanggal 30 Juli akhirnya dimuat di surat kabar Harian Rakyat Sumbar. sangat lama juga, ya... Yang terpenting, semoga ini bisa menghibur anda. Selamat membaca....
Rezim Norky dan Abad
Pencurian
Pagi-pagi,
setiap bangun tidur, Norky dengan cepat memasang kembali organ-organ tubuhnya
sesuai pada tempatnya. Mata, hidung, alis, telinga, rambut, kaki, dan
lain-lainnya harus terpasang dengan benar. Apa kata dunia nanti seandainya
melihat manusia dengan wujud telinga pada mata, tangan pada kaki, dan yang
paling parah, bagaimana jika anus dan mulut bertukar posisi? Kau tentu tak
ingin membayangkan proses bagaimana makhluk tersebut memasukkan makanan atau mengeluarkan
hasil olahannya, bukan? Tapi bagi Norky yang sudah terbiasa, memasang
bagian-bagian tubuhnya adalah persoalan yang gampang. Ia membiarkan alam bawah
sadarnya melakukan sendiri tugas rutin itu, dan bukankah aktifitas manusia itu
didominasi oleh alam bawah sadarnya? Jadi kebiasaan Norky itu tidak dapat
dikatakan mustahil.
Mungkin
orang akan bertanya, buat apa melepaskan “atribut-atribut” tubuh itu sebelum
tidur? ‘kan lebih baik tidak perlu dilepas biar tidak repot-repot
bongkar-pasang jika bangun atau mau tidur? Tapi sebagai Presiden yang setiap
waktunya sibuk mengurusi negara, melepaskan atribut tubuh itu perlu dilakukan
agar semuanya dapat diistirahatkan lebih optimal. Ibarat barang,
atribut-atribut itu harus punya masa istirahat setelah seharian sibuk dipakai
agar tetap awet dan bisa penuh performa lagi saat esok digunakan. Ketika ada
wartawan yang menyodorkan pertanyaan terkait hal ini, beginilah sang presiden
menjawab:
“Suka-suka
tuannya, dong! Mau dicopot atau dipasang, orang lain tidak berhak berkomentar.
Ini adalah cara saya untuk menghargai anugerah Tuhan dalam rangkah melestarikan
pemberianNya kepada saya.”
Sebelum berdinas untuk mengabdi pada
negara, sang istri tercinta sudah mengabdikan dirinya pada Norky. Semua
hidangan sarapan dihidangkan sesuai selerah presiden. Dimasak sendiri dengan
penuh cinta. Ini adalah hal yang paling membahagiakan bagi Norky, dan ini
adalah ritualnya menyambut pagi, sebelum otaknya sesak dijejali urusan negara.
Bagi presiden Norky, dalam mengatur
urusan negara, semua aturannya harus praktis dan otomatis. Ia membenci pada
segala hal yang ribet, misalnya: untuk melamar pekerjaan, seseorang harus
menyiapkan terlebih dahulu keperluan dokumen dan tetek-bengeknya yang sudah
menyita waktu, tenaga dan biaya. Belum lagi ijazah pendidikan formal sesuai
bidangnya menjadi jaminan paten untuk diterima dibanding skill nyata individu.
Dan yang paling menyebalkan, menurutnya, hal ini melibatkan uang panas pada bos
perusahaan itu atau menggunakan jalur kolusi dan nepotisme. Hal seperti ini
harus diberantas tuntas. Negara harus punya pribadi yang unggul, mental-mental
pragmatis harus dimusnahkan.
Maka,
untuk mewujudkan visi-misi mulia untuk menciptakan negara yang berkarakter
unggul itu, segala peraturan negara sebelumnya yang sering disalahgunakan oleh
oknum-oknum jahat dan tindak kejahatan lainnya harus ditindak keras.
“Jadi
pribadi yang baik jangan sampai lupa. Ya, lupa adalah awal mula hal buruk
tercipta. Negara kita sering kecolongan karena kita lupa: lupa diri, lupa
sesama, dan lupa Tuhan,” kata presiden Norky dalam memberikan suatu pidato.
Namun adakah manusia yang terhindar dari lupa?
Dulu,
sebelum sebelum presiden Norky duduk di kursi pemerintahan, banyak sekali
tindak pencurian terjadi dalam negara. Pelakunya paling banyak malah justru
orang dalam sendiri. Pencuri-pencuri banyak yang dilegalkan. Segala kelas
pencuri memiliki nama-nama yang sesuai dengan jenis barang yang dicurinya
maupun besar-kecilnya nilai barang itu. Mulai dari kelas teri, ada pengutil dan
pengentit. Kelas salmon, ada pencopet dan maling. Kelas paus, ada perampas,
penodong, perampok dan sekawaanannya. Kelas hantu, ada penggelap, pengelabuh,
koruptor dan antek-anteknya. Akibatnya bangsa kita jadi bermental bajingan.
Jadi menurut presiden kita, Norky, ini harus benar-benar dihentikan sebab
pencurian telah menjadi kebudayaan, abad yang mengerikan. Maka, sistem baru
harus diterapkan. Jangan sampai sejarah abad pencurian masih dibudidayakan,
sebab sejarah yang terulang adalah suatu kebodohan tingkat internasional.
Untuk
memerangi hal di atas, eksekusi perlu dilakukan. Para pencuri itu harus diberi
ultimatum. Jika mereka mencuri ayam maka harus dipotong tangannya, mencuri
sandal dipotong kakinya, mencuri istri tetangga dipotong burungnya, dan jika
mencuri uang negara harus dipotong lehernya. Dan benar saja, sejak awal tahun
presiden Norky memerintah, negara jadi makmur sentosa, dengan catatan: ribuan
warga negara berstatus buntung terbaca jelas pada KTP-nya. Itu merupakan harga
yang harus dibayar untuk mendirikan era baru kebangkitan bangsa.
Apa
kau setuju dengan hal ini? atau ada banyak pertanyaan yang muncul dibenakmu
tentang kebijakan ini? Aku tidak pandai menjawabnya. Hanya saja, beberapa pihak
kontra akhirnya muncul untuk menentang kebijakan sang presiden. Sejak itu
muncullah konfrontasi lewat media massa
mengenai hal ini.
“Hukuman
itu seharusnya dibuat untuk membuat jerah, bukan merampas masa depan tersalah.
Akibat kebijakan presiden, banyak warga buntung dikucilkan oleh masyarakat.”
“Apakah
ini yang namanya cita-cita untuk membangun pribadi negara yang unggul? Kenapa
justru menciptakan ciri khas kehinaan di mata negara lain karena banyak warga
buntung di mana-mana?”
“Presiden
Norky sudah tidak manusiawi lagi, ia telah mengganti hatinya dengan chip memory
yang mengatur pemerintahan negara. Bukankah, ia suka bongkar-pasang tubuhnya?
Jika kini ia telah jadi robot, seharusnya ia mengatur kebijakannya pada robot.
Rakyat kan manusia, bukan robot, maka sistem pemerintahan yang harus diteapkan
seharusnya manuisawi pula.”
Norky
meremas-remas koran-koran di mejanya yang mewartakan hal di atas tersebut.
“Apa-apaan
mereka? Berani menulis tapi tak berani terang menyebut namanya. Beraninya cuma
sama pantat saja, tidak dengan muka,” gerutu sang presiden. Ingin sekali ia melacak
keberadaan penulis sembrono itu lalu menculiknya, setelah itu mencincang dan
menyantapnya mentah-mentah. Hanya saja ia sadar betul, penculikan itu sama saja
dengan pencurian dalam bentuk yang lain. Maka sebagai pemimpin yang bijaksana,
ia tidak akan melakukan tindakan jahat itu. Sang Presiden akhirnya berdoa agar
peristiwa semacam ini cepat berlalu.
Tetapi,
akibat munculnya argumen-argumen dari para penulis itu, timbul reaksi dari
masyarakat yang mempertanyakan keorisinilan presiden Norky sebagai manusia
murni. Tentunya, mereka tak ingin dipimpin oleh seorang robot. Bisa menjadi
terror apabila negara dipimpin oleh robot, bisa saja robot punya misi
terselubung untuk menciptakan kebudayaan baru dalam dunia, yakni mengubah
masyarakat menjadi robot. Semut dipimpin oleh ratu semut. Lebah dipimpin oleh
ratu lebah. Singa dipimpin pejantannya. Dan manusia harus dipimpin manusia. Ini
sudah kodrat alami. Tak boleh ada robot duduk di kursi pemerintahan. Haram
hukumnya.
Keesokan harinya, usai bangun tidur,
Presiden Norky buru-buru memasang organ-oragan tubuhnya, lalu mandi dan
berpakaian.
“Kok buru-buru, Pa?” tanya sang Ibu
presiden kita yang masih tergolek lemas di ranjang. Ya, sang presiden perlu
mendapat jatah “cinta” dari sang istri untuk menjadi vitamin baginya menghadapi
suatu hal yang akan berlangsung hari itu.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Norky
dengan datar. Sang istri lekat-lekat menatap suaminya.
Presiden
sangat mencintai istrinya. Ia percaya, di balik lelaki hebat, ada sang istri di
belakangnya. Singkatnya, sang istri adalah kekuatan baginya. Dan presiden tak
ingin menceritakan masalah yang akan ia hadapi hari itu, agar istrinya tidak
cemas. Tetapi saat menatap mata wanita yang dikasihinya itu mengandung
kecemasan dan tanda tanya, hati presiden jadi berkata lain:
“Iya,
Ma... sebenarnya massa sudah sulit percaya padaku. Tadi ada yang menelpon,
massa telah mengelilingi Istana Presiden sambil menyiapkan pentungan dan
molotov. Entah bagaimana jalan pikir mereka, katanya ingin menuntut hal tentang
humanisme, tetapi mereka sendiri mempraktikkan cara binatang.”
“Wah,
Mama takut, Pa. Jangan pergi ke sana, ya?”
“Seorang
pemimpin tidak boleh lari atau sembunyi, Ma. Tenang saja, Papa tidak salah. Ini
akan jadi aksi damai nantinya.” Presiden Norky memeluk tubuh istrinya, agak
lama. “Papa pamit, Ma.”
Istri
presiden itu tercenung. Kecupan hangat mendarat di keningnya.
Sang
presiden langsung bablas dibawa pergi supirnya. Tak lama kemudian, sang istri
berlari keluar rumah dengan panik.
“Pa...
Papa...! Kembali, Pa!”
Mobil
presiden Norky semakin menjauh, meninggalkan otak presiden di ranjang yang lupa
dipasang.[]
#Yayasan Kebudayaan Bandung_Bandung, 27 April 2014